KH Maimoen Zubair

Mbah Moen: Titik Terindah…

4,514 kali dibaca

Ketika mendengar kabar Mbah Moen berpulang, yang langsung datang menyergap justru rasa cemburu. Bukan rasa duka atau kehilangan. Sebab, betapa Mbah Moen, sapaan akrab KH Maimoen Zubair, adalah sosok yang dicintai Allah, Tuhan Semesta Alam. Selasa pagi itu, 6 Agustus 2019, Mbah Moen berada di titik terindah. Mbah Moen berpulang di Tanah Suci Mekkah ketika sedang menunaikan ibadah haji, dan kemudian dimakamkan di Mala, tak jauh dari pusara istri pertama Nabi, Siti Khadijah. Persis seperti yang diimpikannya. Siapa tak cemburu?

Dari sosok Mbah Moen kita tahu, dicintai itu buah dari perjalanan hidup. Bukan garis hidup. Pencapaian Mbah Moen hingga ke maqom “kinasih”, orang-orang yang dicintai Allah, adalah pendakian perjalanan hidup. Mbah Moen memang terlahir dari keluarga santri, keturunan para ulama. Boleh dibilang “berdarah biru”. Tapi pendakian perjalanan hidupnyalah yang membawanya ke maqom tertinggi itu.

Advertisements

Mbah Moen lahir di Sarang, Rembang, Jawa Tengah, pada 28 Oktober 1928 dari pasangan KH Zubair Dahlan dan Nyai Mahmudah. Sang ayah, Kiai Zubair, adalah ulama besar yang pernah berguru langsung kepada Syekh Said Al-Yamani dan Syekh Hasan al-Yamani al-Makky. Dengan geneologi seperti itu, sesungguhnya bisa dibilang cukup bagi Mbah Moen untuk hanya berguru kepada sang ayah. Tapi tidak demikian yang dilakoni. Mbah Moen memilih menjadi santri kelana. Menjelajah dan bermukim di banyak tempat untuk “nyusu ilmu” dan “ngalap berkah” kepada banyak guru.

Pada awalnya, saat masih kecil, Mbah Moen memang masih dididik langsung oleh sang ayah. Ketia belia, Mbah Moen kemudian mondok di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Di Lirboyo, Mbah Moen di bawah bimbingan langsung KH Abdul Karim. Selain itu, ia juga mengaji kepada KH Mahrus Ali. Saat itu, Mbah Moen sudah belajar banyak tentang ilmu yang biasa dikenalkan di pesantren seperti nahwu, shorof, fiqh, manthiq, balaghah, dan lainnya. Konon, di usia 17 tahun, Mbah Moen sudah hapal di luar kepala kiab-kitab nadzam, di antaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq, serta Rohabiyyah fil Faroidl. Saat itu Mbah Moen juga sudah menguasai kitab-kitab fiqh madzhab Asy-Syafi’I, sebutlah Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab, dan lain sebagainya.

Mbah Moen nyantri di Lirboyo hingga 1949, saat usianya mencapai 21 tahun. Sempat pulang ke kampung halaman sebentar guna mengamalkan ilmunya, pada 1950 Mbah Moen berangkat ke Mekkah untuk memperdalam studi keislaman. Berada di Tanah Suci selama dua tahun, Mbah Moen berguru kepada ulama-ulama besar, seperti Sayyid Alawi al-Maliki, Syekh al-lmam Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Quthbi, Syekh Yasin Isa al-Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly.

Menimba ilmu di Tanah Suci tak membuat Mbah Moen muda merasa puas. Sepulang dari Mekkah, ia justru memulai pengelanaannya sebagai santri. Ia berguru langsung kepada puluhan ulama besar di Pulau Jawa, seperti KH Baidlowi bin Abdul Aziz (Lasem), KH Ma’shum (Lasem) KH Ali Ma’shum (Krapyak, Jogjakarta), KH Bisri Mustofa (Rembang), KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Mushlih (Mranggen, Semarang), KH Abbas Djamil Buntet, (Buntet, Cirebon), Sayikh Ihsan (Jampes, Kediri), KH Abul Fadhol (Senori), KH Wahib Wahab, KH Bisri Syansuri, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al Alawy (Malang), Habib Ali bin Ahmad Alathos (Pekalongan), KH Tohir (Jakarta), KH Abdul Hamid (Pasuruan), Kyai Hudhori (Tegalrejo), KHR Asnawi (Kudus), Kyai Abul Khoir (Senori), Syekh Dr Dhiya’uddin bin Najmuddin bin Syekh Alquthub Muhammad Amin Al Kurdi Al Mishri, dan Mursyid Thoriqoh Kyai Imron Rosyadi.

Begitulah santri yang sesungguhnya. Tidak pernah cukup berguru pada hanya satu guru. Tidak pernah puas apalagi jumawa hanya dengan satu ilmu yang telah ditemu.

Dengan geneologi keilmuan seperti itu, Mbah Moen akhirnya dikenal sebagai ulama besar yang menguasai samudera keilmuan Islam demikian luas. Kiprah dan pemikiran penulis kitab al-Ulama al-Mujaddidun ini pun menjadi rujukan orang-orang yang ingin mendalami Islam, tak hanya di Indonesia, tapi juga dari negara-negara lain.

Keluasan ilmu Mbah Moen tak hanya diajarkan di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang yang dipimpinnya, tapi juga diamalkan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Mbah Moen dikenal aktif dan kemudian menjadi tokoh yang disegani di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Selain itu, Mbah Moen juga terjun langsung ke dunia politik melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ia pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 1987 dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) pada 1999.

Dalam mengejawantahkan ilmunya, Mbah Moen adalah sosok yang lurus, dan abai terhadap godaan. Mbah Moen pernah digoda dan menolak untuk ikut bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di zaman Orde Baru. Mbah Moen juga tak pernah tergoda untuk berganti-ganti kendaraan politik di Era Reformasi, di saat partai politik tumbuh menjamur. Bukan karena NU yang paling benar. Bukan karena PPP yang paling benar. Mbah Moen memberi contoh orang harus istiqomah pada pilihannya untuk menebar kebaikan dan kebajikan.

Saat-saat terakhir dalam kehidupannya, ketika bangsa Indonesia didera ketegangan politik dan tarik menarik kelompok kepentingan berbasis ideologi agama, Mbah Moen berdiri tegak lurus untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ia mencintai, mengasihi, dan mengayomi seluruh anak bangsa. Kedalaman ilmunya menjadi rujukan, begitu pula sikap politiknya.

Dari sosok Mbah Moen kita tahu, orang-orang yang mencapai maqom Kinasih tak hidup di menara gading. Tak hidup di ruang hampa. Tak mendaku sebagai yang paling alim. Tak mendaku sebagai yang paling benar. Mereka adalah orang-orang yang hidup dan bergumul di tengah kehidupan masyarakat dengan intensitas cinta, kasih sayang, dan pengayoman yang tinggi. Begitulah Tuhan akhirnya melimpahkan cinta, kasih sayang, dan pengayoman tiada tara. Siapa tak cemburu?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan