Pardi dan Babi-babinya

1,105 kali dibaca

Peristiwa itu melekat di kepala Pardi. Dia hafal betul uik babinya, lekuk bongkongnya, warna kulitnya, dan hangat tubuhnya. Sehari-hari Pardi hanya duduk di kursi malas depan rumahnya. Setelah sebulan peristiwa itu terjadi Tati, istri Pardi keluar rumah untuk berbelanja ke pasar. Ia terkejut melihat suaminya menguik di atas kursi malas sambil memoncongkan mulut. Suaranya mirip sekali dengan babi ternaknya.

“Oh. Pardi,” seru Tati. “Janganlah kau ingat-ingat lagi tentang babi-babi itu. Mereka sudah tiada. Menjadi abu.” Tati memperhatikan Pardi. Tapi Pardi tidak merasakan keberadaan istrinya. Dia mulai merangkak, berjalan di depan Tati dan beranjak ke kandang babi yang sepi.

Advertisements

Pardi yang baru saja menyiapkan makan dan tidak mendengar uik babi, terkejut ketika semua babinya tak bernyawa. Dia segera lempar bak dan menghamburi binatang ternaknya. Dia berlari dari satu babi ke babi yang lain, lalu masuk ke kandang, dan keadaannya sama. Dia cium air di bak, dan tak berbau apa-apa. Dia memanggil Asti, istrinya. Lalu dia ceritakan semuanya.

Apakah wabah sudah menjangkit babi? Ini lah pertanyaan Asti saat itu, tapi ia urung bertanya karena ia tahu sendiri, Pardi sangat getol memeriksa kesehatan dan membersihkan kandang.

“Apa yang harus kita lakukan pada babi-babi ini?” tanya Asti sambil memikirkan kerugian yang mereka peroleh.

“Sebaiknya kita bakar saja,”

“Kerugian kita 93%, bayangkan!”

“Kok bisa … babi-babi ini mati?” Pardi memalingkan wajah dari Asti dan memandang binatang ternaknya.

“Apa wabah sudah menjangkit binatang ternak kita?” tanyanya sambil mengelus binatang malang itu.

Asti diam.

“Aku siapkan kayu bakar dulu.” Mereka keluar dari kandang. Pardi duduk di kursi malas depan rumahnya.

Saat Asti pergi ke gubuk penyimpanan kayu, Joko, tetangga yang juga peternak babi muncul.

“Hai, Joko,” sapa Asti.

“Bahaya!” seru Joko buru-buru mengabaikan sapaan Asti dan terus berjalan ke arah Pardi.

“Bahaya Par, bahaya, bahaya,” ulangnya.

“Bahaya kenapa?”

“Sesuatu telah terjadi, sesuatu yang mengerikan,” ucap Joko terbata-bata.

“Iya, apa?”

“Babi-babiku mati!”

“Ha!” seketika Pardi bangkit dari kursi malas.

“Bukan hanya aku, tapi Suki peternak babi yang lain juga mengalami hal serupa.”

Pardi duduk kembali, mendengus sambil menunduk.

Dengan suara lemah, “babi-babiku juga mati,”

“Apa?”

Pardi mengangguk. “Kita harus bakar babi kita yang mati, takutnya mereka terkena wabah,”
Joko yang sebenarnya ingin berbicara mengenai babinya, urung, lalu mengiakan perkataan Pardi karena itu solusi terbaik.

Babi-babi yang malang. Ketika Asti telah mengumpulkan kayu bakar dan menatanya dengan rapi, lalu Pardi menaruh babi-babinya di atas tumpukan kayu—hanya beberapa—lalu api menyala membakar binatang yang malang itu. Sebagian babinya dia kubur di tempat yang jauh. Dan saat pulang, dan matahari sudah tenggelam, bagaimana jika aku diposisi mereka? tiba-tiba pertanyaan itu terbesit begitu saja.

Setibanya di rumah, Pardi menyempatkan menengok kandang, kemudian masuk ke dalam yang disambut hangat istrinya. Hidangan malam tersaji nikmat, tapi selera makannya sedang tidak enak. Dia urung makan, dan tinggal Asti dan satu anaknya.

“Kenapa bapak tidak makan?” tanya Ika, anaknya.

“Tidak ada apa-apa, mungkin Bapak masih kenyang,” mata Ika mengarah pintu kamar Pardi mengharap bapaknya keluar dan makan bersama. Tapi, sampai Tati selesai makan pun Pardi tetap tidak keluar. Ika tidak menghabiskan makannya.

“Kenapa gak dihabisin?”

“Kenyang, Ma.”

Ika langsung masuk ke kamar, dan Asti tahu apa sebabnya.

Esoknya, terdengar kabar bahwa dua peternak babi di pedukuhan mendapat babi-babinya mati. Joko telah membongkar kandang dan dibangun sebuah rumah kecil. Seiring waktu peternak yang babinya mati memilih beternak ayam atau bebek, atau ada pula yang memilih seperti Joko. Namun tak banyak yang kembali menernakkan babi.

Pardi sendiri tidak melakukan apapun kecuali duduk di kursi malas sambil menghisap kretek. Kadang tanpa disadari dia menguik seperti babi sembari memonyong-monyongkan moncong. Malam hari ketika Tati dan anaknya hendak tidur, ia kerap mendengar uik babi di luar. Ia tidak tahu bahwa uik babi itu keluar dari moncong Pardi, suaminya.

Ada sekitar 8 peternak babi di pedukuhan. Awalnya warga tidak setuju ada binatang haram bin menjijikkan masuk apalagi diternak di pedukuhan. Pardi bilang pada warga bahwa binatang ternaknya nanti tidak akan keluar pagar, dan warga akan aman. Namun mereka tetap kokoh dan tidak ingin menerima binatang itu. Akhirnya tak ada jalan lain selain tinggal di pinggir pedukuhan yang dekat sekali dengan sungai.

Satu hari ada teman Ika yang bernama Sulis datang ke rumahnya. Mereka berlari-larian di depan rumah. Babi-babi di kandang menguik dan terdengar cipratan lumpur. Karena Ika cape main lari-larian, ia ajak Sulis melihat babi-babi lucu di kandang, dan memperlihatkan anak babi di ruangan lain. Sulis ingin menyentuh anak babi itu, tapi karena pintunya ditutup ia tidak bisa menyentuhnya dan hanya melihat dari sela-sela pagar. Ika ingin membantu temannya, ia buka pintu kayu dan tiba-tiba anak babi itu keluar berhamburan.

Pardi yang kebetulan tidak jauh dari sana segera menggiring empat anak babi ke tempatnya semula. Ika merasa bersalah karena kecerobohannya, tetapi Pardi memaklumi. Dia pun menggendong satu anak babi dan dijulurkannya pada Sulis.

Betapa senangnya Sulis ketika mengelus kepala anak babi. Ia baru pertama kali bertemu langsung dengan makhluk merah muda yang muncul di TV rumahnya. Ia berseru kegirangan seperti mendapat hadiah. Ia bertanya pada Pardi dengan polosnya, apakah makhluk kecil ini boleh dibawa ke rumahnya. Pardi tertawa karena kejujurannya.

“Kamu tidak boleh membawanya, bisa-bisa induk babi ini akan marah jika anaknya hilang,”

“Apa Sulis boleh bermain ke sini lagi?”

“Tentu saja,” jawab Pardi seraya mengelus kepala Sulis.

Sulis pulang seraya bernyanyi ria, melompat ringan dengan tangan membentuk pelangi. “Babi kecil yang lucu, janganlah berlari, tetaplah di sini bersamaku,”

Seperti anak pada biasanya, ia ceritakan semua hal baru kepada orang tuanya ketika sampai di rumah. Dan betapa terkejutnya mereka setelah mengetahui bahwa anaknya pergi ke kandang babi dan mengelus binatang najis itu. Mereka mengomeli Sulis sampai ia menangis dan pergi ke belakang rumah.

Tersedu-sedu Sulis, “Apa kau tahu, ayam,” katanya pada ayam, “mama dan bapakku tidak membolehkanku main dengan anak babi. Kenapa mereka bilang babi itu binatang menjijikan? Mereka tidak tahu, babi-babi itu lucu sekali,” seperti mengerti perasaan Sulis, ayam di depannya mematuk-matuk tanah.

“Aku tidak tahu apakah besok bisa melihat mereka lagi. Sedih sekali rasanya,” ayam itu mengepakkan sayap lalu melihat Sulis dengan seksama.

Abdu dan Siti mulai resah ketika mengetahui anaknya bermain dengan binatang menjijikan itu. Bisa-bisa anaknya akan seperti keluarga Pardi. Mereka tidak ingin anaknya bermain bahkan membawa babi dari rumah Pardi. Tetapi mereka tidak tega melihat anaknya murung dan berbicara dengan ayam di belakang.

Sudah seminggu sejak kejadian itu, Sulis tetap murung dan bicara dengan ayam di belakang rumah. Ia tidak lagi main selepas sekolah, ia langsung pulang dan berbicara pada ayam-ayam. Abdu dan Siti tidak tahan melihat anaknya murung begitu. Mereka bahkan dicuekin dan tidak lagi makan bersama.

Abdu dan Siti pergi ke rumah RT dan melaporkan apa yang terjadi pada anaknya. Mereka tidak tahu harus salahkan siapa untuk kelakuan anaknya akhir-akhir ini. Mereka pun tahu jika babi-babi itu dipindah, Sulis akan tambah sedih karena tidak akan melihat untuk selamanya.

Pak RT yang sedari awal senyam-senyum berbicara setelah tamunya mengeluhkan apa yang terjadi.

“Sebentar lagi wabah akan datang dan meniadakan babi-babi di pedukuhan ini,” perkataan RT penuh misteri.

“Wabah?” tanya Abdu.

“Iya, satu wabah,”

“Bagaimana kalau wabah itu menjalar kepada warga?”

Pak RT terbahak. Dia membisikkan sesuatu pada Abdu, lalu Abdu membisikkannya pada Siti. Mereka tersenyum, bangkit dari kursi, dan bersalaman.

Mendadak babi-babi itu tergeletak tak bernyawa. Seperti mayat-mayat yang terkena wabah dan tak tertolong lagi. Tak ada erang babi ketika nyawa mereka ditarik. Mereka mati dalam keadaan damai, tetapi apakah wabah seganas ini? Meniadakan semua babi di pedukuhan dalam waktu empat hari?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan