Terjalnya jalan telah melukai menyayat langkah demi langkah lunglainya. Warna merah yang mengalir dari tungkai kakinya, menyisahkan bercak-bercak di tanah. Masih dengan dendangan lagu yang ngilu jika didengarkan, ia memasuki lembah demi lembah. Matanya tajam menatap ke depan, hanya ke depan saja. Wajah kekasihnya seperti sedang menuntun langkahnya menuju sebuah tujuan yang entah. Sementara itu, tak lupa di belakangnya bergerombol aneka satwa, seakan menjadi pengawal setia perjalanan.
Di kolong gulita langit, ketika dingin menggigit kulit dan jerit petir menggelegar
Aku menulis namamu di kesunyian yang paling asing. Kutulis namamu satu
Demi satu abjadmu kuucap amat fasih, kunyanyikan setiap huruf dengan suka cita
Tahukah engkau, begitulah caraku membelanjakan berkantung tabungan gelisah.
Aku ingin dekat dekapmu saja, aku ingin dekat dekapmu saja. Demikianlah.
Biarpun ribuan tebasan pedang, aku ingin selalu merasa dekat dekapmu saja.
Sebab sepasang matamu yang cerlang itu cukup meredam ngilunya nestapa.
Ya, begitulah, engkau selalu bisa membuatku melupakan lara luka berdarah.
Di tengah malam ketika purnama memancarkan kilaunya, sungai mengalir lembut bagai pantulan kaca cahaya, pepohonan yang rimbun meliuk-liuk bagai tarian sema yang khidmat. Di bawah sebuah pohon tua itu ia menatap rembulan dan bernyanyi,
Kekasihku, kesunyian yang mana lagi
Yang harus kulewati dan kusibak gelap nyerinya
Kedukaan yang mana lagi
Yang mestinya kuteguk dan kuperas jadi anggur
Merah yang memabukkan
Kematian yang mana lagi
Yang harus kulipat seperti caraku melipat perih harihariku
Kekasih, sebenarnya muara yang mana lagikah yang harus kutuju guna menyempurnakan pengembaraanku ini