Penembak Hari

1,254 kali dibaca

Hari ini digelar syukuran oleh Kombes Hari, karena ia mendapatkan melati di pundaknya bertambah satu. Sekaligus purnatugas di Detasemen Antiteror. Hari-hari sebelumnya, waktu masih aktif menjadi anggota Detasemen Antiteror, profesinya itu sangat dirahasiakan. Sekarang Heri sudah purnatugas dari detasemen tersebut. Profesinya yang dulu dirahasiakan, kini boleh diceritakan kepada siapa saja. Lencana-lencana penghargaannya dari Detasemen Antiteror yang dulu disimpan rapat dalam lemari terkunci, kini sudah dikeluarkan.

“Pantes cepat sekali kenaikan pangkat Pak Heri. Suami saya polantas, sekarang masih Ipda. Pak Heri, sudah Kombespol.”

Advertisements

“Bapak bisa jadi petembak hebat, bagaimana caranya?”

“Awal bisa masuk Kepolisian bagaimana?”

“Ceritakan Pak Heri, tentang pengalaman Anda pertama ketemu teroris?”

Semua pertanyaan-pertanyaan tetangganya itu dijawab Heri dengan sangat enteng, karena saking bangganya dia terhadap profesinya.

Memang kemampuan menembak Heri tidak diragukan lagi. Dalam sekali angkat senjata senapan ruduk AWM-nya, jika musuh sudah masuk jangkauan teleskopnya, pasti nyawanya melayang.

***

Hobinya bermain tembak-tembakan dulu kini membawa Heri menjadi petembak anggota jitu di tim elite Detasemen Antiteror. Dulu, ketika masih TK, Heri suka melihat Lucky Luck, film koboi yang bisa menembak lebih cepat dari banyangannya. Karena sering melihat itu, Heri terobsesi menjadi koboi. Heri ingin dibelikan senapan air. Sejak saat itu, ia suka sekali main tembak-tembakan bersama teman-temannya. Kadang temannya juga jengkel, sebab Heri selalu mengajak bermain tembak-tembakan padahal sudah tidak musim main tembak-tembakan.

Di waktu menginjak remaja, Heri pernah menjumpai pemburu burung masuk ke pekarangan rumahnya. Pemburu itu membawa burung tekukur, kutilang, dan cendet di tanggannya, sambil menggendong senapan angin lengkap dengan teleskop.

Kejadian itu mengispirasinya untuk membeli senapan angin. Sewaktu pulang ke rumahnya, Heri ngotot minta dibelikan senapan angin. Orang tuanya mengetahui bahwa bermain senapan itu berbahaya. Mereka menasihati Heri untuk meminta yang lain. Tapi Heri tetap ngotot, sampai-sampai berani melawan orang tuanya.

“Aku hanya mau senapan angin, aku janji tidak akan aku bawa keluar rumah sampai aku cukup umur membawanya untuk berburu.”

“Senapan angin itu bisa melukai orang, Nak. Nanti kalau kena mata atau organ fital lainnya bisa menyebabkan kematian. Kamu masih kelas 2 SMP. Sudahlah pakai ketapel saja, lebih aman.”

“Ketapel juga bisa menyebabkan kematian kalau kena kepala atau mata. Sama saja ayah. Kalau tidak dibelikan aku mau pergi mencari uang sendiri, untuk membelinya.”

Heri menuju kamarnya, lalu memasukkan sedikit baju, buku, dan memecahkan celengannya. Melihat hal itu, hati ibunya mulai luluh, kemudian merayu ayahnya agar membelikan senapan. Setelah senapan angin dengan teleskop digengamnya, Heri terbakar semangat untuk langsung menggunakannya. Ia membuat sebuah target mirip dengan petembak profesional. Target itu digambarnya, lingkaran kecil berwarna merah, kemudian dikelilingi oleh lingkaran-lengkaran yang lebih besar berwarna hitam.

Awal-awal ia belajar menembak peluru yang dimuntahkan senapannya berhamburan entah ke mana. Selalu saja meleset. Paling tepat, peluru itu hanya menyasar di lingkaran hitam. Ia terus belajar, sampai satu tahun kemudian ia baru sering bisa mengenai target, tetapi tidak selalu. Karena peluru senapan angin bukanlah peluru yang baik untuk petembak.

***

Waktu terus bergulir, hingga Heri mengijak kelas 2 SMA. Sekarang ia mulai menjadi petembak jitu. Setiap kali ia berburu pasti ada saja burung yang dibawanya pulang. Entah dapat satu atau lima. Entah dapat yang kecil, burung pipit, atau yang besar, burung dara.

Pernah suatu ketika ia tidak ketemu burung. Akhirnya ia sempat putus asa. Tak disangka dia bertemu Pak Jumantoro, seorang polisi yang ada di desanya.

“Tumben Her tidak membawa hasil buruan hari ini.”

“Saya tidak melihat seekor burung pun Pak, makanya tidak dapat,”

“Di kolam belakang ada ikan mujair, sulit sekali aku tangkap. Padahal semua ikan sudah aku tangkap. Tapi ada beberapa yang pandai menghindar waktu kutangkap. Siapa tahu kamu bisa menangkapnya dengan senapanmu. Kalau kamu berhasil maka bawalah pulang.”

Heri pun langsung ke belakang rumah Pak Jumantoro, dilihatlah sebuah kolam ikan yang berair agak keruh, namun tetap terlihat ikannya walaupun remang-remang. Diacungkanlah senapannya ke kepala ikan. Lalu ditembaklah. Tembakan pertama, kedua, dan ketiga meleset karena ada pembiasan antara udara dan air. Akhirnya, dihitunglah tingkat melesetnya. Barulah berhasil dia menguras sisa-sisa ikan di kolam Pak Jumantoro.

“Kamu berbakat menembak, kenapa tidak coba kamu mendaftar jadi anggota polisi atau tentara.”

“Saya tidak pernah memikirkannya. Karena saya anggap ini menjadi hobi.”

“Kamu bisa lari cepat, berenang, dan pandai dalam pelajaran?”

“Lari lumayan cepat, berenang bisa Pak, dan dalam pelajaran saya paling hanya mendapat peringkat delapan besar.”

“Yah coba saja, tahun depan kalau tidak salah di bulan Maret−Mei diumumkan ada pendaftara, mungkin kamu sudah selesai UAN ‘kan? Salurkankanlah hobimu agar bisa bermanfaat bagi negaramu.”

“Ya Pak, saya mengucapkan terima kasih atas sarannya.”

***

Setelah lulus SMA, Heri mengikuti tes seleksi penerimaan bintara kepolisian. Dalam tes tersebut diikuti oleh seribu lebih peserta. Heri yang sudah menyiapkan fisik, mental, dan intelektualnya. Ia selalu berlari setiap usai salat subuh. Berenang setiap tiga hari sekali walau kadang di kali. Membeli buku-buku psikotes dan selalu membacanya. Tak lupa juga serius belajar mata pelajaran sekolahnya. Karena itu dia tak gentar untuk menghadapi tes masuk bintara polisi.

Tes pertama adalah tes fisik dan kesehatan. Dalam tes tersebut lolos, karena tidak ada cacat dalam tubuhnya. Semua organ  tubuhnhya pun dalam kondisi fit semua. Dalam hal berlari, walau pun Heri bukan yang tercepat tetapi waktu tempuhnya sudah di atas waktu standar ketentuan kelulusan. Berenang pun juga demikian lolos seleksi.

Dalam tes psikologi dan pengetahuan, Heri berhasil hampir bisa mengerjakan seluruh soal-soal. Hanya sedikit soal yang tidak bisa dikerjakan. Papan pengumuman pun bericara bahwa Heri lulus semua tes. Ia berhak menjadi anggota bintara kepolisian.

***

Kali ini misi pertama Heri adalah mengamankan sandera dari dua orang perampok bank yang diduga menjadi anggota teroris. Heri dibimbing oleh Aipda Alex, anggota senior Tim 2 Detasemen Antiteror, berada di sebuah gedung hotel di seberang Jalan HOS Cokroaminito. Sementara di depan hotel tersebut ada gedung bank BUMN. Perampok itu sedang beraksi di sebuah bank BUMN tersebut. Perampok itu adalah anggota teroris yang diduga telah melakukan pengeboman di sebuah kafe di kawasan Jalan Budi Utomo beberapa bulan sebelumnya.

Dengan teropongnya Aipda Alex mengamati para perampok dalam bank itu. Memindai di mana saja posisi-posisi para sandera dan para perampok. Di hotel ini, di ruang lain, Inspektur Lukman juga mengamati situasi dalam bank yang dirampok itu.

“Bagaimana sudah Aipda Alex temukan ketujuh target operasi kita?”

“Siap! Saya hanya menemukan dua orang yang menjaga sandera di lobi bank.”

“Oke, 86! Kalian bersihkan kedua target itu. Yang lain nanti biar ditangani oleh Tim 1 DPT yang berada di bawah.”

“Siap, 86!”

Aipda Alex langsung memerintahnya Bripda Heri untuk membidik seorang pria yang membawa senjata FN yang sedang mondar-mandir di antara para sandera. Aipda Alek membidik seorang pria yang ada di hadapan para sandera.

“Bidik kepalanya, jangan sampai meleset. Kita harus melumpuhkan kedua orang penyandera itu. Eksekusi saat hitungan sampai tiga.”

“Siap Pak!”

“Jangan sampai meleset Bripda Heri. Kalau meleset nanti akan ada korban di pihak sandera. Satu lagi, hindari risiko tembakan kita terkena sandera.”

“Siap Pak!”

“Sebelum dimulai ada yang ditanyakan Bripda Heri?”

“Siap, tidak, Pak!”

Dikokanglah senapan runduk AWM. Dibidiknya lelaki berpeci hitam yang menodongkan pistol FN-nya kepada para sandera. Dirasanya Heri perlu berpindah tempat, lelaki berpeci itu bergerak ke samping kiri, karena ada papan nama bank yang terkadang menghalangi senapan AWM-nya.

“Lapor Pak, saya izin pindah posisi. Papan nama bank yang berada di sebalah kiri pintu masuk menghalangi pandangan saya.”

“Ya, pindahlah segera, laporkan jika target sudah ada dalam jangkauan tembak.”

“Siap Pak.”

Diangkatlah senapan runduknya. Lalu Heri pindah di jendela sebelah kiri Aiptu Alex. Dari situ dapatlah dilihat targetnya. Orang lelaki berbaju dan berpeci hitam. Dibidiknya lelaki berbaju dan berpeci hitam itu tepat di kepalanya. Lalu Heri mengontak orang-orang Aiptu Alex.

“Target dalam jangkauan Pak.”

“Amati kekuatan angin. Apa angin terlalu kencang”

“Siap Pak. Angin tenang Pak. Pohon hanya bergerak sedikit.”

“Dalam hitungan tiga, siap menembak Bripda Heri?”

“Siap Pak.”

“Satu… dua… tiga…”

Suara desingan senapan yang diredam pun berbunyi. Peluru panas itu melesat dari gedung hotel, melewati atas kepala-kepala para pasukan elite polisi negara, Detasemen Anti Teror. Sampailah pada sebuah pintu kaca bank, tempat ketujuh penjahat itu melancarkan aksinya. Kaca-kaca bank itu pecah tertembus peluru tajam yang sedang mencari mangsa. Mangsa pun ditemukan, ditembuslah kepala penjahat yang berpeci hitam itu. Bergeletak dengan darah mengucur dari kepalanya.

Begitu pula perampok satunya, yang membawa senapan serbu AK. Limbung seketika ketika peluru yang dimuntahkan dari senapan Aipda Alex menembus kepalanya kemudian bersarang di pundaknya. Tak lama setelah para penyandera tewas, Aipda Alex melaporkan kesuksesannya. Tim DPT 1 langsung masuk. Baku tembak pun terjadi, dan kelima penjahat itu berhasil dilumpuhkan hanya dalam hitungan menit.

***

Semua orang tertegun mendengarnya. Seolah tak sempat mengedipkan mata bahkan untuk batuk atau bersin. Mereka seperti melihat adegan-adegan film aksi di sebuah bioskop.

“Kapan-kapan dilanjutkan lagi Pak ceritanya,” pinta seorang anak kecil.

“Cukup dulu untuk hari ini. Besok main lagi ke rumah Bapak. Nanti saya ceritakan kisah yang lebih seru.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan