Orang-orang Miskin

561 kali dibaca

“Pak, saya belum dapat jatah! Itu punya saya, kenapa diambil oleh Pak Yadi?”

Pak Arman memekik setelah melihat satu kantung beras dan sembako jatah dibawa oleh lelaki tambun berkumis tebal itu.

Advertisements

“Pak Arman, kan, bulan kemarin sudah dapat bagian. Bulan ini giliran saya yang dapat, Pak,” sahut Pak Yadi.

Suasana siang semakin memanas, saat kedua belah pihak saling berselisih tentang warga penerima bantuan untuk orang miskin. Akhir-akhir ini Desa Suka Wangi memang mengadakan bantuan pangan kepada warganya yang tergolong kurang mampu. Semua warga yang penghasilannya di bawah rata-rata didata. Termasuk Pak Arman dan Pak Yadi. Peraturan yang telah disepakati bersama, yaitu setiap bulan warga yang tergolong tidak mampu bergilir mendapatkan bantuan. Jika bulan ini sudah dapat, bulan depan yang dapat adalah orang miskin yang lainnya. Sebab, pertimbangan dana desa yang belum bisa mencukupi semuanya.

“Ada apa ini, bapak-bapak?” Pak Ahmad, kepala desa, mencoba menengahi.

“Begini, Pak. Pak Yadi mengambil jatah saya. Padahal kalau dilihat, kan, lebih miskin saya daripada Pak Yadi,” ungkap Pak Arman.

Pak Ahmad hanya menggeleng seusai mendengar ucapan Pak Arman. Tak habis pikir. Kemiskinan jadi ajang perlombaan. Hal inilah yang kadang dikhawatirkan oleh kepala desa itu. Banyak warga yang mengaku miskin saat ada bantuan. Seperti saat ini. Sedih. Lelaki berseragam dinas itu mengelus dada melihat tingkah laku warganya.

“Sesuai pengumuman yang saya umumkan kemarin. Bagi yang bulan kemarin sudah dapat bantuan, bulan ini tidak bisa dapat lagi, Pak. Tunggu bulan depan, insyaallah,” ucap Pak Ahmad.

Bukannya mereda dan diam menerima penegasan dari kepala desa, suasana malah semakin panas. Tak mau terima. Mereka bahkan saling baku hantam satu dengan yang lain. Kericuhan itu membuat Pak Ahmad makin geleng-geleng dan memijat keningnya. Pusing. Mereka akhirnya dapat dinormalkan setelah pihak keamanan desa turun tangan.

***
“Ya Allah, Pak. Kenapa itu wajahmu Pak? Kok, sampai berdarah-darah gitu?” tanya Bu Inah khawatir akan keadaan suaminya.

“Kena hantaman oleh geng Pak Yadi, Bu. Jatah bantuan Bapak tadi direbut oleh Pak Yadi.”

“Ya Allah, Pak. Sudah enggak usah ngandelin sembako bantuan lagi. Kita juga, kan, masih punya sepetak sawah yang bisa kita garap. Bersyukur, Pak.”

Sedih. Bu Inah mengelus dada, lalu segera mencari obat untuk mengobati luka-luka suaminya.

Sebelum diadakannya bantuan dari desa, keluarga Pak Arman sudah sanggup makan setiap hari. Cukup. Tidak kurang dan tidak lebih. Maka dari itu, istri Pak Arman itu tak terlalu ambil pusing tentang sembako bantuan dari desa. Dapat, ya, bersyukur. Tidak dapat, ya, bersyukur pula. Sebab, sudah dianggap sebagai warga kaya, sehingga tak perlu diberi sembako lagi.

“Jadi tadi yang dapat jatah bantuannya Pak Yadi?” tanya Bu Inah penasaran.

“Enggak. Belum ada yang dapat, karena ricuh tadi.”

“Siapa pun yang nanti dapat, biarkan saja, Pak. Kita enggak usah ngandalin bantuan sembako. Kita fokus garap sawah kita saja, supaya dapat hasil yang memuaskan.” Bu Inah mencoba menasihati suaminya.

“Tidak! Pokoknya Bapak enggak rela, kalau yang dapat keluarga Pak Yadi.” Lelaki itu berdecak kesal.
Bu Inah tak bisa mengendalikan suaminya. Dalam hati wanita itu hanya bisa berdoa, supaya suaminya sadar akan perbuatan yang dilakukan. Wanita berdaster itu dengan telaten membersihkan, lalu mengobati luka suaminya. Sabar.

Suara air mendidih dari dapur mengagetkan Bu Inah yang tadi lupa telah merebus air untuk membuat kopi sang suami. Untung saja ketahuan, istri Pak Arman itu segera sadar. Kemudian, dengan cepat Bu Inah menuju dapur dan membuatkan secangkir kopi untuk Pak Arman.

***
Pagi ini kantor desa kembali kedatangan Pak Arman dan Pak Yadi. Mereka akan mendengarkan keputusan dari kepala desa atas siapa yang berhak mendapat bantuan bulan ini. Walaupun masih pagi, suasana di depan kantor desa berubah menjadi panas kembali. Pak Arman dan Pak Yadi saling melempar alasan mereka harus mendapatkan bantuan sembako tersebut.

“Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh … baik, bapak-bapak. Untuk sembako yang bulan ini akan saya salurkan ke rumah tahfiz milik Pak Haji Imron. Kemarin beliau bercerita kalau rumah tahfiznya sedang kekurangan donasi. Maka dari itu, saya putuskan untuk diberikan ke rumah tahfiz saja. Lagi pula rumah tahfiz milik Pak Haji Imron, kan, di desa kita juga,” Pak Ahmad memberikan keterangan.

“Betul bapak-bapak. Rumah tahfiz saya sekarang muridnya bertambah, sedangkan donaturnya belum ada yang cair. Mohon diikhlaskan ya, bapak-bapak. Terima kasih,” lelaki berpeci putih di samping Pak Ahmad angkat bicara, lantas menyuguhkan seulas senyum.

“Sudah jelas, ya, Pak. Sekarang, silakan pulang ke rumah masing-masing dengan lapang dada. Mohon maaf atas segala kekurangan dan terima kasih atas perhatian. Wassalamualaikum.”

“Pak, keluarga saya sudah habis persediaan sembakonya, tolonglah, Pak,” rengek Pak Yadi. Namun, tak ditanggapi oleh kepala desa itu.

Terpampang jelas wajah Pak Arman dan Pak Yadi muram. Lemas. Bagaimana tidak? Setelah dua hari berjuang saling mengaku berhak mendapat bantuan sembako. Eh, ternyata berakhir nihil. Pulang dengan tangan kosong semua.

Pak Ahmad mengumumkan dengan detail. Kemudian, kembali masuk ke ruangannya. Dia tak mau ada perselisihan antarwarganya karena iri dan cemburu. Jadi, dia putuskan saja supaya semuanya tak dapat bantuan sembako bulan ini.

Tak berapa lama suara gaduh di luar kantor kepala desa Suka Wangi usai. Sementara Pak Haji Imron undur diri untuk kembali ke rumahnya, setelah perkara selesai. Kepala desa itu mengintip dari jendelanya. Ternyata warga yang berlomba mengaku paling miskin itu sudah meninggalkan area kantor desa. Dia berharap supaya kejadian serupa tidak terulang di desa yang dipimpinnya. Niat baik desa memberikan sembako, malah dijadikan ajang kontes kemiskinan. Saling mengaku miskin. Sayang sekali.
***
Riau, 9 November 2021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan