Akhirnya isu Covid-19 masuk ke kampung saya mulai terdengar. Meski Surabaya sudah bisa disebut sebagai zona merah, tetapi sejauh ini tidak ada satu warga pun yang terpapar. Hingga beberapa hari yang lalu, seorang warga dan saudaranya sakit dan dilarikan ke rumah sakit. Belum lama ia dirawat, ternyata umurnya tidak panjang. Ia wafat. Sementara saudaranya masih dirawat di rumah sakit.
Sejumlah tenaga medis datang ke rumah warga yang meninggal tadi menggunakan atribut lengkap alat pengaman diri (APD). Warga geger. Mereka mulai bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada warga tersebut. Mengapa pihak rumah sakit sampai harus datang ke rumah dengan menggunakan APD.
Tiba-tiba sore hari menjelang berbuka telah tersebar informasi bahwa ia positif terjangkit Covid-19, sementara saudaranya berstatus pasien dalam pengawasan (PDP). Sang jenazah kemudian dimakamkan di Jombang, tempat asalnya.
Di kampung saya, informasi sekecil apa pun cepat sekali menyebarnya. Semua orang akan tahu kalau kamu ngupil sambil salto. Apalagi hal-hal yang tampak oleh kasat mata seperti itu.
Akhirnya informasi ini dipertanyakan. Pak RW selaku perangkat desa diminta untuk mencari tahu kebenarannya: apa keterangan dalam surat dokter dari rumah sakit, bagaimana penanganan jenazah pasien Covid-19. Hingga diperoleh beberapa informasi, seperti surat dari rumah sakit tidak menjelaskan apa penyakitnya, jenazah pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit di Surabaya harus dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Keputih, dan atribut lengkap APD adalah prosedur standar petugas medis saat ini.
Kesimpulannya, berita tadi hoaks.
Hari berikutnya, ketika masyarakat mulai melupakan isu tadi, pak lurah mengumumkan bahwa ada lagi dua warga yang terjangkit Covid-19 dan sedang dalam perawatan di rumah sakit. Warga mulai resah lagi. Mereka tidak siap, meski virus ini sudah ada di Surabaya sejak bulan Maret. Lebih tepatnya mereka ini denial, berusaha menyangkal segala kemungkinan buruk.
Ditambah lagi, sebuah informasi tersebar di kalangan ibu-ibu bahwa pada pertengahan Ramadan nanti bumi akan menjadi gelap dan mengeluarkan asap. Jika bukan PLN yang hendak melakukan pemadaman massal, saya pikir informasi ini ambigu.
Lalu saya bertanya, dari mana informasi seperti itu? Dijawablah, “dari bu nyai”.
Huft.
***
Di tengah masa pandemi seperti saat ini, dapat dipahami jika masyarakat menjadi mudah panik. Apalagi jika mendapat informasi yang agak mengkhawatirkan. Ketakutan juga semakin bertambah. Oleh karenanya, seluruh elemen kunci dalam masyarakat seharusnya menjadi garda terdepan dalam menyaring berbagai kabar sebelum sampai di telinga masyarakat. Terlebih, para tokoh masyarakat juga wajib memberikan dukungan positif dan mengajak warga untuk tetap tenang. Bukan sebaliknya!
Ketua RT, RW, Lurah, dan Camat, kiai/nyai kampung adalah pemangku kepentingan yang paling dekat hidupnya dengan masyarakat awam. Maka, perlu bagi mereka untuk mempelajari dengan cermat berbagai kabar yang diterima dan menyampaikan dengan cara yang tepat kepada masyarakat. Para perangkat desa seharusnya memahami prosedur penanganan pasien Covid-19 dari A-Z sebagai langkah antisipasi apabila virus ini benar-benar masuk ke lingkungan yang mereka komandani.
Bagaimana merespons hal tersebut, bagaimana menjelaskan ke warga agar tidak panik, bagaimana sebaiknya bersikap ke keluarga pasien, adalah hal-hal yang penting untuk dipahami oleh perangkat desa. Tentu juga dengan tidak mengabaikan kondisi perekonomian warganya di masa pandemi ini, dan mencari cara agar seluruh warga tetap bisa saling mendukung kehidupan sesamanya.
Tokoh agama juga seharusnya membuka diri dan nalar dalam merespons imbauan pemerintah terkait pelaksanaan ibadah di masjid-masjid atau musholla. Saya pikir imbauan ormas seperti PBNU hingga pemerintah pusat dengan disertai dalil yang memadai sudah cukup bagi para tokoh masyarakat untuk diteruskan kepada warga. Masyarakat perlu diingatkan bahwa apabila suatu saat kegiatan di tempat-tempat ibadah harus dihentikan sementara, maka hal ini harus diterima secara legowo. Tokoh agama benar-benar harus memahami ini, karena hanya mereka lah yang petuahnya didengarkan oleh warga. Bahkan petuah kyai kampung lebih kuat kedudukannya dibandingkan dari perangkat desa.
Saya juga menyesalkan adanya kabar yang saya singgung sebelumnya tentang peristiwa di pertengahan Ramadan ini. Apa perlunya berita menakutkan seperti itu disampaikan? Bahkan seandainya Allah mau, Dia singkap tabir-tabir rahasia kehidupan di alam semesta, baik yang lalu, kini, ataupun nanti. Bukan tugas manusia untuk mengungkapnya, apalagi di tengah kondisi masyarakat yang serba putus asa seperti sekarang. Bukannya malah menenangkan, tetapi malah semakin mengikis harapan orang-orang untuk lepas dari krisis ini.
Demikian juga warga. Masyarakat awam akan jauh lebih baik jika patuh terhadap peraturan physical distancing. Jangan menunggu ada tetangganya terpapar baru panik. Itu pun hanya sekadar panik. Selanjutnya malah denial, bukan malah waspada. Kan, gemas!
Sikap denial inilah akar dari tidak terlaksananya peraturan soal Covid-19. Apakah dengan bersikap demikian lalu pandemi ini benar-benar pergi? Kan tidak. Pandemi ini tidak mengenal SARA, saudara-saudara. Semua bisa kena. Dan penularannya tidak diketahui tempat dan waktunya. Jadi, daripada terus-terusan menyangkal, lebih baik kita waspada sedini mungkin. Sehingga virus ini tidak sampai kepada kita.
Meskipun tidak ada di lingkungan kita, jangan juga menganggap virus ini benar-benar enggan datang. Kita tidak tahu, kan? Sebab ia juga tak terlihat. Tiba-tiba satu persatu tetangga jatuh sakit, tiba-tiba meninggal. Apa ini tidak cukup menjadi indikasi?
“Jadilah orang awam yang baik,” begitu kalimat yang saya dengar dari seorang dai. Biarkan para ahli yang merumuskan berbagai macam peraturan. Porsi kita adalah mematuhinya dengan menggunakan akal sehat.
Terakhir, saya ingin mengucapkan, selamat memulai PSBB bagi warga Surabaya. Semoga tetap semangat!