Nufusu Auliya’

4,102 kali dibaca

Alkisah, seorang kepala suku Bani Syam tengah berdoa kepda Tuhan agar diberikan anak. Istrinya menyarankan agar mereka berdua bersujud di hadapan Tuhan dan dengan tulus memohon kepada Allah memberikan anugerah kepada mereka berdua.

“Mengapa tidak?” kata sang kepala suku kepada istrinya. “Kita harus mencoba berbagai macam cara. Mari, kita coba sekali lagi, tak ada ruginya.” Mereka pun bersujud kepada Tuhan, sambil berurai air mata dari relung hati mereka yang terluka.

Advertisements

“Wahai Segala Kekasih, jangan biarkan pohon kami berbuah pahit pada kehidupan dan jangan busukkan buah kami agar dia merasakan indahnya Kasih Sayang. Izinkan kami merasakan manisnya menimang anak dalam pelukan kami. Anugerahkan kepada kami tanggung jawab untuk membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan kesempatan kepada kami untuk membuat-Mu bangga akan anak kami.”

Tak lama kemudian, doa mereka dikabulkan, dan Tuhan menganugerahi mereka seorang anak laki-laki yang diberi nama Nufus. Sang ayah sangat berbahagia, sebab Nufus dicintai oleh semua orang. Ia tampan dan berambut lurus nan hitam, yang menjadi pusat perhatian serta kekaguman. Sejak awal, Nufus telah memperlihatkan kecerdasan dan kemampuan fisik istimewa. Ia punya bakat luar biasa dalam mempelajari ilmu, menggubah syair dan menulis. Bahkan salah seorang gurunya berkata kepada ayah Nufus, bahwa Nufus mempunyai kelebihan istimewa yang mana orang-orang disibukkan dengan belajar, sedang dia diam sudah mendapatkannya.

Ketika sudah cukup umur untuk masuk pesantren, ayahnya memutuskan mengutus dia ke pesantren atas saran gurunya.  Nufus dipondokkan di pesantren yang berada di desa Bahrul Ulum (Lautan Ilmu) terpandang di seluruh jazirah Andalusia. Di antara mereka ada seorang anak perempuan dari kepala suku tetangga. Seorang gadis bermata indah, yang memiliki kecantikan luar biasa. Rambut dan matanya sehitam malam. Karena alasan inilah mereka menyebutnya Auliya’, “Sang Kekasih”.

Meski ia baru berusia dua belas tahun, sudah banyak pria melamarnya untuk dinikahi. Sebab, sebagaimana lazimnya kebiasaan di zaman itu, gadis-gadis sering dilamar pada usia yang masih sangat muda (untuk dijodohkan ), yakni sembilan tahun. Auliya’ dan Nufus adalah teman sekelas. Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah saling tertarik satu sama lain. Seiring dengan berlalunya waktu, percikan ketertarikan ini makin lama menjadi api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah bukan lagi tempat belajar. Kini, sekolah menjadi tempat mereka saling bertemu. Ketika guru sedang mengajar, mereka saling berpandangan. Ketika tiba waktunya menulis pelajaran, mereka justru saling menulis namanya di atas kertas.

Bagi mereka berdua, tak ada teman atau kesenangan lainnya. Dunia kini hanyalah milik Nufus dan Auliya’ . Mereka buta dan tuli pada yang lainnya. Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai mengetahui cinta mereka, dan gunjingan-gunjingan pun mulai terdengar. Di zaman itu, tidaklah pantas seorang gadis dikenal sebagai sasaran cinta seseorang dan sudah pasti mereka tidak akan menanggapinya.

Ketika orang tua Auliya’ mendengar bisik-bisik tentang anak gadis mereka, mereka pun melarangnya. “Kamu ini di pesantren, jangan bermain cinta. Fokus dengan tholabul ilmi-mu.”

Mereka tak sanggup lagi menahan beban malu pada masyarakat sekitar. Ketika Auliya’ tidak ada di ruang kelas, Nufus menjadi sangat gelisah sehingga ia meninggalkan sekolah dan menyelusuri jalan-jalan untuk mencari kekasihnya dengan memanggil-manggil namanya. Ia menggubah syair untuknya dan membacakannya di jalan-jalan.

نَهَارِى نَهَارُ النَّاسِ حَتَّى اِذَا بَدَا

لِى اْللَيْلِ هَذَّا تِّنِى اِلَيْكَ الْمَضَاجِعِ

اَقْضِى نَهَارِى بِالْحَدِيثِ وَبِالمُنَى

وَيَجتَمِعُنِى وَالهَمِّ بِاللَيْلِ جَامِعِ

لَقَدْ اَثْبَتَتْ فِى القَلْبِ مِنكِ مَحَبَّةٍ كَمَا تَثْبُتُ فِى الَّداحَتَيِن

Siangku adalah siang yang lain

Bila malam tiba, tidurku sering terganggu wajahmu

Sepanjang siang aku habiskan untuk perbincangan manis dan harapan

Dan sepanjang malam aku dicekam murung dan kerinduan

“Cintaku padamu telah tertanam direlung kalbuku, jari-jari dua tangan kami selalu merekat erat.” Ia hanya berbicara tentang Auliya’ dan tidak juga menjawab pertanyaan orang-orang kecuali bila mereka bertanya tentang Auliya’. Orang-orang pun tertawa dan berkata,  “Lihatlah Nufus, ia sekarang telah menjadi seorang majnun, gila!”

Akhirnya, Nufus dikenal dengan nama ini, yakni “Majnun”. Melihat orang-orang dan mendengarkan mereka berbicara, membuat Majnun tidak tahan. Ia hanya ingin melihat dan berjumpa dengan Auliya’ kekasihnya. Ia tahu bahwa Auliya’ telah dipingit oleh orang tuanya di pesantren, yang dengan bijaksana menyadari bahwa jika Auliya’ dibiarkan bebas bepergian, ia pasti akan menjumpai Nufus.

Nufus menemukan sebuah tempat di desa Bharul Ulum di dekat asrama Nufus yang menghadap kamar Auliya’. Sepanjang hari Nufus hanya duduk-duduk di depan asramanya, di samping sungai kecil berkelok yang mengalir ke bawah menuju asrama itu. Ia berbicara kepada air, menghanyutkan dedaunan bunga liar, dan Nufus merasa yakin bahwa sungai itu akan menyampaikan pesan cintanya kepada Auliya’. Ia menyapa burung-burung dan meminta mereka untuk terbang kepada Auliya’serta memberitahunya bahwa ia dekat. Ia menghirup angin dari barat yang melewati asrama Auliya’. Jika kebetulan ada seekor anjing tersesat yang berasal dari  asrama Auliya’, ia pun memberinya makan dan merawatnya, mencintainya seolah-olah anjing suci, menghormatinya dan menjaganya sampai tiba saatnya anjing itu pergi jika memang mau demikian. Segala sesuatu yang berasal dari tempat kekasihnya dikasihi dan disayangi sama seperti kekasihnya sendiri.

Bulan demi bulan berlalu dan Nufus tidak menemukan jejak Auliya’. Kerinduannya kepada Auliya’ demikian besar sehingga ia merasa tidak bisa hidup sehari pun tanpa melihatnya kembali. Terkadang, sahabat-sahabatnya di sekolah dulu datang mengunjunginya, tetapi ia berbicara kepada mereka hanya tentang Auliya’, tentang betapa ia sangat kehilangan dirinya. Suatu hari, tiga anak laki-laki, sahabatnya yang datang mengunjunginya demikian terharu oleh penderitaan dan kepedihan Nufus sehingga mereka bertekad membantunya untuk berjumpa kembali dengan Auliya’. Rencana mereka sangat cerdik. Esoknya, mereka dan Nufus bertemu Auliya’ di perpustakaan.

Ketika Nufus masuk, Auliya’ tetap duduk. Sekalipun sudah diberitahu bahwa Nufus akan datang, ia tidak percaya bahwa pertemuan itu benar-benar terjadi. Nufus berdiri di pintu selama beberapa menit, memandangi sepuas-puasnya wajah Auliya’. Akhirnya, mereka bersama lagi!

Duhai Kekasihku

Betapa aku merindukanmu

Betapa indahnya seperti hari hari kemarin

Tetapi kini

Duhai Kekasihku

Diriku tak punya daya

Takdir telah memutuskan untuk memisahkan kita

Wahai Kekasihku

Apakah kita akan berpisah untuk selamanya

Salahkah diriku?

Setelah itu tak terdengar sepatah kata pun, kecuali detak jantung kedua orang yang dimabuk cinta ini. Mereka saling berpandangan dan lupa waktu. Sesudah terjadinya peristiwa itu, ayah Auliya’ mengubah perasaan Auliya’dan Nufus, satu sama lain, sungguh ia salah besar.

Ayah Auliya’ menelepon ayah Nufus. Ayah Nufus berkata, “Engkau tahu benar kawan, bahwa ada dua hal yang sangat penting bagi kebahagiaan, yaitu Cinta dan Kekayaan. Anak lelakiku mencintai anak perempuanmu, dan aku bisa memastikan bahwa aku sanggup memberi mereka cukup banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagia dan menyenangkan.

Mendengar hal itu, ayah Auliya’ pun menjawab, “Bukannya aku menolak Nufus.

Aku percaya kepadamu, sebab engkau pastilah seorang mulia dan terhormat,” jawab ayah Auliya’. “Akan tetapi, engkau tidak bisa menyalahkanku kalau aku berhati-hati dengan anakmu. Semua orang tahu perilaku abnormalnya. Ia berpakaian seperti seorang pengemis. Ia pasti sudah lama tidak mandi dan ia pun hidup bersama hewan-hewan dan menjauhi orang banyak. Tolong katakan kawan, jika engkau punya anak perempuan dan engkau berada dalam posisiku, akankah engkau memberikan anak perempuanmu kepada anakku?”

Ayah Nufus tak dapat membantah. Apa yang bisa dikatakannya? Padahal, dulu anaknya adalah teladan utama bagi kawan-kawan sebayanya? Dahulu Nufus adalah anak yang paling cerdas dan berbakat di seantero Andalusia? Tentu saja, tidak ada yang dapat dikatakannya. Bahkan, sang ayahnya sendiri susah untuk mempercayainya. Sudah lama orang tidak mendengar ucapan bermakna dari Nufus. “Aku tidak akan diam berpangku tangan dan melihat anakku menghancurkan dirinya sendiri,” pikirnya. “Aku harus melakukan sesuatu.”

Ketika ayah Nufus kembali pulang, ia menjemput anaknya. Ia memutuskan agar Nufus dikirim ke Maqom Syaikh Andalusia dengan harapan bahwa Allah akan merahmatinya dan membebaskannya dari cinta yang menghancurkan ini. Di Andalus ini, untuk menyenangkan ayahnya, Nufus bersujud di depan altar Maqom, tetapi apa yang ia mohonkan? “Wahai Yang Maha Pengasih, Raja Diraja Para Pecinta, Engkau yang menganugerahkan cinta, aku hanya mohon kepada-Mu satu hal saja, tinggikanlah cintaku sedemikian rupa sehingga, sekalipun aku binasa, cintaku dan kekasihku tetap hidup.”

Ayahnya kemudian tahu bahwa tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk anaknya. Usai menunaikan doanya itu, Nufus yang tidak mau lagi bergaul dengan orang banyak di desanya, pergi ke pegunungan tanpa memberitahu di mana ia berada. Ia tidak kembali ke asramanya. Alih-alih sifatnya yang berubah drastis, rasa kasih sayang pun berubah menjadi kepedihan.

Suatu hari, murid baru di pesantren melewati reruntuhan bangunan dan melihat ada sesosok aneh yang duduk di salah sebuah tembok yang hancur. Seorang liar dengan rambut panjang hingga ke bahu, panjang dan acak-acakan, bajunya compang-camping dan kumal. Ketika sang murid mengucapkan salam dan tidak beroleh jawaban, ia mendekatinya. Ia melihat ada seekor serigala tidur di kakinya. “Hus,” katanya, “Jangan bangunkan sahabatku.” Kemudian, ia mengedarkan pandangan ke arah kejauhan.

Sang murid pun duduk di situ dengan tenang. Ia menunggu dan ingin tahu apa yang akan terjadi. Akhimya, orang liar itu berbicara. Segera saja ia pun tahu bahwa ini adalah Nufus yang terkenal itu, yang berbagai macam perilaku anehnya dibicarakan orang di seluruh jazirah Andalusia. Tampaknya, Nufus tidak kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan dengan binatang-binatang buas dan liar. Dalam kenyataannya, ia sudah menyesuaikan diri dengan sangat baik sehingga lumrah-lumrah saja melihat dirinya sebagai bagian dari kehidupan liar dan buas itu.

Berbagai macam binatang tertarik kepadanya, karena secara naluri mengetahui bahwa Nufus tidak akan mencelakakan mereka. Bahkan, binatang-binatang buas seperti serigala sekalipun percaya pada kebaikan dan kasih sayang Nufus. Sang murid itu mendengarkan Majnun (Nufus) melantunkan berbagai kidung pujiannya pada Auliya’. Mereka berbagi sepotong roti yang diberikan olehnya.

Kemudian, sang murid itu pergi dan melanjutkan petjalanannya. Ketika tiba di asrama Nufus, ia menuturkan kisahnya pada orang-orang. Akhimya, sang kepala suku (Bahrul Ulum) mendengar berita itu. Ia mengundang sang murid ke rumahnya dan meminta keterangan rinci darinya. Merasa sangat gembira dan bahagia bahwa Nufus  masih hidup.

Ayah Nufus pergi ke Bahrul Ulum untuk menjemputnya. Ketika melihat reruntuhan bangunan yang dilukiskan oleh sang murid itu, ayah Nufus dicekam oleh emosi dan kesedihan yang luar biasa. Betapa tidak! Anaknya terjerembab dalam keadaan mengenaskan seperti ini.

“Ya Tuhanku, aku mohon agar Engkau menyelamatkan anakku dan mengembalikannya ke keluarga kami,” jerit sang ayah menyayat hati. Nufus mendengar doa ayahnya dan segera keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan bersimpuh di bawah kaki ayahnya, ia pun menangis, “Wahai Ayah, ampunilah aku atas segala kepedihan yang kutimbulkan pada dirimu. Tolong lupakan bahwa engkau pernah mempunyai seorang anak, sebab ini akan meringankan beban kesedihan Ayah. Ini sudah nasibku mencinta, dan hidup hanya untuk mencinta.” Ayah dan anak pun saling berpelukan dan menangis. Inilah pertemuan terakhir mereka.

Keluarga Auliya’ menyalahkan ayah Auliya’ lantaran salah dan gagal menangani situasi putrinya. Mereka yakin bahwa peristiwa itu telah mempermalukan seluruh keluarga, karenanya orangtua Auliya’ memingitnya dalam kamarnya. Beberapa sahabat Auliya’ diizinkan untuk mengunjunginya, tetapi ia tidak ingin ditemani. Ia berpaling ke dalam hatinya, memelihara api cinta yang membakar dalam kalbunya.

Untuk mengungkapkan segenap perasaannya yang terdalam, ia menulis dan menggubah syair kepada kekasihnya pada potongan-potongan kertas kecil. Kemudian, ketika ia diperbolehkan menyendiri di taman, ia pun menerbangkan potongan-potongan kertas kecil ini dalam embusan angin. Orang-orang yang menemukan syair-syair dalam potongan-potongan kertas kecil itu membawanya kepada Nufus. Dengan cara demikian, dua kekasih itu masih bisa menjalin hubungan. Karena Nufus sangat terkenal di seluruh negeri, banyak orang datang mengunjunginya.

Namun, mereka hanya berkunjung sebentar saja, karena mereka tahu bahwa Majnun tidak kuat lama dikunjungi banyak orang. Mereka mendengarkannya melantunkan syair-syair indah. Sebagian orang merasa iba kepadanya, sebagian lagi hanya sekadar ingin tahu tentang

kisahnya. Akan tetapi, setiap orang mampu merasakan kedalaman cinta dan kasih sayangnya kepada semua makhluk. Salah seorang dari pengunjung itu adalah seorang ksatria gagah berani bernama ‘Amar, yang berjumpa dengan Nufus dalam perjalanannya menuju Andalusia. Meskipun ia sudah mendengar kisah cinta yang sangat terkenal itu di kotanya, ia ingin sekali mendengarnya dari mulut Nufus sendiri.

Auliya’ semakin merana dalam penjara kamarnya sendiri. Satu-satunya yang bisa ia nikmati adalah berjalan-jalan di taman bunganya. Suatu hari, dalam perjalanannya menuju taman, Irsyad, anak seorang Syaikh, bangsawan kaya dan berkuasa, melihat Auliya’ dan serta-merta jatuh cinta kepadanya. Tanpa menunda-nunda lagi, ia segera mencari ayah Auliya’. Merasa lelah dan sedih hati karena peristiwa Nufus itu, ayah Auliya’ pun menyetujui perjodohan itu.

Tentu saja, Auliya’ menolak keras. Ia mengatakan kepada ayahnya, “Aku lebih senang pindah ketimbang kawin dengan orang itu.” Akan tetapi, tangisan dan permohonannya tidak digubris. Lantas ia mendatangi ibunya, tetapi sama saja keadaannya. Hingga suatu saat Auliya’ pindah ke suatu tempat, dengan tujuan agar selamat dari bangsawan tersebut. Namun semua hanya sia-sia. Meski lama ia sembunyi, namun tetap saja orangtuanya bersikukuh dan menerima perjodohan itu.

Perjodohan itu pun berlangsung dalam waktu singkat. Orangtua Auliya’ merasa lega bahwa seluruh cobaan berat akhirnya berakhir juga. Akan tetapi, Auliya’ menegaskan kepada calon suaminya bahwa ia tidak pernah bisa mencintainya. “Aku tidak akan pernah menjadi seorang istri,” katanya. “Karena itu, jangan membuang buang waktumu. Carilah seorang istri yang lain. Aku yakin, masih ada banyak wanita yang bisa membuatmu bahagia.”

Sekalipun mendengar kata-kata dingin ini, Irsyad percaya bahwa, sesudah hidup bersamanya beberapa waktu lamanya, pada akhirnya Auliya’ pasti akan menerimanya. Ia tidak mau memaksa Auliya’, melainkan menunggunya untuk datang kepadanya.

Ketika kabar tentang perjodohan Auliya’ terdengar oleh Nufus, ia menangis dan meratap selama berhari-hari. Ia melantunkan lagu-lagu yang demikian menyayat hati dan mengharu biru kalbu sehingga semua orang yang mendengarnya pun ikut menangis. Nufus kecewa dan mengatakan bahwa “Auliya’ tidak setia, Auliya’ kamu berbohong”.

اَيُّهَا القَلبِ عش خاليا ودع عنك محبة كل من لا وفأءله

ندمت على ما كان منى ندامة

كما يندمو المغبون حين يبيع

فوؤادى بين اضلاعى غريب

ينادى من يحب فلا يحيب

مناي دعينى فالهوى متعلقا

فقد متى الا اننى لم ازر قبرى

عليك سلام الله ياغية المنى

وقاتتى حتى القيامة والحشر

Duhai hatiku, hiduplah menyepi, tinggalkan mencintai orang yang tak setia

Aku menyesali apa yang telah terjadi

Bagai penyesalan orang yang tertipu saat menjual

Hatiku tiba-tiba jadi asing meski bersemayam dalam diri

Ia memanggil manggil Kekasihnya, namun tak ada jawaban

Duhai harapanku, biarkan aku bergantung pada cinta ini

Meski aku sudah mati, diriku belum menziarahi kuburku

Semoga Allah memberimu kedamaian, Duhai harapanku satu satunya

Dan yang akan membunuhku kelak hari kiamat dan mahsyar

Derita dan kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang yang berkumpul di sekelilingnya pun turut bersedih dan menangis. Namun, kesedihannya ini tak berlangsung lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan kedamaian dan ketenangan batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi apa-apa, ia pun terus tinggal di reruntuhan itu. Perasaannya kepada Auliya’ tidak berubah dan malah menjadi semakin lebih dalam lagi.

Dengan penuh ketulusan, Nufus menyampaikan ucapan selamat kepada Auliya’ atas perjodohannya: “Semoga kalian berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku hanya meminta satu hal sebagai tanda cintamu, janganlah engkau lupakan namaku, sekalipun engkau telah memilih orang lain sebagai pendampingmu. Janganlah pernah lupa bahwa ada seseorang yang, meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan memanggil-manggil namamu, Auliya’”.

Sebagai jawabannya, Auliya’ mengirimkan sebuah anting-anting sebagai tanda pengabdian tradisional. Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan, “Dalam hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku demikian lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapa pun. Engkau memaklumkan cintamu ke seluruh dunia, sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkau membakar segala sesuatu yang ada di sekelilingmu. Kini, aku harus menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi milik orang lain. Katakan kepadaku, Kasih, mana di antara kita yang lebih dimabuk cinta, engkau ataukah aku?.

هذه الرسالة مني

انا رهينة الدار وقعيداة البيت

اليك يا من حطم القيد وصار حرا فى السهولى والجبالى

انت شبيه عين ماء الخضر تألقا

Surat dari ku (Aliya’)

Seorang wanita yang terpenjara dan hanya bisa duduk di dalam rumahnya

Untukmu duhai kekasihku, apa kabarmu, Kekasih?

Bagaimana hari harimu? Dengan siapa Kau menjalani waktu di lembah dan gunung itu?

Bagaimana ia bisa memperhatikan kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannya hanyalah Nufus semata? Auliya’ sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup bertahan lama. Akhirnya, penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapa bulan pun menggerogoti kesehatannya. Ketika Auliya’ meregang nyawa dan sekarat, ia masih memikirkan Nufus. Ah, kalau saja ia bisa berjumpa dengannya sekali lagi untuk terakhir kalinya! Ia hanya membuka matanya untuk memandangi pintu kalau-kalau kekasihnya datang. Namun, ia sadar bahwa waktunya sudah habis dan ia akan pergi tanpa berhasil mengucapkan salam perpisahan kepada Nufus.

Pada suatu malam di musim dingin, dengan matanya tetap menatap pintu, ia pun meninggal dunia dengan tenang sambil bergumam, Nufus… Nufus… Nufus.

كيف انت تحتى اطباق الترى؟.

وكيف انت فى ظلمات القبر؟.

اذا غبت عني فشمائلك ملا روحي

واذا نايت عن بصرى فانت امام عين بصيرتى

ولئن رحلتفألمك فى النفس مقيم

Duhai jiwaku bagaimana keadaanmu di dalam tumpukan debu ini?

Bagaimana keadaanmu dalam kubur ini?

Meski aku tak lagi memandang wajahmu, tetapi seluruh jiwamu memenuhi ruhku

Meski engkau jauh di mata, diriku melihat dengan mata jiwaku di hati

Meski jiwamu telah pergi namun lukamu ada dalam jiwaku.

Kabar tentang kematian Auliya’ menyebar ke segala penjuru negeri dan, tak lama kemudian, berita kematiannya pun terdengar oleh Nufus. Mendengar kabar itu, ia pun jatuh pingsan di tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri selama beberapa hari. Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju desa Auliya’. Nyaris tidak sanggup berjalan lagi, ia menyeret tubuhnya di atas tanah. Nufus bergerak terus tanpa henti hingga tiba di kuburan Auliya’ di luar kota. Ia berkabung di kuburannya selama beberapa hari. Ketika tidak ditemukan cara lain untuk meringankan beban penderitaannya, perlahan-lahan ia meletakkan kepalanya di kuburan Auliya’ kekasihnya dan meninggal dunia dengan tenang. Jasad Nufus tetap berada di atas kuburan Auliya’ selama setahun. Ketika segenap sahabat dan kerabat menziarahi kuburannya, mereka menemukan sesosok jasad terbujur di atas kuburan Auliya’. Beberapa teman sekolahnya mengenali dan mengetahui bahwa itu adalah jasad Nufus yang masih segar seolah baru mati kemarin. Ia pun dikubur di samping Auliya’. Tubuh dua kekasih itu, yang kini bersatu dalam keabadian, kini bersatu kembali.

Konon, tak lama sesudah itu, ada seorang sufi bermimpi melihat Nufus hadir di hadapan Tuhan. Allah membelai Nufus dengan penuh kasih sayang dan mendudukkannya disisi-Nya. Lalu, Tuhan pun berkata kepada Nufus, “Tidakkah engkau malu memanggil-manggil-Ku dengan nama Auliya’, sesudah engkau meminum anggur Cinta-Ku?”

Sang Sufi pun bangun dalam keadaan gelisah. Jika Nufus diperlakukan dengan sangat baik dan penuh kasih oleh Allah, ia pun bertanya-tanya, lantas apa yang terjadi pada Auliya’ yang malang? Begitu pikiran ini terlintas dalam benaknya, Allah pun mengilhamkan jawaban kepadanya, “Kedudukan Auliya’ jauh lebih tinggi, sebab ia menyembunyikan segenap rahasia Cinta dalam dirinya sendiri.”

ان الحب الحقيقى بين بشر هو البداية لتعرف الى الله والشعور بمحبته وفيض عطأئه وكرمه

Sesungguhnya cinta yang tulus antara manusia adalah awal perjalanan menuju perkenalan kepada Tuhan, memasuki pengalaman men-Cintai-Nya dan limpahan anugerah kemurahan-Nya. (Ibnu al-Farabi).

Multi-Page

Tinggalkan Balasan