“Pandemi? Ya Poligami…”

933 kali dibaca

Entah apa salah pandemi, sampai-sampai ia dijadikan bantalan untuk mendorong-dorong orang berpoligami.

Tapi itulah yang terjadi, yang menjadi berita terhangat pekan ini. Semua bermula ketika baru-baru ini Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menerbitkan Tazkirah Nomor 12 tentang Solidaritas Terdampak Pandemi. Salah satu poin dari tazkirah tersebut berupa anjuran kepada seluruh kader PKS, yang mampu dan siap, untuk membantu anak-anak yatim yang terdampak pandemi dengan cara menikahi ibunya (yang janda?) alias poligami.

Advertisements

Karuan saja, “anjuran poligami” dari PKS itu memantik reaksi penentangan di ruang publik, bahkan sebagian menjadi olok-olok. Tak sampai seumur jagung, PKS segera mencabut tazkirah tersebut seraya meminta maaf kepada masyarakat yang merasa tersakiti.

Tulisan ini tak hendak masuk ke wilayah perdebatan hukum dan syarat-rukunnya poligami dalam Islam. Sudah terlalu banyak ahli yang membahasnya. Tapi dari khazanah keilmuan Islam, saya menangkap kesan sesungguhnya spirit Islam sebenarnya adalah monogami. Adapun, poligami dibolehkan —bukan dianjurkan atau diwajibkan!— dengan syarat-syarat yang nyaris mustahil dipenuhi manusia biasa.

Ketika pertama kali membaca berita soal “anjuran poligami” ini, pikiran saya langsung bergerak liar ke mana-mana. Yang pertama terbayang adalah ini: partai politik yang seharusnya mengurusi masalah-masalah publik, akan lebih disibukkan dengan urusan privat. Maka, kader-kader partai akan sibuk mendata para janda di seluruh negeri.

Seluruh janda di negeri ini, wa bil khusus yang memiliki anak yatim, artinya bukan “janda kembang”, akan diinventarisasi, diindentifikasi, diverifikasi, diaudisi, dan… tebaklah sendiri. Kenapa prosedur seperti ini mesti ada? Prosedur seperti itu tidak perlu ada jika tidak ada pertanyaan seperti ini: “Memangnya kader-kader partai itu mau menikahi sembarang janda, tanpa pilih-pilih, tanpa proses… audisi atau taarufan?”

Pikiran liar saya tak mau berhenti di situ. Yang terbayang kemudian adalah datangnya musim kawin para janda di negeri ini. Hal itu dimulai dengan kesibukan para kader yang akan menjalankan “anjuran poligami” itu: siapa harus mendapatkan janda yang mana; mau satu, dua, atau tiga sekaligus —bukankah batas maksimalnya empat? Ada kemungkinan, pada tahap ini, instrumen partai politik akan berubah menjadi “biro jodoh”.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan