Nyai Seppo

Nyi Seppo, Sang Pendidik Perempuan Madura (Mengenal Nyai Siti Maryam)

8,903 kali dibaca

HAMPIR SETIAP hari, selalu ada saja tamu yang berkunjung ke ndalem. Ada yang hanya ingin silaturahmi dengan Mbah Nyai Siti Maryam atau lebih dikenal sebagai Nyi Seppo, yang artinya adalah Nyai Sepuh (sepeninggal almarhum Mbah Kiai Ahmad Jazuli, suaminya, tinggal Mbah Nyai satu-satunya sesepuh di Pondok). Ada yang minta doa, ada yang meminta nasihat, ada yang mengantarkan santri mondok. Ada pula yang memamitkan santri. Mbah Nyai selalu menerima semua tamu itu dengan gembira, betapa pun banyaknya yang berkunjung, betapa pun letihnya beliau, semua ditemui dengan wajah tersenyum dan keramahan yang tiada duanya. “Kaule sanausa gerre manabi bede tamoy pas sehat rassana. Kaule cek sennenga manggiin tamuy,” begitu tutur Mbah Nyai dalam Bahasa Madura, yang kurang lebih berarti: “Bahkan ketika saya sedang sakit, bila ada tamu rasanya saya langsung sembuh. Saya senang sekali menemani tamu.”

Mbah Nyai memang tidak pernah menolak siapa saja yang datang bertamu. Semua tamu yang selalu ditemui dan dihormati, betapa pun lelahnya atau betapa pun sibuknya. Beliau juga tidak pernah membeda-bedakan siapa tamu yang datang. Tamu jauh, tamu dekat, kaya, miskin, laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya diterima dengan keramahan yang sama.

Advertisements

Dalam adat Madura, umumnya tamu yang sowan ke kyai biasanya dipisah. Tamu laki-laki ditemui oleh laki-laki dan tamu perempuan ditemui oleh perempuan. Tapi, jika sowan ke Mbah Nyai, baik laki-laki maupun perempuan, semua diterima oleh Mbah Nyai, tak dibeda-bedakan berdasarkan jenis kelaminnya. Ketika ditanya, mengapa Mbah Nyai juga menemui tamu lelaki dan bahkan bersalaman dengan tamu lelaki, Mbah Nyai menjawab bahwa semuanya sudah dianggap sebagai anaknya, sehingga tidaklah menjadi penghalang bagi beliau untuk menemui anak-anaknya sendiri.

Menolak Pernikahan Dini

Saya teringat betul sore itu. Cuaca begitu panas dan kami baru tiba di rumah suami di Sumenep (ujung timur Pulau Madura) saat serombongan tamu tampak memasuki ndalem. Setelah ikut bersalaman, saya masuk ke dalam, tidak ikut menemani para tamu. Awalnya samar-samar terdengar obrolan ringan, saling menanyakan kabar dan lain sebagainya, sampai kemudian salah seorang dari para tamu itu berbicara dengan suara lirih pada Mbah. Karena belum begitu paham bahasa Madura, saya bertanya pada suami, apa yang dikatakan tamu itu. Suami menjawab, “Itu mau memamitkan santri.” Saya mengernyit, “Loh kenapa? Bukannya baru mau tahun ajaran baru?” saya bertanya. “Mau dinikahkan,” jawab suami singkat.

Saya terdiam. Suara dari ruang tamu terdengar kabur. Lalu perlahan sunyi. Detik selanjutnya, suara Mbah Nyai yang tegas terdengar, “Sudah mau nikah? Nanti, mondok dulu, selesaikan sekolah SMK-nya (maksudnya Sekolah Menengah Kejuruan, sederajat SMA), ya. Baru setelah itu nikah.” Rombongan tamu itu diam semua, tidak ada yang berani membantah. Semuanya sami’na wa atha’na atas dawuh Mbah Nyai.

Segera setelah tamu berpamitan, Mbah Nyai masuk ke dalam dan berkata pada suami saya, “Nanti kamu bikin perguruan tinggi ya, Nak, di sini, biar santri-santri putri nikahnya nanti saja kalau sudah mondok dan lulus kuliah.”

Di Madura, pernikahan anak di bawah umur umum sekali terjadi bahkan sampai sekarang. Ada begitu banyak faktor yang menjadi latar belakangnya. Pertama, faktor ekonomi. Menikahkan anak perempuan sedini mungkin dianggap bisa meringankan beban ekonomi keluarga, karena setelah menikah, anak perempuan menjadi tanggung jawab suaminya. Apalagi bagi keluarga yang memiliki banyak anak. Lepasnya tanggung jawab finansial terhadap satu anak akan sangat menolong ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak perempuan dianggap tidak memberikan banyak keuntungan berarti, karena toh dia akan menikah dan dibawa oleh suaminya selepas menikah. Yang penting ia bisa membaca, menulis, berhitung, dan mengaji. Terlebih, bagi anak perempuan lulusan pondok, meskipun baru lulus SMP tetapi sudah dianggap memiliki cukup bekal menjadi istri karena sudah mempelajari kitab-kitab fikih dasar, seperti Fathul Qarib, Fathul Mu’in, dan juga sudah mempelajari Qurrotul Uyun sebagai bekal berumah tangga.

Beberapa keluarga merasa lebih penting untuk menyekolahkan anak laki-laki, karena semakin tinggi sekolahnya maka kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik pun semakin besar. Dengan itu, keluarga bisa ikut memperoleh keuntungan jika anak lelakinya memiliki penghasilan yang cukup. Sebab, anak lelaki yang sudah bekerja pastilah akan membantu meringankan beban finansial keluarganya.

Kedua, faktor sosial. Dalam adat masyarakat Madura, ada kebiasaan antar keluarga yang ingin agar pertalian hubungannya selalu dekat dan salah satu pengikatnya adalah melalui pernikahan jika memiliki anak-anak yang berbeda jenis kelamin untuk dijodohkan (istilahnya du-jhudu dalam Bahasa Madura). Seringkali perjodohan antarkeluarga itu bahkan direncanakan jauh sejak anak masih sangat kecil atau bahkan masih dalam kandungan (istilahnya tok-ngatok dalam Bahasa Madura).

Setelah perjodohan itu disepakati lalu dilakukanlah adat ngobu, yang mana pihak keluarga laki-laki bertanggung jawab sepenuhnya atas nafkah si perempuan walaupun si bayi masih merah sampai nanti hari pernikahan. Dan, apabila perjodohan itu gagal, maka adat ngobu dianggap batal. Jika batal, maka keluarga perempuan harus mengembalikan semua harta benda yang sudah diterimanya dari pihak keluarga laki-laki.

Oleh karena itu, biasanya begitu anak-anak tersebut lahir dan akhirnya akil balig, umumnya keluarga tidak menunggu lama untuk menikahkan mereka. Menunda pernikahan dari perjodohan semacam itu dianggap berisiko. Adanya ketakutan bahwa perjodohan itu akan gagal dan lain sebagainya turut menjadi alasan bagi para orang tua tersebut untuk bersegera menikahkan anak-anaknya.

Pejuang Pendidikan Perempuan

Tentu saja ini tidak terjadi pada semua keluarga di Madura. Ada banyak keluarga yang sudah mulai memikirkan untuk memfasilitasi anak-anaknya sampai ke pendidikan tinggi, termasuk juga untuk anak-anaknya yang berjenis kelamin perempuan. Namun, tak dimungkiri bahwa di kampung-kampung masih banyak sekali terjadi pernikahan anak. Bagi mereka, asalkan persyaratan secara agama sudah terpenuhi, maka pernikahan itu bisa dilangsungkan. Kasus pernikahan ini paling banyak menimpa anak perempuan. Bagi mereka, anak perempuan yang sudah menstruasi dan hatam mengaji Fathul Mu’in dan Qurrotul Uyun dianggap sudah saatnya dinikahkan.

Di Desa Bilapora Timur, Kecamatan Ganding, Sumenep, Nyai Siti Maryam menjadi salah satu pemuka agama yang selalu berusaha agar anak-anak perempuan memperoleh pendidikan sekolah formal dan keagamaan yang cukup sebelum akhirnya menikah dan mengasuh anak. Nyai Siti jugalah perempuan pertama yang berinisiatif membangun pondok puteri di daerah tersebut 41 tahun yang lalu. Mula-mula, pada masa perintisannya, santri putri yang mondok di sana hanya sekitar sepuluh orang, tetapi saat ini justru jumlahnya menyalip jumlah santri pondok putera yang lebih dulu berdiri sejak periode kakek mertuanya.

Nyai Siti Maryam dilahirkan di Desa Gadu Timur, Kecamatan Ganding, Kabupaten Sumenep, pada 15 Muharram 58 tahun yang lalu dari pasangan Kiai Jamaluddin dan Nyai Masrurah. Silsilah dari jalur ayah adalah sebagai berikut: Nyai Siti Maryam binti Jamaluddin bin Khazin/Abdul Mu’in bin Murtadho bin Mufid bin Sihhah bin Dzu Limah bin Abdul Karim bin Syish bin Ali Zainal Abidin (Sunan Cendana) bin Khatib bin Musa bin Qasim (Sunan Drajat) bin Raden Rahmat (Sunan Ampel). Sementara dari jalur ibu, silsilahnya adalah sebagai berikut: Nyai Siti Maryam binti Masrurah binti Tsuwaibah binti Khadijah binti Kiai Mohammad Syarqowi (Pendiri Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, atau yang lebih dikenal dengan nama Pesantren Guluk-Guluk saja).

Saat kelahirannya, ibunda Nyai Siti, Nyai Masrurah mengatakan bahwa kelak Nyai Siti akan kuat menjadi seorang pemimpin karena menurut kepercayaan orang Madura, anak yang dilahirkan pada bulan purnama di bulan Muharram akan dikuatkan menjadi seorang pemimpin. Dan, sepertinya ucapan Nyai Masrurah memang menjadi kenyataan.

Nyai Siti sejak kecil dididik mengaji oleh kedua orang tuanya yang juga pengasuh pondok pesantren Jamalullail sebelum akhirnya mondok di Pesantren Al-Anwar Gadu yang diasuh oleh paman dan bibi Nyai Siti, yaitu Kiai Anwar dan Nyai Arifah (Nyai Arifah adalah adik sepupu dari Kiai As’ad Syamsul Arifin Sukorejo, Situbondo, yang menjadi salah satu pendiri Nahdlatul Ulama) sejak usia 7 tahun sampai akhirnya Nyai Siti menikah.

Nyai Siti Maryam menikah dengan Kiai Ahmad Jazuli bin Thohiruddin pada usia 13 tahun, dan sejak saat itu ikut menetap di Desa Bilapora Timur, Kecamatan Ganding, Kabupaten Sumenep serta membantu Kiai Jazuli mengasuh Pondok Pesantren Darussalam. Pondok Pesantren Darussalam sendiri berdiri sejak tahun 1800-an, didirikan oleh Kiai Harru, kakek Kiai Jazuli. Sejak tahun 1961, Kiai Ahmad Jazuli-lah yang mengasuh pondok pesantren tersebut.

Pada awalnya, Pondok Pesantren Darussalam hanya menerima santri putra saja, baru pada tahun 1975, berkat inisiatif Nyai Siti Maryam, pesantren putri dibuka. Saat itu Mbah Nyai baru berusia 17 tahun. Dan pondok pesantren puteri tersebut menjadi satu-satunya pondok puteri di Bilapora.

Begitu Pesantren Darussalam membuka pondok puteri, lama-kelamaan ada banyak sekali santri putri yang akhirnya mondok di situ. Kebanyakan adalah anak-anak alumni Pesantren Darussalam periode sebelumnya yang berasal dari daerah Jawa Timur dan Madura serta masyarakat sekitar. Bahkan, ada juga santri putri dari Jawa Barat dan Kalimantan yang mondok di sana. Kurikulum pengajaran di pondok puteri fokus dalam pendidikan kitab kuning dan juga menekankan pada pendidikan adab serta akhlaqul karimah.

Meskipun dulunya Nyai Siti menikah di usia 13 tahun, namun beliau sama sekali tidak menginginkan santri-santri puteri yang mondok di pondok pesantren Darussalam menikah di usia terlampau belia. Apalagi sejak pondok pesantren Darussalam memiliki sekolah formal pasca tahun 90-an.

Mulai tahun 1993 sampai sekarang, Pesantren Darussalam telah membangun sekolah formal mulai dari PAUD, RA, MI, SMPi, dan SMK sehingga santri-santri yang mondok di sana  umumnya juga bersekolah di sekolahan pondok. Sebelumnya, anak-anak yang mondok sekaligus sekolah formal lebih banyak didominasi oleh santri laki-laki, namun setelah dibangunnya sekolah formal sampai ke tingkat SMK, sekarang hampir semua santri putri yang mondok di sana juga bersekolah formal.

Meskipun begitu, tetap ada beberapa wali santri yang menganggap bahwa anak-anaknya yang perempuan cukup sekolah sampai tingkat SMP saja. Bagi para orang tua seperti itu, yang penting anak-anaknya sudah bisa ngaji kitab, sudah paham fikih. Begitu lulus SMP, mereka biasanya dipamitkan oleh orang tuanya untuk dinikahkan. Dulu, Nyai Siti sering kesulitan mencari alasan untuk menahan santri putri yang mau dibawa pulang orang tuanya untuk dinikahkan. Namun, setelah dibangunnya sekolah SMK, Nyai Siti biasanya menahan santri putri yang masih baru lulus SMP dan mau dinikahkan oleh orang tuanya supaya melanjutkan sekolahnya sampai ke SMK dulu sebelum menikah. Alasannya, selain karena faktor usia yang masih terlalu muda kalau menikah selepas lulus SMP, Nyai Siti merasa bahwa anak perempuan juga perlu memiliki bekal pendidikan formal yang cukup sebelum menikah. Karena siapa tahu, anak tersebut juga ingin bekerja selain menjadi ibu rumah tangga. Dan jenjang pendidikan yang lebih tinggi akan lebih membantu anak tersebut untuk memiliki pilihan yang lebih banyak untuk masa depannya.

Meskipun biasanya para orang tua santri sebenarnya keberatan anaknya harus melanjutkan sekolah dan mondok lagi, namun mereka juga tidak berani menentang dawuh Nyi Seppo. Akhirnya, mereka pun “terpaksa” mengizinkan anaknya untuk tetap tinggal di pondok dan menunda pernikahannya.

Memang sebagai seorang pemuka agama, setiap dawuh Nyai Siti pasti selalu didengarkan oleh masyarakat. Sehingga ketika Nyai Siti meminta agar santri yang mau dinikahkan selepas SMP itu mondok lagi dan melanjutkan sekolah sampai SMK, maka orang tua santri pun akan menuruti. Hal tersebut menjadi keuntungan tersendiri bagi Nyai Siti. Bahwa kekuatan ucapannya dijadikan sarana untuk terus memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak perempuan.

Namun, perjuangan Nyai Siti dalam mengupayakan pendidikan anak-anak perempuan juga mengalami begitu banyak kendala. Terlebih sepeninggal Kiai Ahmad Jazuli, Nyai Siti harus berjuang keras untuk mengurus baik pondok putera dan juga pondok putri. Dengan infrastruktur dan fasilitas yang masih sangat serba terbatas, Nyai Siti mau tidak mau harus sangat bekerja keras dalam melanjutkan perjuangan almarhum suaminya..

Impian yang Belum Terwujud

Beberapa impian Nyai Siti untuk pondok putri yang sampai saat ini belum terlaksana antara lain adalah membangun mushola khusus santri putri (karena selama ini santri putri masih menggunakan sekolahan RA sebagai mushola sementara untuk kegiatan-kegiatannya) dan membekali santri-santri putri dengan berbagai keterampilan, misalnya menjahit, kursus bahasa, atau memasak (yang sampai saat ini masih dipikirkan dan diupayakan oleh Nyai Siti bagaimana menyediakan peralatan menjahit, laboratorium bahasa, dan peralatan memasak serta tenaga-tenaga yang bisa mengajar keterampilan-keterampilan tersebut).

Nyai Siti juga bermimpi suatu saat nanti Pondok Pesantren Darussalam punya perguruan tinggi sehingga santri-santri yang mondok di sana bisa sekaligus melanjutkan sampai ke tingkat perguruan tinggi juga. Terlebih bagi santri putri yang kebanyakan tidak terlalu diperhatikan pendidikan formalnya oleh keluarga. Padahal, dengan pendidikan yang lebih tinggi, santri-santri tersebut bisa memiliki lebih banyak pilihan di masa yang akan datang, misalnya jika ingin bekerja sebagai guru atau pegawai.

Selain memperjuangkan pendidikan untuk anak perempuan, terutama sekali anak-anak perempuan di sekitar daerah Kecamatan Ganding dan Kecamatan Lenteng, Nyai Siti juga merintis dan menghidupkan organisasi muslimat NU di Desa Bilapora dan menjadi pelopor aktifnya kegiatan Muslimat NU di dua kecamatan tersebut. Nyai Siti mulai menjadi ketua Muslimat NU sejak usianya 14 tahun dan terus berupaya keras membesarkan organisasi tersebut hingga saat ini. Beliau berupaya mendidik ibu-ibu Muslimat NU untuk berani menyuarakan pendapatnya, untuk memimpin, dan untuk mandiri.

Nyai Siti juga sangat mendorong peran dan partisipasi aktif perempuan dalam kegiatan sosial, politik, dan kemasyarakatan. Salah satunya dengan mendorong dan mengupayakan terpilihnya kepala desa perempuan di Bilapora. Saat itu hampir sebagian besar warga menolak majunya Eni Setiasih, seorang aktivis Muslimat NU Desa Bilapora bimbingan Nyai Siti menjadi calon kepala desa perempuan karena adanya keyakinan bahwa pemimpin perempuan tidaklah sesuai dengan syariat agama. Ada begitu banyak penentangan. Apalagi sepanjang sejarah, tak pernah ada kepala desa perempuan sebelumnya di sana.

Warga masyarakat pun dibuat bingung dengan kondisi tersebut. Namun, ketika mereka sowan dan bertanya pada Nyai Siti soal kepemimpinan perempuan, Nyai Siti justru memberikan pandangan bahwa yang terpenting adalah kemampuan memimpin dan membawa masyarakat ke dalam kondisi yang lebih baik, bukan apa jenis kelaminnya. Penjelasan Nyai Siti akhirnya cukup meredakan kebingungan yang terjadi dalam masyarakat.

Ketika akhirnya Eni Setiasih terpilih menjadi kepala desa, ketegangan bukannya mereda. Ada banyak pihak yang tidak suka dengan terpilihnya Eni Setiasih yang kemudian memprovokasi warga dan membawa masalah itu ke dalam perbincangan agama; bahwa pemimpin perempuan tidaklah sesuai dengan syariat agama. Namun, lagi-lagi hal tersebut berhasil diredakan berkat ketegasan Nyai Siti dalam membela dan memperjuangkan posisi kepemimpinan perempuan.

Posisi perempuan, yang di beberapa daerah di Madura masih dinomorduakan, tidak berlaku dalam kehidupan Nyai Siti. Meskipun beliau tidak mengenyam pendidikan formal hingga perguruan tinggi, dan kebanyakan hanya bergelut dengan kitab-kitab klasik, bahkan beliau kurang lancar berbahasa Indonesia, namun cara pandangnya bisa dibilang cukup progresif. Beliau menekankan bahwa Allah menciptakan manusia setara, baik laki-laki maupun perempuan, dan semuanya berhak atas hak-hak dasar yang sama tanpa adanya pengecualian. Itulah sebabnya, Nyai Siti sangat mendorong terpenuhinya hak pendidikan bagi anak-anak perempuan, sebagaimana pada anak laki-laki. Pun jika pada akhirnya anak-anak perempuan itu memilih menjadi ibu rumah tangga saja, setidaknya mereka menikah di usia yang cukup dan sudah menamatkan sekolah menengah dan menyelesaikan mondoknya.

Meskipun alasan-alasan yang diungkapkan Nyai Siti perihal penolakannya pada pernikahan anak bisa dibilang termasuk sangat sederhana (beliau tidak mengenal persoalan-persoalan seperti kesehatan seksual dan reproduksi, dan dampak kesehatan yang bisa menimpa anak-anak perempuan yang menikah di usia belia) namun penolakan beliau terhadap pernikahan anak dalam kaitannya dengan pendidikan perempuan cukup membesarkan hati. Adanya kesadaran bahwa pendidikan bagi perempuan itu sama pentingnya dengan pendidikan bagi laki-laki telah meletupkan dan menciptakan harapan-harapan yang lebih besar, terutama sekali bagi masyarakat sekitar pondok pesantren Darussalam, Bilapora.

Tak bisa dimungkiri, berdirinya pondok putri di desa Bilapora dan banyaknya anak-anak perempuan yang akhirnya mondok dan sekolah sampai ke jenjang SMK di daerah tersebut sedikit banyak adalah buah dari perjuangan Nyai Siti.

Nyai Siti sendiri bahkan bisa dibilang menjadi pelopor ulama perempuan pemimpin di Desa Bilapora. Sepeninggal wafatnya Kiai Ahmad Jazuli di tahun 2004, kepengasuhan Pesantren Darussalam dipegang oleh Nyai Siti sampai sekarang. Beliau-lah yang memimpin kepengurusan baik di pondok putra maupun pondok putri. Dan kemungkinan beliau adalah satu-satunya pengasuh perempuan di pondok pesantren di daerah tersebut. Dalam berbagai kesempatan, Nyai Siti juga kerap memimpin tahlil atau istighosah baik di Madura, Banyuwangi, Jember, Lumajang, Ponorogo, dengan jamaah tak hanya perempuan tetapi juga lelaki.

Meskipun Nyai Siti sudah semakin sepuh, namun aktivitas beliau sama sekali tidak berkurang. Selain terus mengurus santri pondok, beliau juga masih aktif mengurus organisasi Muslimat NU, dan sederet aktivitas lainnya. Beliau juga mendirikan organisasi ikatan alumni pondok pesantren Darussalam yang menjadi wadah seluruh alumni yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia dengan tujuan supaya antar alumni saling bersilaturahmi.

Bagi Nyai Siti, masyarakat, alumni, dan santri sudah seperti keluarganya sendiri. Semua dianggap sebagai anak yang perlu diayomi dan disayangi. Dan begitupun masyarakat sekitar memperlakukan Nyai Siti, seperti orang tua mereka sendiri. Mereka datang berbondong-bondong pada beliau untuk berbagi keluh kesah, masalah, dan apa saja. Mungkin inilah yang juga membuat Nyai Siti menjadi sangat memikirkan masyarakat, terutama sekali yang berkenaan dalam bidang pendidikan.

Role Model Ulama Perempuan

Keistiqomahan beliau dalam mendidik santri dan masyarakat menjadi inspirasi bagi banyak orang, termasuk beberapa alumni santri baik laki-laki maupun perempuan yang menjadikan Nyai Siti sebagai role model dalam kehidupan mereka. Banyak alumni-alumni santri yang akhirnya mendirikan pesantren dan mengasuh pondok pesantren tersebut mengikuti cara-cara yang secara tidak langsung dicontohkan oleh Nyai Siti. Pondok pesantren itu tersebar di sekitar Madura sampai Jawa Timur, terutama Jember dan Banyuwangi. Harapannya, perjuangan Nyai Siti dalam memperjuangkan pendidikan untuk semua orang, tak hanya bagi laki-laki namun juga bagi perempuan bisa ditiru oleh para keluarga, santri, alumni, dan masyarakat sekitar. Dan semoga Nyai Siti diberi kesehatan serta umur panjang yang penuh keberkahan, sehingga beliau bisa mewujudkan impian-impiannya dalam dunia pendidikan santri.

*Tulisan ini menjadi Juara 1 Lomba Karya Tulis Ulama Perempuan: Peran dan Kiprahnya di Masyarakat kategori Feature/Profil yang diselenggarakan oleh Rahima, Fahmina, dan Alimat dalam rangka Kongres Ulama Perempuan Indonesia tahun 2016.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan