Pemburu Takjil

1,450 kali dibaca

Sore mulai berisyarat untuk menyapa senja. Kali ini cuaca cukup bersahabat. Tidak panas menyengat; pun mendung tidak tebal menggumpal di angkasa. Jejalanan juga cukup normal; tidak nampak antrean truk trailer dari dan ke arah pelabuhan. Hanya lalu lalang motor dan mobil pribadi sedikit menyemut dari biasanya.

Dari jendela rumah kosnya di lantai dua, Gani terus mengamati cuaca dan lalu lintas sekitarnya. Ia mulai berpikir, berhitung, dan berkalkulasi ke mana arah langkah kakinya pergi. Salah sedikit sebenarnya bukan masalah berarti. Paling-paling dari rencana lauk ayam atau daging sapi menjadi tahu tempe. Hanya, maqom-nya sebagai seorang ketua organisasi dan mahasiswa tingkat akhir akan tereduksi.

Advertisements

“Hari ini kita ke mana, Gani? Jangan seperti kemarin, ingin nasi empal dan es kacang ijo malah cuma dapat tahu tempe dan es teh,” pertanyaan Rido mulai memanaskan situasi.

“Mending kemarin sih. Penting ada nasi, lauk, dan penghilang dahaga. Daripada nuruti saran kamu di hari pertama puasa, malah kita tidak kebagian apa-apa,” ejek Suryo kepada Rido.

“Benar Sur, kita cuma berbuka dengan air mineral saja,” tambah Sigit membenarkan pernyataan Suryo.

“Itu hari pertama. Hampir semua masjid belum maksimal menyediakan menu berbuka. Apalagi gara-gara kamu yang tidurnya lama dan kita telat berangkat ke sana,” serangan balik Rido kepada Suryo.

“Sudah, sudah. Tidak usah menambah lagi kering kerongkongan kalian dengan perdebatan konyol ini. Kali ini kuputuskan, kita ke Masjid Nurul Huda.”

“Tapi, itu masjid tua dan lumayan jauh, Gani. Tak bisa jalan kaki.”

“Iya, Gan. Tahu sendiri tangki motorku hampir berada di titik nol.”

“Jangan panggil aku Ridwan Gani jika misi religi ini gagal lagi.”

“Misi religi? Plus sosial ekonomi kali!” seloroh Sigit diiringi tawa renyai di antara mereka.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan