MEMOAR MAJNUN

1,326 kali dibaca

Terjalnya jalan telah melukai menyayat langkah demi langkah lunglainya. Warna merah yang mengalir dari tungkai kakinya, menyisahkan bercak-bercak di tanah. Masih dengan dendangan lagu yang ngilu jika didengarkan, ia memasuki lembah demi lembah. Matanya tajam menatap ke depan, hanya ke depan saja. Wajah kekasihnya seperti sedang menuntun langkahnya menuju sebuah tujuan yang entah. Sementara itu, tak lupa di belakangnya bergerombol aneka satwa, seakan menjadi pengawal setia perjalanan.

 

Di kolong gulita langit, ketika dingin menggigit kulit dan jerit petir menggelegar

Advertisements

Aku menulis namamu di kesunyian yang paling asing. Kutulis namamu satu

Demi satu abjadmu kuucap amat fasih, kunyanyikan setiap huruf dengan suka cita

Tahukah engkau, begitulah caraku membelanjakan berkantung tabungan gelisah.

 

Aku ingin dekat dekapmu saja, aku ingin dekat dekapmu saja. Demikianlah.

Biarpun ribuan tebasan pedang, aku ingin selalu merasa dekat dekapmu saja.

Sebab sepasang matamu yang cerlang itu cukup meredam ngilunya nestapa.

Ya, begitulah, engkau selalu bisa membuatku melupakan lara luka berdarah.

 

Di tengah malam ketika purnama memancarkan kilaunya, sungai mengalir lembut bagai pantulan kaca cahaya, pepohonan yang rimbun meliuk-liuk bagai tarian sema yang khidmat. Di bawah sebuah pohon tua itu ia menatap rembulan dan bernyanyi,

 

Kekasihku, kesunyian yang mana lagi

Yang harus kulewati dan kusibak gelap nyerinya

Kedukaan yang mana lagi

Yang mestinya kuteguk dan kuperas jadi anggur

Merah yang memabukkan

Kematian yang mana lagi

Yang harus kulipat seperti caraku melipat perih harihariku

Kekasih, sebenarnya muara yang mana lagikah yang harus kutuju guna menyempurnakan pengembaraanku ini

 

Angin mendesir hebat. Burung-burung keluar dari sangkarnya. Sementara rembulan masih angkuh memandanginya yang seketika itu menjerit dan rubuh ke tanah.

 

Entah di hari apa itu, di bulan apa itu, dan di wilayah mana itu, ia kembali menancapkan pasak rindurindunya ke tanah dan dada. Apakah cukup sampai di sini saja penggembaraannya menjadi paripurna? Entah. Rembulan, pepohonan, angin dan malam tak tahu. Tak ada yang pernah tahu. Begitulah.

 

Ketika pintu malam telah terbuka, Aku, memilih jalan menuju penghabisan rindu

Kutimba kesunyian dari bening matamu. Gelap yang sungsang di cangkir kuteguk

Seperti malam-malam lalu, kerinduan ini mendepak jiwa ke pergulatan yang megah

Sunyi dan gulita adalah tilam bagi pengembara. Dan wajahmu senantiasa cahaya.

 

Bila di tengah jalan kuberuntung mendapati nyanyian brenggala, di situlah aku

Menengadahkan telapak yang papa, kutadahi gerimis tuah yang luruh, membatu

Aku memasuki labirin cintamu. Kunikmati setiap nyeri langkah yang bergelora itu

Sambil kubisukan nyanyian, kurayakan rintihan, aku, menandaskan kudapan manis cintamu.

***

Multi-Page

Tinggalkan Balasan