Pemuda dan Kepemimpinan Masa Depan

2,421 kali dibaca

Tiga Ribu prajurit itu terlihat enggan berangkat menuju Mu’tah, Palestina. Bukan karena gentar kepada pasukan Romawi tersebab kekalahan ekspedisi tidak lama sebelumnya. Tetapi, ada semacam ketidaksetujuan diam-diam terhadap kepemimpinan yang dipegang oleh Usamah bin Zaid yang dianggap terlalu muda, ditambah kekhawatiran akan kesehatan Rasulullah yang semakin memburuk.

Hingga saat-saat terakhir kehidupannnya, Rasulullah masih bersikeras untuk memberangkatkan ekspedisi ini dan menampik seluruh keresahan prajurit melalui tanggapannya. “Kalian mengkritik pilihanku terhadap Usamah yang kutunjuk untuk memimpin pasukan, seperti halnya dahulu kalian pernah mengkritik kepemimpinan ayahnya, Zaid. Usamah benar-benar layak memegang komando yang aku amanatkan kepadanya, seperti juga ayahnya sebelumnya.”

Advertisements

Respons Nabi Muhammad tersebut menunjukkan bahwa tidak selayaknya seseorang memandang rendah orang lain hanya karena umurnya yang lebih muda, sebagaimana dulu juga terjadi pada Zaid bin Haritsah yang tidak dianggap kepemimpinannya karena statusnya bekas budak.

Sikap Rasul ini sepenuhnya ingin memberikan penguatan bahwa kejahiliyahan harus ditinggalkan, dan bahwa untuk alasan tertentu, penghormatan harus tetap diberikan kepada seorang pemimpin dengan terus membantunya untuk mewujudkan kemaslahatan bersama, jauh dari prasangka ketidakcakapan yang merendahkan martabatnya.

Tariq Ramadlan menjelaskan lebih lanjut bahwa selama memenuhi kualitas spiritual, intelektual, dan moral yang dibutuhkan, seseorang tidaklah boleh dihalangi untuk memegang otoritas dan kekuasaan, dan bahkan mungkin menjadi pelajaran kerendahan hati bagi generasi tua untuk mundur karena waktu akan mengikis tenaga seseorang.

Lebih jauh, dalam konteks kepemimpinan dan hubungan dua generasi yang berbeda, menurut hemat penulis riwayat tersebut juga menggambarkan setidaknya dua hal penting, yaitu bahwa (1) kompromi yang memastikan hubungan tua-muda tetap selaras; dan (2) kepemimpinan seseorang memang harus diteguhkan supaya ia mampu menjalankan hak-kewajibannya.

Untuk soal yang pertama, Nabi pernah bersabda, “Laisa minna man lam yarham shoghiirona wa lam yuwaqqir kabiirona” (Bukanlah golonganku seseorang yang tidak mengasihi yang muda dan yang tidak menghormati yang tua. Dalam redaksi lain: yang tidak mengetahui kemulian yang tua).

Karena, hal demikian itu memang diakui sangat sulit menekankan keseimbangan peran antara yang muda dan yang tua. Secara sadar, menurut sudut pandang generasi tua, adalah jauh dari harapan pemuda yang hanya berkutat pada kesenangan konsumerisme belaka sebagai akibat kemajuan zaman dan ekses pertautan cara berpikir yang distorsif; dan sebaliknya, perasaan jauh itu diperburuk dengan figur generasi tua yang kurang bisa berbesar hati menerima keadaan, juga tidak mampu memberikan teladan terbaik pada generasi berikutnya.

Kemudian dalam taraf berikutnya, selama tetap dalam moralitas yang benar, kecakapan yang meniscayakan otoritas seorang pemimpin adalah juga perlu dijunjung dan dikuatkan terutama jika muncul fitnah hanya karena beberapa orang menyangsikan atau yang secara sengaja mericuh situasi.

Menjadi kewajiban bagi seorang atau sekelompok orang yang berkedudukan mulia, untuk berusaha meneguhkan kepemimpinan; meyakinkan kelayakan dan mengingatkan pada tujuan kemaslahatan semula. Tentu saja, karena keraguan yang tidak beralasan akan mudah menyebar dan memperburuk suasana. Sebagaimana komentar Sahabat Ali bin Abi Tholib melihat pembangkangan yang dilakukan oleh sebagian rakyatnya: “Pemimpin itu punya hak untuk dipatuhi, sedangkan rakyat punya hak untuk dipenuhi kebutuhannya.” Itu artinya, bagaimana mungkin akan tercipta kesejahteraan (maslahah) bersama, jika setiap perintah dan arahan yang menuju hal itu selalu ditolak?

Memang benar bahwa generasi muda dapat dihargai melalui semangat dan kekuatan fisik yang tinggi, sedangkan yang sepuh dihormati karena kebijaksanaannya; itu pula karena jarang ditemukan terkumpulnya dua sifat unggul pada satu generasi saja. Sehingga, dalam urusan pergerakan, pengelolaan sumber daya, atau segala hal yang menuntut keaktifan terorganisasi, pemuda dapat diandalkan. Sebaliknya, untuk urusan pembinaan, serta yang terkait dengan pertimbangan lanjut, sesepuh/senior lebih berhak untuk didudukkan.

Yang demikian itu agar kepemimpinan tidak semata sebagai keandalan dalam membuat keputusan atau sebaliknya menuntut karya nyata, tetapi merupakan kombinasi di antara keduanya. Sesungguhnya, ini adalah persoalan apakah pewarisan informasi (nilai-nilai/values) dapat tersalurkan dengan baik pada generasi berikutnya untuk menjamin kepemimpinan yang lebih baik atau setidaknya baik di masa mendatang.

Seorang anak yang tidak mengetahui apa pun pencapaian kebaikan kakeknya atau kakek buyutnya tanpa ada media lain yang menjamin hal itu, dapat secara nyata menambah kegamangan anak (generasi muda) untuk menghadapi tantangan di depannya. Pemuda adalah harapan yang tua, namun hanya jika yang tua cukup arif untuk menjamin proses ke arah tersebut. Bisa saja karena keadaan yang memaksa, seseorang maju menjadi pemimpin—tetapi itu adalah kemungkinan yang membuat langkah menjadi tertatih-tatih, terseok-seok. Keseluruhan tersebut adalah pekerjaan rumah yang cukup berat, namun jika tidak pernah disadari terutama dirumuskan aspek pendidikannya, tentu saja hal ini membawa kemungkinan yang buruk di masa depan bagi perjalanan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

Jadi, yang tua pun harapan pemuda, bukankah begitu?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan