Ketika mendengar kabar Mbah Moen berpulang, yang langsung datang menyergap justru rasa cemburu. Bukan rasa duka atau kehilangan. Sebab, betapa Mbah Moen, sapaan akrab KH Maimoen Zubair, adalah sosok yang dicintai Allah, Tuhan Semesta Alam. Selasa pagi itu, 6 Agustus 2019, Mbah Moen berada di titik terindah. Mbah Moen berpulang di Tanah Suci Mekkah ketika sedang menunaikan ibadah haji, dan kemudian dimakamkan di Mala, tak jauh dari pusara istri pertama Nabi, Siti Khadijah. Persis seperti yang diimpikannya. Siapa tak cemburu?
Dari sosok Mbah Moen kita tahu, dicintai itu buah dari perjalanan hidup. Bukan garis hidup. Pencapaian Mbah Moen hingga ke maqom “kinasih”, orang-orang yang dicintai Allah, adalah pendakian perjalanan hidup. Mbah Moen memang terlahir dari keluarga santri, keturunan para ulama. Boleh dibilang “berdarah biru”. Tapi pendakian perjalanan hidupnyalah yang membawanya ke maqom tertinggi itu.
Mbah Moen lahir di Sarang, Rembang, Jawa Tengah, pada 28 Oktober 1928 dari pasangan KH Zubair Dahlan dan Nyai Mahmudah. Sang ayah, Kiai Zubair, adalah ulama besar yang pernah berguru langsung kepada Syekh Said Al-Yamani dan Syekh Hasan al-Yamani al-Makky. Dengan geneologi seperti itu, sesungguhnya bisa dibilang cukup bagi Mbah Moen untuk hanya berguru kepada sang ayah. Tapi tidak demikian yang dilakoni. Mbah Moen memilih menjadi santri kelana. Menjelajah dan bermukim di banyak tempat untuk “nyusu ilmu” dan “ngalap berkah” kepada banyak guru.
Pada awalnya, saat masih kecil, Mbah Moen memang masih dididik langsung oleh sang ayah. Ketia belia, Mbah Moen kemudian mondok di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Di Lirboyo, Mbah Moen di bawah bimbingan langsung KH Abdul Karim. Selain itu, ia juga mengaji kepada KH Mahrus Ali. Saat itu, Mbah Moen sudah belajar banyak tentang ilmu yang biasa dikenalkan di pesantren seperti nahwu, shorof, fiqh, manthiq, balaghah, dan lainnya. Konon, di usia 17 tahun, Mbah Moen sudah hapal di luar kepala kiab-kitab nadzam, di antaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq, serta Rohabiyyah fil Faroidl. Saat itu Mbah Moen juga sudah menguasai kitab-kitab fiqh madzhab Asy-Syafi’I, sebutlah Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab, dan lain sebagainya.