Pak Mat

1,617 kali dibaca

Mereka memang keluarga kiai. Semua menjadi dan memperoleh julukan kiai, kecuali: Pak Mat.

Bertahun-tahun kemudian, terbersit dalam pikiran seharusnya justru Pak Mat yang lebih pas beroleh julukan kiai. Atau, setidaknya juga layak beroleh gelar kiai, seperti saudara-saudaranya yang lain.

Advertisements

Saya tak perlu menceritakannya secara berurutan, sesuai dengan urutan kelahirannya; mana yang kakak, mana yang adik. Yang perlu diceritakan lebih dulu adalah Pak Yut. Ia memang seorang kiai. Ia memiliki dan mengasuh pesantren yang cukup besar untuk ukuran di desa saya. Santrinya yang mondok lumayan banyak, ratusan orang, datang dari berbagai daerah. Masjidnya, yang berada di tengah-tangah pondakan yang berbentuk huruf “U”, cukup besar dan megah —tentu untuk ukuran desa saya.

Di masjid itulah, tapi terkadang juga di rumahnya, Pak Yut mbalah kitab, mengajari santri-santrinya mengaji kitab kuning.

Seiring dengan jumlah santri dan jamaah yang kian banyak, Pak Yut menjadi tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh cukup besar. Orang-orang mengenalnya sebagai Pak Kiai Yut. Tak hanya santri dan jamaah yang merubung, tokoh-tokoh politik dan pejabat pemerintah pun banyak yang sowan karena dan untuk pengaruhnya.

Seperti garis tangan yang bisa ditebak, ada tahun-tahun ketika Pak Kiai Yut bukan lagi sekadar tokoh agama, tapi juga telah menjadi tokoh politik. Bahkan akhirnya Pak Kiai Yut tergabung dalam kepengurusan partai politik. Karena itu, jangkauan pengaruh Pak Kiai Yut makin meluas sampai ke tempat-tempat yang jauh. Pun, jadwal kegiatannya makin bertambah-tambah.

Saat sudah menjadi tokoh politik, karena kesibukannya kian berjibun dan menuntutnya untuk berkeliling ke banyak tempat, Pak Kiai Yut mulai kesulitan mendapatkan waktu untuk mbalah kitab di depan para santrinya. Itulah masa ketika barisan santri yang mengaji kitab kuning mulai surut.

Tapi Pak Yut tetaplah seorang kiai.

***

Kemudian ada Pak Mang atau Mbah Mang. Di atas lahan yang cukup luas, Mbah Mang membangun pondok-pondok untuk santri. Di sela-sela bangunan pondok ada musala sederhana. Tapi, meskipun sudah bertahun-tahun pesantren berdiri, lengkap dengan pondokan dan musalanya, tak ada santri yang mondok di sini. Hanya ada anak-anak sekitar yang mengaji di sini tiap bagda maghrib sampai isya. Yang mengajar mengaji adalah pemuda-pemuda desa yang pernah nyantri di sejumlah pesantren.

Mbah Mang tidak pernah terlihat mengajar mengaji, berceramah, atau bahkan menjadi imam salat. Ia juga tak pernah terlihat ikut salat berjamaah. Masyarakat desa justru mengenalnya sebagai kiai jadzab. Sehari-hari Mbah Mang terlihat seperti orang yang kerjanya luntang-lantung. Berjalan ke sama-ke mari tanpa tujuan yang pasti. Biasanya cuma berkaus oblong warna putih dan bersarung kotak-kotak. Kadang malah telanjang dada dengan kaki beralaskan bakiak.

Tapi orang-orang memperlakukan Mbah Mang dengan penuh takzim. Mbah Mang dipercaya sebagai orang yang waskita, punya karomah, dan doanya mustajab. Karena itu, yang banyak datang bukan santri yang mau mengaji, melainkan orang-orang yang mau ngalap berkah, minta doa dan amalan-amalan.

Jika Mbah Mang terlihat sedang berjalan-jalan tanpa tujuan, orang-orang selalu melihatnya dengan harap-harap cemas. Seluruh gerak-geriknya, polah tingkahnya, gerutuan dan ucapannya, semua dianggap sebagai isyaroh —tergantung bagaimana orang menafsirkannya. Jika kebetulan berpapasan dengan Mbah Mang, orang akan lekas membungkuk, mendekat, meraih tangannya. lalu menciumnya. Lalu berjalan mundur, dan ber-uluk salam.

Begitulah kehidupan dalam lingkungan pesantren Mbah Mank selama bertahun-tahun. Orang-orang percaya, pesantren lumayan besar yang dibangun oleh Mbah Mang itu memang bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk Pak Nun, saudaranya yang lain, yang sedang mendalami ilmu agama di Madinah selama bertahun-tahun. Kelak, jika Pak Nun sudah kembali, dialah yang akan menjadi kiai dan mengajar mengaji di pesantrennya Mbah Mang ini. Di situ nantinya ada dua orang kiai, Mbah Kiai Mang dan Pak Kiai Nun.

***

Kemudian ada Pak Mat. Ia tinggal tak jauh dari pesantren Mbah Mang. Rumahnya sederhana, berdinding gedhek. Ia tak memiliki atau membangun pondok seperti saudara-saudaranya yang lain. Di depan rumahnya hanya ada satu musala sangat kecil, juga berdinding gedhek. Hanya digunakan untuk salat keluarga Pak Mat.

Tak seperti saudara-saudaranya, sehari-hari Pak Mat seperti orang-orang desa lainnya. Saban hari Pak Mat rajin ke sawah atau ke ladang. Menanam padi di sawah atau bercocok tanam tanaman palawija di ladang-ladang pinggiran hutan. Di belakang rumahnya juga ada satu kandang yang dihuni beberapa ekor kambing. Sepulang dari sawah atau, kadang ditemani anaknya, biasanya Pak Mat memanggul rumput atau dedaunan untuk makanan kambing-kambingnya.

Seperti petani desa pada umumnya, begitulah cara Pak Mat menghidupi keluarganya. Yang membuatnya berbeda, pada hari-hari tertentu Pak Mat mbalah kitab, kitab kuning. Tidak di rumahnya atau musalanya, atau pesantren saudara-saudaranya, tapi justru di rumah-rumah warga. Dalam seminggu bisa dua atau tiga kali Pak Mat mbalah kitab di rumah-rumah warga secara bergiliran.

Entah bagaimana awal mulanya, yang diingat oleh orang-orang adalah saat suatu siang Pak Mat datang ke rumah Mbok Mar. Di sana sudah menunggu belasan orang, kebanyakan ibu-ibu. Beberapa lelaki paro baya atau lebih tua lagi. Mereka duduk melingkar di atas tikar. Di depan mereka terhidang kue-kue basah di atas piring-piring. Juga gelas-gelas berisi teh manis. Ada meja kecil pendek, di atasnya teronggok sebuah mik yang tersambung ke toa.

Pak Mat datang sambil mengempit kitab. Ia mengenakan sarung, baju lengan panjang, dan kopiah hitam. Pak Mat langsung duduk di tempatnya, di belakang meja kecil itu, lalu menaruh kitabnya di meja itu. Mulailah ia membalah, halaman demi halaman, lalu menjelaskan hal ikhwal yang terkandung di dalam kitabnya. Orang-orang yang hadir dengan tekun menyimak setiap kata yang diucapkan Pak Mat. Orang-orang yang tidak ikut berkumpul di rumah Mbok Mar kaget mendengar suara Pak Mat ngaji dari toa.

Sejak saat itu, Pak Mat rutin mbalah kitab, dua atau tiga kali dalam seminggu, dari rumah satu orang ke rumah orang lainnya lagi. Bergiliran. Jemaahnya adalah orang-orang desa, tetangga-tetangganya, yang makin hari makin banyak. Orang-orang juga masih bisa mengikuti pengajian Pak Mat dari rumah masing-masing melalui suaranya yang dipancarkan toa.

Meskipun pengajian mbalah kitab dari rumah ke rumah itu sudah berlangsung lama, bertahun-tahun, hidup Pak Mat tak pernah berubah. Di luar jadwal hari mbalah kitab, Pak Mat tetap rajin ke sawah atau ke ladang atau mengarit untuk memberi makan kambingnya. Tak ada yang berubah di rumahnya. Masih berdinding gedhek, juga langgarnya yang kecil itu. Ia tetap menjalani hidup laiknya para petani desa.

Orang-orang tetap memanggil namanya dengan panggilan Pak Mat. Panggilan itu tak pernah berubah sampai si empunya nama pergi untuk selamanya. Bertahun-tahun kemudian orang-orang juga tetap mengenangnya sebagai Pak Mat, tidak seperti saudaranya yang lain yang memperoleh sebutan Pak Kiai Yut, Mbah Kiai Mang, dan Pak Kiai Nun. Tapi jika kita bertanya kepada orang-orang di sana, siapa yang mengajari mengaji, mata mereka akan menerawang jauh, dan mereka akan memberikan jawaban dengan suara lirih: Pak Mat…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan