Pak Mat

1,582 kali dibaca

Mereka memang keluarga kiai. Semua menjadi dan memperoleh julukan kiai, kecuali: Pak Mat.

Bertahun-tahun kemudian, terbersit dalam pikiran seharusnya justru Pak Mat yang lebih pas beroleh julukan kiai. Atau, setidaknya juga layak beroleh gelar kiai, seperti saudara-saudaranya yang lain.

Advertisements

Saya tak perlu menceritakannya secara berurutan, sesuai dengan urutan kelahirannya; mana yang kakak, mana yang adik. Yang perlu diceritakan lebih dulu adalah Pak Yut. Ia memang seorang kiai. Ia memiliki dan mengasuh pesantren yang cukup besar untuk ukuran di desa saya. Santrinya yang mondok lumayan banyak, ratusan orang, datang dari berbagai daerah. Masjidnya, yang berada di tengah-tangah pondakan yang berbentuk huruf “U”, cukup besar dan megah —tentu untuk ukuran desa saya.

Di masjid itulah, tapi terkadang juga di rumahnya, Pak Yut mbalah kitab, mengajari santri-santrinya mengaji kitab kuning.

Seiring dengan jumlah santri dan jamaah yang kian banyak, Pak Yut menjadi tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh cukup besar. Orang-orang mengenalnya sebagai Pak Kiai Yut. Tak hanya santri dan jamaah yang merubung, tokoh-tokoh politik dan pejabat pemerintah pun banyak yang sowan karena dan untuk pengaruhnya.

Seperti garis tangan yang bisa ditebak, ada tahun-tahun ketika Pak Kiai Yut bukan lagi sekadar tokoh agama, tapi juga telah menjadi tokoh politik. Bahkan akhirnya Pak Kiai Yut tergabung dalam kepengurusan partai politik. Karena itu, jangkauan pengaruh Pak Kiai Yut makin meluas sampai ke tempat-tempat yang jauh. Pun, jadwal kegiatannya makin bertambah-tambah.

Saat sudah menjadi tokoh politik, karena kesibukannya kian berjibun dan menuntutnya untuk berkeliling ke banyak tempat, Pak Kiai Yut mulai kesulitan mendapatkan waktu untuk mbalah kitab di depan para santrinya. Itulah masa ketika barisan santri yang mengaji kitab kuning mulai surut.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan