Nasionalisme Kaum Santri

1,245 kali dibaca

Selama ini, pesantren merupakan bagian dari bangsa Indonesia yang setia terhadap ideologi bangsa dan negara: Pancasila. Meskipun, barangkali, ada pesantren yang di luar pemahaman tersebut, namun secara umum pesantren merupakan lembaga pendidikan legal di bawah naungan Kementrerian Pendidikan dan Kebudayaan, ataupun Kementerian Agama. Oleh karena itu, tidak perlu disangsikan lagi bahwa santri merupakan bagian dari tonggak berdirinya suatu bangsa dan negara Indonesia.

Bukan tanpa alasan jika kemudian penulis mencoba mengangkat topik nasionalisme di lingkungan pesantren. Sebab, nasionalime terkadang perlu diuji secara nyata. Jangan hanya berkoar dengan jargon pronasionalisme, sementara teks Pancasila saja tidak hafal. Senyatanya, teks tidak terlalu urgen jika disandingkan dengan konteks. Tetapi, tidak mungkin terjadi implikasi kontekstual jika tidak ada tekstualnya. Harus terjadi kesinambungan teks dan konteks, sehingga menghasilkan ruh nasionalisme yang perfeksionis, sempurna.

Advertisements

Dulu, ketika penulis masih aktif di Pesantren Annuqayah, tidak pernah absen selalu mengadakan upacara bendera pada hari-hari nasional. Semisal hari Pendidikan Nasional, bahkan penulis pernah menjadi bagian dari perserta Paskibraka di kecamatan, bersama teman-teman santri lainnya saat peringatan HUT RI 17 Agustus.

Hal ini menunjukkan bahwa jiwa nasionalis masih terekam kuat di jiwa para santri. Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P-4) menjadi bagian tak terpisahkan ketika melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Meskipun, konteksnya pada saat itu masih perlu dipertanyakan, namun secara tekstual (dasar menuju kontekstual), menjadi asas yang meluruh dalam ruh kebangsaan (baca: nasionalisme).

Makna Nasionalisme

Nasionalisme adalah suatu sikap politik dari masyarakat suatu bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan dan wilayah, serta kesamaan cita-cita dan tujuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nasionalisme adalah paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Ketika seseorang tumbuh, berkembang, dan lahir dalam suatu wilayah, maka pada saat itu tumbuh di dalam jiwanya kesadaran untuk membela tanah air sebagai wujud dari cinta bangsa atau sikap nasionalisme.

Hubbul wathan (cinta tanah air) sebagimana didengungkan oleh KH Hasyim Asy’ari merupakan suatu kaidah dalam membangun rasa nasionalisme. Kesadaran dan komitmen untuk mempertahankan negara harus tumbuh dengan semangat jiwa kebangsaan. Berkorban demi membela bangsa dan negara, serta membangun jiwa patriotis agar bangsa dan negara, teguh dan kukuh dalan kesatuan dan persatuan.

Mengutip Ernest Renan, bahwa nasionalisme adalah suatu keinginan untuk bersatu dan bernegara. Dalam hal ini, nasionalisme merupakan sebuah keinginan besar untuk dapat mewujudkan persatuan dalam bernegara. Perwujudan persatuan dan kesatuan merupakan bagian terpenting dalam nasionalisme. Sebab, dalam realitasnya, nasionalisme harus dilakukan secara bersama-sama guna mewujudkan cita-cita nasionalisme itu sendiri. Keinginan untuk mencapai kesuksesan dalam meraih nilai luhur keteguhan dalam berbangsa dan bernegara.

L Stoddard mengatakan bahwa nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat, di mana mereka menyatakan rasa kebangsaan sebagai perasaan memiliki secara bersama di dalam suatu bangsa. Dalam kaidah nasionalisme, kebersamaan merupakan hal yang harus dipertahankan. Tanpa adanya kerja sama, bangsa dan negara akan rapuh dan mudah diinvasi oleh negara lain. Terlepas dari era kolonialis, bahwa kalau bangsa dan negara rapuh akan mudah terpedaya oleh intrik politik, baik politik ekonomi maupun politik lainnya.

Bentuk-bentuk Nasionalisme

Ada beberapa bentuk nasionalisme yang penting untuk dipahami oleh kita, bahkan oleh seorang santri. Bentuk nasionalisme ini memberikan pemahaman bahwa nasionalisme itu sendiri terbangun atas beberapa dasar dan prinsip. Pertama, nasionalisme kewarganegaraan atau disebut juga nasionalisme sipil. Yaitu bentuk nasionalisme di mana negara menjamin kebenaran politik bagi seluruh warga negara. Rakyat adalah pemeran utama dalam menciptakan tatanan kewarganegaraan, ataupun perwakilan politik atas nama rakyat.

Kedua, nasionalisme etnis, yaitu bentuk nasionalisme dimana negara memiliki kebenaran politik dari budaya asal atau etnis suatu masyarakat. Ketiga, nasionalisme romantik/organik/identitas, yaitu adanya negara yang menjamin kebenaran politik atas identitas warga negara secara romantis. Artinya, terjadi hubungan yang dinamis-reformis dan romantisme-aksiomatik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Keempat, nasionalisme budaya, yaitu bentuk nasionalisme budaya dimana negara memiliki kebenaran politik yang berasal dari budaya bersama dan bukan dari sifat keturunan, seperti ras, warna kulit, dan lainnya. Kelima, nasionalisme kenegaraan, yaitu bentuk nasionalisme di mana masyarakatnya memiliki perasaan nasionalistis yang kuat dan diberi keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Nasionalisme kenegaraan juga sering berhubungan dengan nasionalisme etnis. Keenam, nasionalisme agama, yaitu bentuk nasionalisme dimana negara memiliki legitimasi politik dari adanya persamaan dalam beragama.

Santri dan Nasionalisme

Sebagai seorang santri, memahami dan mengaplikasikan nasionalisme merupakan suatu keniscayaan. Karena, dalam syariat (Islam), nasionalisme adalah sebuah kewajiban. Tidak sedikit dalil dasar nasionalisme, baik berupa dalil aqli maupun dalil naqli. Itu artinya, bahwa sistem nasionalisme dan rasa memiliki terhadap bangsa dan negara adalah sebuah kewajiban. Membangun identitas individu agar menjadi warga negara yang hubbul wathan.

Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) al-Quran benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.” (QS. Al Qashash: 85).

Para mufassir dalam menafsirkan kata “ma’ad” (tempat kembali) terbagi menjadi beberapa pendapat. Ada yang menafsirkan kata “ma’ad” (tempat kembali) dengan Makkah, akhirat, kematian, dan hari kiamat. Namun, menurut Imam Fakhr Al-Din Al-Razi dalam tafsirnya Mafatih Al-Ghaib, pendapat yang lebih mendekati adalah pendapat yang menafsirkan dengan Makkah, tanah kelahiran Baginda Rasulullah.

Di dalam tafsir Syeh Ismail Haqqi, ayat (QS Al-Qashash:85) tersebut terdapat suatu petunjuk atau isyarat bahwa “cinta tanah air sebagian dari iman.” Rasulullah (dalam perjalanan hijrahnya menuju Madinah) banyak sekali menyebut kata; “tanah air, tanah air,” kemudian Allah mewujudkan permohonannya (dengan kembali ke Makkah)… Sahabat Umar RA berkata; “Jika bukan karena cinta tanah air, niscaya akan rusak negeri yang jelek (gersang), maka sebab cinta tanah airlah, dibangunlah negeri-negeri.” (Ismail Haqqi al-Hanafi, Ruhul Bayan, Beirut, Dar Al-Fikr, Juz 6, hal. 441-442).

Sebenarnya masih banyak dalil-dalil yang menyatakan hakikat kewajiban cinta tanah air (nasionalisme). Karena pada hakikatnya, nsionalisme merupakan akar tumbuh-kembangnya suatu negara ke arah yang lebih baik. Tanpa adanya karakter nasionalisme, maka suatu negara akan mengalami problematika ke tingkat nadir, jurang permasalahan dari segala aspek kehidupan.

Nasionalisme dan Anarkhi

Tidak jarang kita melihat, ada sekelompok orang yang mengatasnamakan nasionalisme, tapi bertindak radikal. Sepanjang perjalanan sejarah Rasulullah, tidak pernah ada tindakan Rasul dengan cara kasar atau anarkhis. Bahkan, Rasulullah rela menjadi korban “bullying” tanpa berbalik mem-bully, demi tegaknya dakwah Islam dengan cara santun. Tidak benar, tidak dibenarkan, dan tak ada pembenaran terhadap tindakan kasar, radikal, dan anarkhis.

Dalam kaidah nasionalisme, seseorang yang cinta tanah air (hubbul wathan) atau merasa memiliki terhadap suatu bangsa (sanse of belonging) harus memberikan rasa aman terhadap seluruh elemen bangsa. Tanpa memandang etnis, budaya, atau agama, semua adalah bagian dari bangsa itu sendiri (Indonesai). Tidak boleh ada ancaman dan apalagi bertindak verbalistik terhadap orang lain. Setiap persoalan harus diselesaikan secara damai (musyawarah).

Nasinalisme dalam Islam bukan hanya isapan jempol. Tetapi sungguh nyata dan memberikan ruang seluas-luasnya untuk memberikan yang terbaik dalam menegakkan rasa aman, cinta, dan rasa memiliki. Islam adalah agama toleran. Lakum dinukum waliyadin, (bagi kalian agama kalian, dan bagiku agamaku), merupakan dasar yang sangat jelas tentang kebebasan beragama. Dalam ranah kebebasan ini dipandang sebagai bagian dari perwujudan nasionalisme.

Maka, bukan nasionalisme namanya jika masih terjadi pertikaian, permusuhan, dan perseteruan antaranak bangsa, apa pun itu alasannya. Jadi, nasionalisme adalah rasa cinta tanah air yang diaplikasikan dengan cara memberikan kedamaian untuk semua elemen bangsa. Tidak terkecuali dari kalangan santri, mereka dapat berperan aktif dalam mewujudkan nasionalisme, membangun bangsa dan negara yang baldatun toyyibatun warobbun ghafur. Wallahu A’lam! 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan