PEREMPUAN BERWAJAH API

4,954 kali dibaca

PEREMPUAN BERWAJAH API

Siapa peduli dari mana kau datang. Tapi bertahun-tahun kemudian, wajah itu yang selalu membayang.

Advertisements

Hari itu, begitu lekas mendung mengurung pantai selatan. Seperti hendak memuntahkan air hujan. Pada haus laut air tak bergaram.

Seperti desir angin menyisir pasir, aku menulis sajak tentang debur ombak dan risik daun yang kian berjarak. Tentang kepak sayap burung, lindap di balik mendung. Dan desir angin terus menyisir, mengusir sajak-sajakku dari atas pasir.

Siapa peduli dari mana aku datang. Lelaki yang tak lagi bersajak. Lelaki yang hilang jejak. Dan selangkah lagi labirin waktu menelan telak.

Lihatlah, di bawah gerimis tangannya terus menadah seperti pengemis hilang arah. Mengharap kata tercurah dari langit, menjadi mantra pengusir dedemit.

Dari selatan, dari selatan, gelegar ombak jadi lagu kematian. Dan ketika aku berpaling, berderet wajah-wajah asing. Aku pangling.

Itulah masa ketika hanya menyisa asa.

Dan siapa peduli dari mana kau datang, ketika kakiku seperti mengambang menyusur kali tak bercabang. Dan waktu pun rembang.

Gerimis masih menitik bagai lirik lagu kuda meringkik. Kau melaju seperti menyibak kelambu waktu. Pohon-pohon, ranting-ranting, daun-daun, diam menyambut malam. Liar bola matamu menyapu semak belukar —adakah rindu tersimpan di jejaring akar.

Dan kau seperti menemukan jejakku di akar-akar waktu yang beku. Seperti sudah berabad-abad. Berabad-abad tak kautemukan dalam babad.

Pada gemericik air kali kita berbagi. Betapa telah berabad-abad tak kautemukan sebuah abjad. Betapa di akar-akar waktu aku tersembunyi darimu.

Tatap wajahku, kau meratap dan menyeru.

Oh, seraut wajah yang terbuat dari entah. Hanya merah. Seperti bara api di tungku-tungku abadi.

Tatap wajahku, kau meratap dan menyeru.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan