Pandemi, Mendekatkan Diri pada Ilahi

1,144 kali dibaca

Merebaknya virus Corona yang kemudian menjadi pandemi telah menggegerkan semua orang. Bermula dari negeri tirai bambu, virus itu terus bergerilya dan bahkan menginvasi setiap sudut hampir di seluruh dunia. Karut-marutlah tatanan kehidupan. Tak peduli sekaya apakah negeri itu, semua mengeluhkan kegelisahan. Dan setelah lama menahan khawatir, sampai juga pandemi itu menyapa Indonesia. Kini, sudah berbulan-bulan pagebluk itu menggebuk kehidupan kita. Semua mengeluh, semua mengaduh, dan virus itu tetap tak peduli; terus berlanjut mencabik tatanan ekonomi, sosial, budaya, dan kehidupan sehari-hari.

Tak perlu digambarkan seperti apa keluhan yang didengungkan para tetangga, sanak saudara, atau bahkan kita sendiri. Kiranya sudah tak perlu lagi memanjakan keluhan itu. Sebaiknya kita mulai berpikir bijak bahwa Allah tak pernah menciptakan sesuatu tanpa menyertakan maksud di dalamnya. Melalui telaah pada kitab-kitab ulama salafus salih, terdapat hikmah agung yang dibawa oleh musibah ini.

Advertisements

Sebenarnya sudah ada, kalau tidak bisa disebut banyak, tulisan atau ulasan mengenai sisi positif di balik pandemi ini. Namun, tak ada salahnya kita buka kembali nasihat-nasihat ulama terdahulu untuk semakin mendekatkan diri pada Ilahi dalam menyikapi pandemi.

Bahwa salah satu dampak besar dari munculnya pandemi ini adalah kita mau tidak mau menjadi “orang yang dirumahkan”. Pergeseran pola kehidupan dari yang biasanya aktif atau mencari kehidupan di luar rumah menjadi work from home alias di rumah saja tentu saja tidak mudah. Akan tetapi perlahan, kebiasaan baru itu ternyata mulai diadaptasi menjadi sebuah kenyamanan baru. Tentu saja bagi kalangan tertentu.

Selaras dengan instruksi pemerintah untuk mengurangi aktivitas di luar rumah, Imam Ghazali dalam kitab Minhajul Abidin menukil perkataan Sufyan Tsauri, “Hadza azmanus sukut, waluzumul buyut, warridho bil quut ila an tamuut”. Sekarang ini adalah zaman untuk menahan diri supaya tetap tinggal di rumah, dan rela pada rezeki yang ada sampai datangnya kematian.

Berbeda dengan himbauan pemerintah yang bertujuan untuk menyelamatkan diri dari pandemi, ulama yang hidup pada tahun 716-778 M itu menganggap stay at home (berada di rumah) sebagai bentuk uzlah untuk menyelamatkan diri dari kerusakan yang disebabkan oleh bobroknya moralitas umat manusia.

Uzlah, atau menjauh dari keramaian, menurut Imam Gazali adalah sebuah solusi untuk memproteksi diri dari kekeruhan ruhani. Masih menurut Al-Ghazali yang menukil ungkapan Sahabat Ka’ab dan Ibnu Mas’ud, sekarang ini adalah zaman di mana orang-orang yang buta dan tuli (dari kebenaran) bercampur baur.

Zaman yang dimaksud adalah waktu di mana mereka (Ka’ab dan ibnu Mas’ud) hidup. Kalau zaman itu saja sudah dianggap keruh, apalah lagi dengan zaman sekarang ini. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Turmudzi menyatakan bahwa, “Kurun terbaik adalah kurunku, kemudian orang-orang yang berada di kurun sesudahnya, kemudian orang-orang yang berada di kurun sesudahnya.”

Menilik hadits itu sudah barang tentu zaman sekarang ini sudah jauh lebih buruk daripada era di mana Rasulullah masih ada, yang mana para sahabat itu mengatakan bahwa era mereka sudah teramat banyak kerusakan.
Sekarang ini kefasikan dan kemunafikan berkelindan dalam aspek-aspek kehidupan. Dan bergaul dengan mereka (orang fasik atau munafik), atau menceburkan diri dalam lingkungan mereka yang keruh itu, perlahan dan pasti akan membuat kita terpengaruh untuk menjadi keruh pula. Lambat laun, kekeruhan itu akan menyeret atau bahkan menghanyutkan kita; jauh dari kehidupan beragama, atau tetap berkecimpung dalam agama, tapi lebih pada aspek simbolis belaka.

Kefasihan berbicara tentang Tuhan tak jarang hanya sebagai bentuk pencitraan. Mempraktikkan peran agamis hanya untuk meraup keuntungan materi. Atau bahkan banyak pula yang memang terang-terangan meninggalkan tatanan agama. Maksiat yang kian hari kian meningkat; pembunuhan, perzinahan, korupsi, dan lain sebagainya.

Pandemi ini datang untuk mengajari kita, umat manusia ini, untuk menjauhi hal-hal buruk itu. Sama seperti pola virus dalam menyebarkan kerusakan, keburukan juga kian merebak hari demi hari karena satu keburukan menularkan keburukan pada orang lain. Satu kejelekan baru bisa menginspirasi orang lain untuk meniru kejelekan yang sama. Karena kejelekan itu dibawa oleh manusia, maka tidak terlalu dekat dengan manusia (uzlah) adalah sebuah bentuk upaya agar tetap selamat dari kejelekan dan kerusakan yang cukup efektif.

Kembali membahas uzlah, tentu saja yang dimaksud oleh Al-Ghazali bukan semata-mata uzlah dzohir, akan tetapi harus pula disertai dengan uzlah batin, dalam artian tidak sekadar menyendiri di rumah untuk bisa disebut uzlah. Akan tetapi, uzlah adalah menyendiri untuk kemudian mendekatkan diri pada ilahi dengan cara melakukan hal-hal yang bernilai positif.

Imam Ghazali pernah mendapatkan kisah dari Sufyan bin Uyainah. Dia meminta nasihat pada Sufyan Tsauri. Mendengar permintaan itu, Sufyan Tsauri menasihati Sufyan bin Uyainah untuk mengurangi pergaulan dengan manusia. Sufyan bin Uyainah lantas memprotesnya karena ada hadits yang memerintahkan untuk memperbanyak bergaul dengan manusia, alasannya karena setiap orang yang mukmin bisa memberi syafaat.

Sufyan Tsauri menimpali bahwa kebencian seseorang selalu lahir pada orang yang pernah dikenalnya. Bukankah kita tak pernah membenci seseorang yang tak pernah kita kenal? Ketika Sufyan Tsauri telah meninggal, Sufyan bin Uyainah bermimpi berjumpa dengannya, dan dia kembali minta nasihat. Jawaban Sufyan Tsauri pun tetap sama seperti dulu ketika masih hidup. Bahwa sebisa mungkin ia harus mengurangi pergaulan dengan manusia, karena bersihnya hati untuk selalu berpikiran positif pada tindak-tanduk orang lain adalah sebuah perkara yang berat. Maka, mengurangi pergaulan akan mengurangi pikiran-pikiran negatif.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membuat semua orang menjauh dari pergaulan. Karena tidak bisa dimungkiri dalam bergaul pun terdapat pula banyak manfaat (misalnya mengajak kebaikan pada mereka yang belum baik). Akan tetapi, bergaul dengan orang fasik, lantas mengajak mereka menuju kesalehan bukanlah keahlian yang dimiliki oleh semua orang. Kebanyakan, bergaul dengan orang fasik kemudian menjadi tertular kefasikan itu.

Untuk itulah, pandemi ini datang menegur kita, agar menjauh dari kebisingan zaman yang penuh kefasikan. Tentu saja uzlah (di rumah aja) yang berfaedah harus disertai dengan kegiatan positif pula agar menjadi uzlah yang benar-benar uzlah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan