Siap Makan Kawan Nasi?

3,028 kali dibaca

Tahun 2015 aku bertugas menjadi pengajar di sebuah sekolah baru di pulau terpencil wilayah Provinsi Aceh. Kebudayaan serta bahasa yang cukup berbeda bagiku yang seorang Jawa kerap membuatku mendapat masalah. Tidak sekali dua kali aku dibuat bingung lantaran pemakaian sebuah kata bahasa Indonesia yang ternyata memiliki makna cukup berbeda.

Suatu waktu aku bercakap-cakap dengan seorang anak kecil tetangga kontrakan. Aku kebingungan memahami ceritanya, “Semalam saat sekolah aku dimarahi ibu guru di rumah sekolah,” kata anak itu.

Advertisements

“Makanya, sekolah jangan malam-malam, anak cakep,” sahutku sambil menimpuk punggungnya.
Dia bingung menanggapi maksud ucapanku. Kukira dia dimarahi karena pergi ke sekolah malam hari. Ternyata, maksud kata semalam dari anak itu adalah kemarin. Dan sebab kemarahan gurunya adalah perkara lain. Orang-orang yang kukenal dari wilayah Sumatera Utara dan Aceh memakai kata semalam sebagai “kemarin”. Terang saja ini membuatku bingung.

Lain waktu temanku dari Medan sukses membuatku bingung.

“Ikut aku pigi ke pajak cari ikan,” dia memintaku dengan nada yang lebih terdengar sebagai sebuah perintah.
Walaupun suaranya terdengar jelas, namun aku perlu mengernyitkan dahi untuk memahami ucapannya yang sadis itu.

“Wah, mau mancing ya Bang?” tanyaku, antara bergurau dan bingung.

Temanku itu bingung pula memahami ucapanku, tapi kemudian berlalu tak menanggapinya. Kukira dia bercanda menggunakan kata pajak yang kudengar sebagai “bajak” untuk mengajakku memancing cari ikan. Belakangan baru kuketahui ternyata dia beli ikan di pasar. Pajak maksudnya adalah pasar.

Dan di awal-awal aku berada di pulau itu aku sempat apes. Kala itu aku baru sehari tinggal di rumah kontrakan seorang warga. Perutku sedang lapar-laparnya. Detik demi detik yang berlalu seolah lama sekali. Hingga akhirnya ibu asuhku datang menghampiri seraya melontar tanya.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan