Pengisi Jeding

2,821 kali dibaca

Bertahun-tahun kemudian saya bertemu seseorang yang, saat saya masih kanak-kanak, bertugas mengisi jeding. Buah keikhlasannya membuat takjub.

Tak jauh dari rumah saya ada sebuah pondok pesantren. Seperti lazimnya pondok, ada langgar sebagai pusat kegiatan untuk salat dan mengaji. Lalu ada bilik-bilik atau gothakan yang berderet-deret membentuk setengah lingkaran. Dan, tentu saja, ada jeding atau bak mandi besar untuk wudlu atau mandi semua orang.

Advertisements

Yang tak lazim dari pondok ini adalah kiainya. Agar lebih gampang, kita sebut saja ia Mbah Kiai. Di pondok sebesar itu, Mbah Kiai tak pernah mengajar mengaji. Sama sekali. Bahkan, menjadi imam salat pun tidak. Menjadi makmum salat juga tak. Karena itu, yang mengajar mengaji biasanya adalah santri-santri senior. Begitu pula dengan yang menjadi imam salat berjamaah.

Lalu apa yang dilakukan Mbah Kiai? Tak ada. Ia hanya sering terlihat berjalan-jalan atau berkeliling ke sana ke mari. Penampilannya khas: bersarung, dan biasanya hanya mengenakan kaus oblong putih cap lombok, dan bersongkok hitam. Kadang pakai sendal. Kadang nyeker. Malah, tak jarang ia hanya bersarung dan bertelanjang dada, berjalan-jalan sampai agak jauh dari pondoknya.

Jika berpapasan dengan seseorang, dan jika ia berkehendak, ada saja yang ia lakukan atau perintahkan. Misalnya, tiba-tiba ia menghentikan seseorang yang sedang mengayuh sepeda onthel. Orang itu kemudian dimintai uang. Setelah uangnya diterima, orang itu kemudian disuruh memberikannya kepada orang lain lagi. Atau, saat berpapasan dengan seseorang, orang tersebut disuruh bersih-bersih lingkungan pondok, atau disuruh membelikan ini-itu, baik untuk kepentingan pondok atau kebutuhan orang lain —entah orang lain itu butuh atau tidak.

Sudah hampir pasti, tak ada orang di desa saya yang berani menolak permintaan atau perintah Mbah Kiai ini. Kuwalat! Bahkan, banyak orang yang justru merasa senang jika disuruh-suruh atau diminta memberikan sesuatu. Bagi masyarakat desa kami, itu pertanda akan memperoleh barokahnya.

Karena soal barokah inilah, meskipun tak pernah mengajar mengaji atau menjadi imam salat, dan sehari-hari hanya mondar-mandir tak tentu arah, Mbah Kiai justru banyak tamunya. Banyak tamu yang datang dari jauh, dari luar kabupaten atau luar pulau. Macam-macam motif dan tujuannya.

Banyak orang minta doa dan wasilah agar dilancarkan rezekinya, dan sebagainya. Di zaman ada nomor buntut, misalnya, banyak orang datang tujuannya ingin menang taruhan. Tentu saja Mbah Kiai marah. Ada orang yang dilempar sendal mukanya. Sepulang dari sowan ke Mbah Kiai, orang itu membuka buku ramalan, dicarinya nomor sendal. Dan, jeboolll bandarnya.

Nah, suatu hari bakda dhuhur, saat saya bersama anak-anak lain sedang bermain air di jeding pondok Mbah Kiai, ada seseorang bertamu. Orang tersebut, begitu tiba di lingkungan pondok, oleh Mbah Kiai tidak diajak masuk rumah, tapi malah disuruh mengisi jeding. “Isi yang penuh,” perintah Mbah Kiai, lalu pergi begitu saja.

Dengan pasrah, orang tersebut kemudian mulai menimba air dari sumur yang cukup dalam. Saat itu belum ada mesin pompa air. Yang ada hanya kerekan. Jadi, untuk mengisi penuh jeding itu, orang harus menarik ulur timba melalui kerekan. Bayangkan, jika bak mandinya sebesar jeding di pondok Mbak Kiai ini, perlu berapa timba untuk memenuhinya.

Karuan saja, sampai beduk maghrib tiba, orang tersebut belum bisa membuat jeding Mbah Kiai penuh air. Tapi, saya melihat orang tersebut sabar menahan lelah, dan terus berusaha menimba air sekuat tenaga.

Saat maghrib tiba, orang tersebut berhenti menimba untuk salat. Entah sehabis maghrib diteruskan atau tidak, saya tak tahu karena harus pulang ke rumah.

Bertahun-tahun kemudian, saya sedang bertamu di rumah seseorang di lain kabupaten. Saat saya mengobrol dengan tuan rumah, seseorang datang bertamu. Kami pun berkenalan dengan tamu yang baru tiba itu. Ia adalah seorang juragan tembakau. Di daerah pusat penanaman tembakau, tentu juragan tembakau adalah orang yang kaya raya. Benar adanya. Ia adalah eksportir tembakau ke Jerman, yang sebagian keuntungannya dia gunakan untuk menghajikan orang-orang yang kurang mampu.

Saat saya menyebutkan dari mana saya berasal, sang tamu ini bilang pernah sowan ke pondok Mbah Kiai. Di sana, begitu dia bercerita, tidak diberi amalan atau didoakan, tapi malah disuruh mengisi jeding.

Subhanallah. Saya menatap tajam-tajam wajah orang itu: terbayang saat saya dan kawan-kawan sedang bermain air, orang yang kini berada di hadapan sayalah yang mengisi jedingnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan