Pengakuan Sebatang Pohon Pisang

3,057 kali dibaca

Seraya membawa se-lenjer bambu, senang-senang iba ia menghampiri pohon pisang yang tumbuh di pojok kanan pekarangan depan rumahnya. Senang karena pohon itu membuahkan epek pisang yang amat banyak lagi panjang-panjang; iba karena mendapatinya amat kurus, doyong, hampir-hampir roboh—tidak kuat digelantungi pisang-pisang yang tampak masih muda itu.

Maka sembari mencagakkan bambu ke ujung batang pohon pisang itu, dengan nada rada kesal ia ngedumel, “Jadi pohon mbok ya a kontrol, sayangi jangan malah mengorbankan diri; apa gunanya menghasilkan buah se-rendel ini apabila sampean malah rubuh?”

Advertisements

Tidak dinyana kemudian, seusai ia menopangkan bambu itu—saat hendak beranjak dari situ—, si pohon pisang menjawab, “Lho hidup saya memang cuma sekali, dan kesempatan saya berbuah pun cuma sekali. Maka bukankah seharusnya kesempatan ini saya gunakan sebaik-baiknya?”

Setelah menghentikan langkah untuk kemudian berbalik arah orang itu menanggapi, “Iya, saya tahu, tapi setidaknya uruslah diri sampean, jangan cuma mengurusi buah sampean.”

“Tidak apa-apa keadaan saya seperti ini, karena belakangan memang saya sengaja membagi makanan yang saya hasilkan hampir semuanya untuk buah saya. Toh selain tidak lagi dalam masa pertumbuhan, hidup saya sepertinya tidak lama lagi. Bukankah setelah buah saya matang atau setidaknya telah tua, sampean bakal menebang saya—sebagaimana yang sampean lakukan pada teman-teman saya yang telah mendahului saya?”

Setelah terdiam untuk beberapa saat—bingung harus menanggapi apa—orang itu berkata, “Jujur, saya heran pada sampean, karena seingat saya di pekarangan ini belum ada pohon pisang berbuah se-rendel sampean. Sebetulnya apa yang menjadikan sampean berbuat demikian?”

Pohon pisang itu menjawab dengan menceritakan bahwa semua ini bermula pada suatu sore menjelang senja. Seseorang tampak mengontel sepeda di jalan depan pekarangan itu, mendekat ke arahnya sembari terus-menerus memandangi jantung—bunga pisang—yang sedang ia rekahkan dengan pandangan penuh kekaguman.

Dipandangi seperti itu, ia sendiri merasa heran: apakah orang itu baru sekali ini mendapati pohon pisang bakal berbuah, ia tidak tahu. Kemudian, ia bertambah heran, saat jarak kian dekat, sembari tetap memandanginya, sekonyong-konyong orang itu berkata dengan nada riang, “Alhamdulillah!

Beberapa hari kemudian, orang itu tampak lagi di jalan itu, dan memamerkan gelegat yang sama seperti kemarin. Maka, begitu ia selesai mengucap alhamdulillah, buru-buru si pohon pisang menghentikannya. Setelah orang itu berhenti, si pohon pisang meminta penjelasan kenapa ia melakukan hal itu.

Setelah tersenyum, orang itu menjawab dengan menyatakan bahwa saat ia melihat jantung pisangnya yang tengah merekah, sekonyong-konyong ia teringat Gusti Allah Ta’ala, Pencipta jagad raya dan segala isinya.

Tidak sepenuhnya memahami jawaban tersebut, si pohon pisang meminta penjelasan lebih lanjut.

“Sampean,” kata orang itu, “dan segenap pepohonan, saya dan segenap manusia serta semua makhluk di alam semesta adalah ciptaan Gusti Allah Ta’ala. Adanya alam semesta berikut seluruh isinya membuktikan adanya Sang Pencipta. Tidak mungkin alam semesta ada dengan sendirinya. Kita adalah tanda, tanda yang menandakan keberadaan Sang Pencipta. Saat saya melihat sampean, saya melihat suatu tanda yang mengingatkan saya kepada Dia Sang Pencipta; maka seketika itu juga saya memuji Gusti Allah Ta’ala, hanyut dalam kekaguman kepada-Nya—yang menciptakan sampean berikut potensi yang ada pada sampean hingga tumbuh dan berbuah…”

Kemudian, setelah pohon pisang itu menyadari dirinya adalah makhluk ciptaan, suatu tanda, yang menandakan keberadaan Sang Pencipta, ia bertekad menjadi tanda yang baik—dalam arti menarik perhatian bagi siapa yang melihatnya; karena ia hanyalah sebatang pohon pisang, yang hanya bisa tumbuh dan menghasilkan buah pisang, maka ia bertekad menjadikan buahnya sebaik mungkin agar diperhatikan, dan semoga keberadaannya mengingatkan para pelihatnya kepada Gusti Allah Ta’ala yang menciptakannya.

Demikianlah si pohon pisang mengakhiri jawabannya yang menjadikan orang itu tercengang dalam tempo cukup lama. Selain tidak pernah menyangka bahwa sebatang pohon pisang bakal berpikir dan bertekad sejauh itu, sebagai manusia ia merasa malu: selama ini ia hanya memikirkan buah yang dihasilkan oleh pohon-pohon pisang yang tumbuh di pekarangan depan rumahnya itu sekadar sebagai keuntungan baginya belaka. Jarang sekali atau malah tidak pernah sama sekali ia berpikir bahwa mereka pun merupakan suatu tanda yang dapat mengingatkanya kepada Sang Pencipta.

Namun kemudian ia menginsyafi kelakuannya, dan bertekad merawat mereka hingga mudah-mudahan menghasilkan buah-buah pisang terbaik yang bakal menyita perhatian orang-orang yang lewat di jalan depan rumahnya itu; mengingatkan mereka kepada Penciptanya—Gusti Allah Ta’ala.

Doplangkarta, 22 Maret 2021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan