Pemburu Takjil

1,468 kali dibaca

Sore mulai berisyarat untuk menyapa senja. Kali ini cuaca cukup bersahabat. Tidak panas menyengat; pun mendung tidak tebal menggumpal di angkasa. Jejalanan juga cukup normal; tidak nampak antrean truk trailer dari dan ke arah pelabuhan. Hanya lalu lalang motor dan mobil pribadi sedikit menyemut dari biasanya.

Dari jendela rumah kosnya di lantai dua, Gani terus mengamati cuaca dan lalu lintas sekitarnya. Ia mulai berpikir, berhitung, dan berkalkulasi ke mana arah langkah kakinya pergi. Salah sedikit sebenarnya bukan masalah berarti. Paling-paling dari rencana lauk ayam atau daging sapi menjadi tahu tempe. Hanya, maqom-nya sebagai seorang ketua organisasi dan mahasiswa tingkat akhir akan tereduksi.

Advertisements

“Hari ini kita ke mana, Gani? Jangan seperti kemarin, ingin nasi empal dan es kacang ijo malah cuma dapat tahu tempe dan es teh,” pertanyaan Rido mulai memanaskan situasi.

“Mending kemarin sih. Penting ada nasi, lauk, dan penghilang dahaga. Daripada nuruti saran kamu di hari pertama puasa, malah kita tidak kebagian apa-apa,” ejek Suryo kepada Rido.

“Benar Sur, kita cuma berbuka dengan air mineral saja,” tambah Sigit membenarkan pernyataan Suryo.

“Itu hari pertama. Hampir semua masjid belum maksimal menyediakan menu berbuka. Apalagi gara-gara kamu yang tidurnya lama dan kita telat berangkat ke sana,” serangan balik Rido kepada Suryo.

“Sudah, sudah. Tidak usah menambah lagi kering kerongkongan kalian dengan perdebatan konyol ini. Kali ini kuputuskan, kita ke Masjid Nurul Huda.”

“Tapi, itu masjid tua dan lumayan jauh, Gani. Tak bisa jalan kaki.”

“Iya, Gan. Tahu sendiri tangki motorku hampir berada di titik nol.”

“Jangan panggil aku Ridwan Gani jika misi religi ini gagal lagi.”

“Misi religi? Plus sosial ekonomi kali!” seloroh Sigit diiringi tawa renyai di antara mereka.

Keempat sahabat itu pun akhirnya mulai mempersiapkan dua motornya. Plat luar daerah, tapi masih berada dalam satu wilayah provinsi. Hampir segaris muasal pencaharian orang tuanya: petani, pedagang, dan penjahit. Sebagai mahasiswa tingkat akhir, mereka seolah kehilangan jalan pulang ke daerahnya. Memilih berjibaku di kota besar tempat menempuh pendidikan sarjana.

Sebenarnya pandemi ini mereka bisa pulang ke daerahnya, menjalani kuliah daring dari rumah masih-masing. Fokus kuliah, fokus organisasi, obrolan tetangga kalau mereka di rumah; itulah yang membuat mereka berat meninggalkan lingkungan tempat perkuliahan. Kehidupan pun sama seperti sebelum pandemi, pulang satu dua hari dalam rentang 1-2 bulan.

Terlebih Gani, putra sulung dari keluarga petani kecil. Kedua orang tuanya telah menitipkan segumpal kebanggaan atas kepergiannya. Saat dinyatakan diterima di perguruan tinggi negeri, bapak ibunya dengan wajah berbinar bercerita kepada sebagian besar penduduk desa. Bahkan mengadakan selamatan sebelum keberangkatan Gani. Gani bisa sukses, terpelajar, dan menjadi pengubah garis nasib keluarga.

“Kamu nanti pasti jadi ‘orang’, Le, anakku!” kalimat terakhir emaknya saat awal ia berpamitan dulu.

Sekira 15 menit mereka sudah hampir sampai di Masjid Nurul Huda. Gani yang beberapa kali singgah di masjid ini memilih masuk lewat area belakang. Ia lumayan hafal area. Jika lewat depan, mereka harus memutar pada jalanan yang searah itu.

Motor diparkir di area samping masjid. Suasana sekitar masih sepi. Padahal beduk maghrib tinggal menyisakan hitungan menit saja.

“Jam segini masjid kok masih sepi ya?” Suryo mulai merasakan keanehan sekaligus kekawatiran.

“Iya-ya. Biasanya ramai,” tambah Sigit.

“Pertanda kita buka dengan air mineral atau bahkan air kran ini,” suara Rido mulai mengernyitkan dahi.

Gani berjalan sendirian menuju masjid. Dilepaskan sendalnya. Ia mulai masuk; mencari-cari barangkali menemukan takmir yang bertugas hari ini. Di parkiran tadi hanya nampak satu sepeda yang sudah agak tua. Di teras masjid tiada orang sama sekali. Gani masuk ke bagian tengah. Lirih-lirih ada suara orang tua mengaji, tepat di depan mimbar.

Gani menuju sumber suara itu. Ia sudah tepat berada di belakang suara itu. Gani diam saja, duduk bersila. Tak berani memotong orang mengaji. Seorang tua tersebut nampak melihat kehadiran Gani. Setelah sampai pada bagian ain, ia memberhentikan bacaan dan meletakkan Qurannya.

“Ada perlu apa Nak ke sini?”

“Biasanya masjid ini selalu ramai. Sekarang kok sepi ya Pak?”

“Kamu tadi lewat belakang masijd ya? Tidak lewat depan?”

“Iya Pak. Ada apa di depan masjid?”

“Sebenarnya aku ingin mengusirmu. Kamu pasti bukan penduduk sekitar masjid. Tapi ya sudahlah.”

“Iya Pak. Saya dan teman-teman adalah mahasiswa rantau. Sengaja ke sini untuk salat maghrib sekaligus berbuka puasa.”

“Jangan kau balik bicaramu. Kau ke sini tujuan utamanya buka puasa, kan?” Pak Tua sedikit mengeraskan suaranya.

“Mohon maaf, Pak. Kalau begitu saya izin pamit dulu. Mohon maaf telah mengganggu,” nyali Gani mulai ciut.

“Sebentar lagi maghrib. Jangan tinggalkan keutamaan azan dan salat berjamaah. Ambil air mineral di sudut masjid itu. Kamu bawa teman-temanmu mendekat. Ayo berbuka, lalu kamu azan.”

Gani bergegas memanggil teman-temannya yang sedari tadi berada di teras masjid. Diambilnya air mineral gelas 330 ml yang masih tersisa. Gani membagikan air mineral itu kepada Pak Tua dan teman-temannya. Begitu waktu buka sudah masuk, ia minum air mineral itu dan bersegera kumandangkan azan.

“Jangan kau pakai micropohone. Cukup kita saja yang mendengarnya. Kamu ingin dipuji orang-orang kalau suaramu bagus dan rajin ibadah?”

“Tidak seperti itu, Pak. Saya hanya ingin memberitahu bahwa sudah waktunya berbuka dan menunaikan salat maghrib.”

“Kamu pasti tidak lewat depan masjid.”

Gani azan tanpa pengeras suara. Tangan kanannya menyiku, memegang telinga. Tangan kirinya lurus menyentuh ujung bawah tangan kanannya. Sudah beberapa tahun Gani tidak azan. Terakhir kali sebelum ia berangkat kuliah. Kali ini ia azan di masjid semegah ini di suatu sudut kota besar.

Selesai azan, Gani mengumandangkan iqomah. Pak Tua menjadi imam. Keempatnya mengikuti di belakang sebagai jamaah. Rokaat pertama, imam membaca Surat Ar Rahman. Rokaat kedua, imam membaca Surat Waqiah. Setiap gerakan salat, berlangsung khusyuk dan tumakninah. Maghrib yang terasa lama dibanding biasanya, apalagi perut sedang lapar-laparnya.

Seusai salam, imam memimpin bacaan wirid harian. Tampak Suryo memberi kode kepada semua untuk segera meninggalkan masjid. Segera mencari makan untuk berbuka puasa. Dan bisa saja melemparkan sejuta penyesalan dan makian untuk Gani saat berada di kos nanti.

“Apa kalian tidak pernah salat jamaah?” Pak Tua mengeraskan suaranya sembari menoleh ke belakang yang mulai bergerak pulang.

“Betapa akhirat tidak ada apa-apanya dibanding dunia yang cepat dan fana. Lebih lamalah lagi kalian ibadah dan berdoa di hadapan Rab-Mu,” tambah Pak Tua.

Keempatnya langsung bersiap di belakang imam. Menirukan dan mendengarkan bacaan imam. Tak ada lagi gerakan atau pandangan perlawanan. Keempatnya pasrah mengikuti semuanya.

“Ambil makanan di ruang takmir. Bawa semuanya. Kita buka di teras masjid,” perintah Pak Tua seusai selesai berdoa.
Keempatnya mengikuti perintah Pak Tua. Menuju ruang takmir yang terletak di sisi utara masjid. Dibukanya ruang itu pelan-pelan. Betapa terkejutnya mereka. Sudah ada makanan lengkap tersaji. Ada es manado, kolak pisang, kurma, irisan buah semangka, kerupuk udang, gorengan, 5 nasi kotak dengan lauk pauk lengkap. Mereka segera angkat semuanya dan dibawa ke teras masjid di mana Pak Tua telah menunggu.

Akhirnya semua berbuka bersama dengan menu yang begitu lengkapnya. Tak ada suara sukacita dan gegap gempita. Gerakan pun berlalu secara teratur mirip upacara makan taruna di kemiliteran.

“Jangan kau habiskan semua. Puasa tidak mengajarkan kalian bergumul keserakahan. Waktu buka bukan merupakan waktu pembalasan. Puasa bukan bulan untuk meminta, tetapi memberi,” Pak Tua menasihati.

“Iya, Pak,” jawaban keempatnya hampir serempak.

“Kalian boleh pulang sekarang. Bawa makanan yang ada. Masjid ini belum mengadakan berbuka dan salat berjamaah karena peristiwa kemarin.”

“Terima kasih atas kebaikan dan nasihat Bapak. Kami pamit dulu,” Gani mengulurkan tangannya kepada Pak Tua dan Pak Tua pun langsung mengelakkan tangannya.

“Bapak bangga kalian masih muda tapi ingin memakmurkan masjid ini. Jauh-jauh datang ke sini. Pulanglah dengan segera.”

Keempatnya langsung bergegas pulang. Menuntun kendaraan, lalu pulang lewat belakang seperti semula tadi keberangkatan. Belum ada yang berani berkata-kata. Masih teratur gerakannya.

“Pulang kita memutar lagi saja lewat depan masjid. Saya penasaran!” tukas Sigit saat sudah menapak di jalan raya.

“Tidak. Trauma saya dengan masjid ini. Mending kita segera pulang,” Suryo berusaha menolak.

“Lewat depan saja. Kali ini. Kali ini saja, patuhi perintahku,” Gani memandang dengan tatapan tajam kepada ketiga sahabatnya.

Mereka memilih mengikuti perintah Gani. Menstarter motor, memutar beberapa ratus meter, lalu melewati tepat di depan masjid.

Mereka sudah tepat di depan masjid. Lampu masjid yang tadinya begitu terang ternyata telah redup, hanya tersisa bagian depan dan samping saja. Masjid begitu gelap dari kejauhan padahal sudah semestinya bersiap menyambut jamaah salat Isya dan tarawih.

Mereka berhenti sejenak di depan masjid bagian luar. Mencari-cari orang yang bisa ditanya. Sekaligus mencari pengumuman apa yang terpampang di sana. Nihil. Tak ada tanda-tanda.

“Padahal tadi lampunya terang. Juga ada Pak Tua,” celetuk Suryo.

Gani berjalan kaki ke arah selatan masjid. Mencoba mencari sumber terang dari kejauhan. Ia terus berjalan kaki. Ada sebuah warung yang pintunya masih terbuka setengahnya.

“Bu, bu. Mau tanya. Masjid Nurul Huda kok gelap ya? Apa tidak dipakai jamaah ya?”

“Sudah beberapa hari masjid ditutup untuk umum karena ada suatu kejadian dan pandemi.”

“Tapi untuk sekitar masih digunakan ya Bu? Kan masih ada takmirnya?” Gani memburu lagi dengan pertanyaan sedangkan Suryo, Sigit, dan Rido sudah mengepung di belakangnya.

“Itu tadi kejadiannya. Pak Soleh yang lama menjadi takmir di masjid sudah berpulang ke rahmatullah.”

Keempatnya segera bergegas pulang ke kos. Makanan yang tadi terbawa diberikan ke penghuni kos lainnya. Keempatnya berdiskusi dan menghitung beragam kemungkinan: mistis, nasihat, filsafat, kebetulan, atau mimpi belaka. Pulang: putusan finalnya.

Mereka segera mengemasi barang-barangnya. Tak peduli malam segera memburu. Pulang ke kampung halamannya dan bersua dengan keluarga; sahur dan buka tanpa mengharap takjil di masjid atau musala.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan