Nasib Pengeluh

1,201 kali dibaca

Apa yang tidak dikeluhkannya? Semuanya? Iya, semuanya! Hampir tidak pernah tidak, sekalipun itu dengkurannya. Dengkurannya adalah keluhan itu sendiri. Mengeluh sudah menjadi jiwanya. Mengeluh telah menjadi darah yang sepertiga mengaliri seluruh pembuluh nadinya. Mengantar keluhan, hingga ke dalam kepala hingga menancap ke dalam otak. Lalu, dibawanya keluhan-keluhan tadi ke anggota tubuh mulai dari atas, mulai dari mata. Hingga, setiap apa pun yang dilihat akan dikeluhkannya. Tidak hanya yang tampak, yang tak kasat mata pun ia keluhkan. Darah “mengeluh” mengalir ke bawah, ke jantung untuk membuat debaran-debaran ketidaklegawaan, hingga hati yang seharusnya untuk merasakan, hanya ada sensitivitas “mengeluh”. Peka sekali. Tiada detik tersia, untuk melihat, mengucap, merasa, melakukan verbalisme memuaskan hasrat keluhannya.

Hiperbola? Terlalu mengada-ada? Mungkin. Tapi bagi Kang Nardi, melihat sahabatnya sesama buruh tebu dua puluh tahun lebih, makhluk bernama Suradi itu memang begitu lekat-eratnya dengan mengeluh.

Advertisements

“Aduh! Panas betul siang ini! Pekerjaan ini makin berat rasanya. Panasnya benar-benar menyiksa,” seperti biasa, Suradi terdengar mengeluh.

Kang Nardi yang sedang membersihkan rumput di sela-sela bibit tebu, sudah terbiasa mendengar keluhan itu. “Ketika panas mencari hujan. Diberikan dingin hujan, ingin dapatkan kemarau yang menghangatkan. Sur… Sur… maumu bagaimana?”

“Aku berbicara dengan diriku sendiri, kenapa kamu ikut campur?” Suradi merasa tersinggung.

“Maaf, maaf. Bukan begitu, Sur. Mulai kamu kecil, bujang, beristri, hingga sekarang kamu punya anak, masih saja aku dengar keluhan-keluhan keluar dari mulutmu.”

“Jangan sok bijak! Sok suci! Sok-sokan menasihati. Apakah kamu sendiri tidak mengeluh? Ha?!”

“Sudah pasti pernah, Sur. Tapi…,” belum selesai Kang Nardi melanjutkan, Suradi sudah memotongnya.

“Cukup! Jadi, bukan aku saja kan yang mengeluh. Kamu pun mengakuinya, Kang.”

“Mengeluh, sih, ya mengeluh. Tapi sewajarnya sajalah. Jangan berlebihan. Jadi orang itu harus ….”

Suradi sekali lagi sigap memotong, “Harus bisa bersabar dan pintar bersyukur, iya kan? Aku tahu ke mana arah bicaramu, Kang. Sabar, syukur. Syukur, sabar. Kita bukan nabi, jadi boleh mengeluh sambil misuh-misuh.

“Hush! Dalil mana yang membolehkan misuh, men-sunahkan mengeluh, atau mengumpat yang menjadi halalan thayyiban? Sabar dan syukur itu perintah Tuhan, Sur….”

“Halah! Sok alim kamu, Kang! Buktinya, kamu sendiri pernah mengeluh. Gini aja wes, Kang Nardi karena penyabar, silakan teruskan bersihkan rumputnya. Aku tak ngaso dulu. Jadi, terbukti kesabaran Kang Nardi.”

Suradi bergegas mencari perlindungan bayang-bayang pohon besar, untuk meneduhkan punggung dan kepalanya yang kepanasan, ditambah lagi panasnya pembicaraan dengan Kang Nardi.

Suradi mungkin menjadi deskripsi perwakilan manusia perindu. Merindukan kota saat tinggal di desa. Tapi, sudah di kota, rindu ingin kembali kepada kesahajaan desa. Seperti iklim, yang menurut Suradi harus bisa disetel sesuai kehendak dan kebutuhan manusia. Kemarau terik, rindu menanyakan kapan hujan. Ketika hujan, merindukan panas. Berdiam di rumah, rindu menginginkan pergi ke luar rumah. Sudah pergi, merindukan kembali kepada rumah. Ketenangan sudah dirasakan, maka dirindukannya keramaian. Ramai datang, merindukan kembali diam yang dianggap tenang.

Suradi, saat masa bujang mengeluh kapan bisa segera menikah. Sudah mendapat mempelai, merindukan “keliaran” masa lajang. Suradi beristri, tak cukup berkeluarga, ingin punya anak sebagai keturunan. Diberikan buah hati sebagai amanah, mengeluh tentang biaya hidup dan mahalnya pendidikan.

Suradi tak cukup alim dan arif dalam memahami tentang bahagia sebagai antonim mengeluh. Kesenangan bisa menjadi palsu, berandai-andai bahagia dengan kesemuan yang belum didapatkan. Memikirkan apa yang belum ada dan dimiliki, menjadi awal munculnya keluhan. Bahkan, memprediksi bisa tentram, jika suatu hal akan tercapai nanti. Nyata kesemuannya. Mengabaikan apa yang dimiliki sekarang, lalu menjadikannya pijakan dasar untuk mengeluh. Fana sekali.

Suradi iri. Iri kepada setiap yang ditakdirkan pada kehidupan orang-orang sekitarnya. Suradi, di bawah bayang-bayang pohon, tetap setia dengan komat-kamit keluhannya. Saking khusyuknya Suradi iktikaf kepada mengeluhnya, hingga tak sadar juragan penyewa tebu menghampirinya.

“Kenapa termenung, Sur?” tanya Wak Kaji.

“Ehhmm, ngaso, Wak. Panas. Panasnya bikin tenaga ekstra harus dikeluarkan,” terbata Suradi menjawab Wak Kaji, juragannya.

“Iya memang panas, ya, Sur. Tapi, jika kamu bisa berkompromi dengan panas, tentu kamu bisa mengatasinya, Sur.”

“Panas kok diajak kompromi, Wak.”

“Tentu bisa! Sederhana saja. Kamu ke sini untuk bekerja, yang jelas kerja untuk cari uang. Kalau kamu ingat tujuanmu, panas ini tentu bukan menjadi fokusmu.”

“Tapi, Wak….”

Segera Wak Kaji menutup dialognya, “Wesnggak ada tapi. Kamu dibayar karena kerjamu, bukan dibayar untuk mengeluhmu! Cepat, segera bergabung dengan Kang Nardi,” Wak Kaji memerintah dengan nada agak keras.

Suradi rupanya ciut nyali, segera ia bergabung dengan Kang Nardi, menyiangi rumput-rumput di sela rimbunnya bibit tebu yang sudah mulai dewasa.

Malam pun mendatangi manusia-manusia pekerja, setelah siang sebagai ujian menuntaskan kriteria deskripsi kerjanya masing-masing. Suradi tampak di pos jaga dengan beberapa teman melepaskan penat dengan ngopi dan main kartu remi.

“Enak benar ya Wak Kaji. Kita yang buruh, susah-susah berkeringat, eehh… dia juga yang makan banyak hasilnya. Nasib, nasib,” gerutuan keirian dimulai dari mulut Suradi.

“Ha-ha-ha, pengemis tidak akan iri pada orang kaya. Justru ia akan iri ketika melihat teman pengemisnya yang lebih sukses. La kamu, Sur, iri kok sama juragan?” Kang Mustopa menanggapi, sambil tetap asik dengan kartu di tangannya. Sinkronisasi yang tidak sinkron, telinga mendengarkan, otak dibagi menjadi dua tugas, memikirkan yang didengar, dan enjoy memikirkan kemenangan kartu remi yang dimainkan.

“Lo, ini fakta, Kang Mus. Coba pikir, kita berangkat pagi, Wak Kaji paling masih asik dengan selimut hangetnya yang bisa kentut. Seharusnya, kita yang bekerja keras lebih kaya dari dia.”

Kang Toha, lawan main kartu remi, menyeringai. “Kamu itu, Sur, Sur. Bicaramu sudah mengarah pada Tuhan yang tidak adil. Keluhan-keluhanmu berdemonstrasi dengan orasi-orasi ketidakterimaan terhadap takdir.”

Suradi malah tersenyum. “Kang, Kamu ngomongkan diri sendiri ya. Kang Toha sarjana agama, pinter, berpendidikan. Sekarang coba jadi apa? Petani. Cuma petani yang mengemis pada pupuk subsidi, petani yang diakali tengkulak, ha-ha-ha….”

“Apa kamu bilang, Sur! Yang jelas aku lebih bertitel daripada kamu. Kamu bisanya hanya menngeluh dan ngrasani selimut kentut-nya Wak Kaji,” emosi Kang Toha meluap.

“Titel boleh tinggi, tapi kasta pekerja sama! Buat apa titelmu, Kang? Umur 40 tahun saja belum dapat-dapat selimut yang bisa kentut. Ha-ha-ha….” Suradi memang pintar memancing emosi.

Suasana pos makin gaduh. Kang Toha dan Suradi mengumpat, mengeluarkan kata-kata “suci” yang menyenangkan emosi. Kang Mustopa dan Kang Surip mencoba melerainya. Ketika kegaduhan makin panas, dengan tensi darah dan temperatur suhu yang semakin meninggi, Wak Kaji tampak mendatangi Suradi dengan teman-temannya.

“Heh, ada apa ini, kok ramai sekali? Sudah tua-tua kok nggak nyebut?!” Wak Kaji meneriaki mereka berempat.

“O… Wak Kaji, ini loh. Suradi dan Kang Toha, kalah main remi terus gegeran,” Kang Mustopa menghindari ceramah panjang Wak Kaji, jika mengetahui dirinya sebagai bahan gunjingan.

“Ealah, gitu aja kok gegeran. Ini aku bawakan secerek kopi sama telo goreng anget buatan selimutku yang bisa kentut,” Wak Kaji menyodorkan cerek berisi kopi dan kresek hitam ke arah mereka berempat. Empat orang itu nyengir, tampaknya Wak Kaji mengetahui perihal unfaedah yang digegerkan.

“Tidak perlu melongo gitu! Nggak usah dibahas juga. Aku ke mari ingin bercakap sebentar dengan Suradi,” Wak Kaji memulai ngobrolnya, seraya mengajak Suradi beringsut beberapa meter dari pos jaga.

“Ada apa, Wak?” tanya Suradi menyelidik.

“Aku dengar dari Kang Nardi, kamu ingin berhenti jadi pekerjaku. Betulkah itu, Sur?”

“Iya, Wak. Sudah lelah badan, ketika pulang hanya sakit tulang aku dapatkan. Aku ingin mandek dulu, Wak.”

“Bukan karena kamu merasa tidak puas dengan bayarannya?”

Suradi terkejut! Kang Nardi pasti yang bilang. “Ee…, anu Wak, bukan begitu maksudnya. Tapi, e-e-e….”

“Sur, Sur. Nggak usah takut. Aku tidak akan memecatmu. Memarahi pun aku tidak berani, karena itu hakmu untuk berpikir. Apalagi kamu sudah bekerja padaku sudah lebih dari lima belas tahun.”

“Sudah lama, tapi nasib baik dan uang banyak tetap milik Wak Kaji, bukan aku,” sindir Suradi.

“Ha-ha-ha. Sur, Sur… Kalau ada kompetisi mengeluh, aku yakin kamu juaranya. Tidak mengapalah, aku tidak melarangnya, itu hakmu juga sebagai manusia. Aku dengar juga, kamu ingin merenovasi rumah? Betulkah itu?”

Suradi tambah kecut. Pasti curhatannya kepada Kang Nardi dibocorkannya kepada Wak Kaji.

“Bukan itu saja Wak, istriku ingin beli sepeda motor metik, meski bekas. Anakku juga ingin hape seperti teman-temannya.”

“Wah, banyak sekali kebutuhanmu. Tapi, kenapa kamu kok malah minta ngaso?

“Badanku sakit semua, Wak. Tak kuat aku terus-terusan menjadi buruh. Jadi, gimana Wak? Bolehkah aku ngaso sebentar? Tidak berhenti kok.”

“Sudah aku bilang, kalau itu maumu tidak apa-apa. Tapi ada satu hal….”

“Apa, Wak?”

“Aku akan mengizinkanmu ngaso sebulan. Tapi, sebelumnya kamu kuberi tugas sebelum kamu ngaso.”

“Tugas?! Tugas apa itu Wak Kaji?”

“Lahan yang satu hektare itu, kamu garap ya. Kamu yang tanggung jawab. Kebutuhan pupuk, bibit, bayar buruh tandur, buruh tebang, ngangkut truk ke pabrik, semua kamu yang atur.”

Suradi mendengus kesal. Yang diharapkannya Wak Kaji memberinya pesangon, sebagai sangu untuk masa ngasonya. Eehh, tidak tahunya diserahi tugas yang sama dengan pekerjaannya dulu. Masa ngasonya harus terhenti tujuh bulan lagi, karena tugas baru dari Wak Kaji.

Demi ngaso yang diidamkan, Suradi menjalankan tugas Wak Kaji. Dengan malas, ia menanam dan merawat sendiri tebunya. Bertambahlah porsi mengeluhnya. Asal-asalan saja Suradi dengan tebu rawatannya. Hingga tampak kurus tebunya, hanya sebesar rumput gajah, kurang pupuk, enggan menyiangi rumput, apalagi ia diberi kewenangan berhak mengolah semaunya sendiri.

Suradi tidak belajar kepada titik-titik air hujan, yang bagaimana ia jatuh tanpa mengeluh sedikit pun pada takdir. Waktu yang terbuang percuma, dengan kemarahan dan mengeluh. Hati dan pikiran Suradi telah sempit. Enggan berterima kasih pada Tuhan yang memberinya kesempurnaan anggota badan, memberinya nikmat tenaga, dan tidak berusaha mengubah yang dikeluhkannya.

Suradi tidak juga menyadari pelajaran alamtakambang. Bahwa, hidup memang dibuat tidak mudah, karena untuk memisahkan mereka yang mau berupaya dan mereka yang hanya mengeluh. Bahwa, hidup tidak hanya untuk mengeluh, mengaduh, dan menuduh. Hidup adalah untuk mengolah kehidupan itu sendiri.

Suradi, kecewa pada kehidupannya. Mengeluh sebagai pelampiasannya, kehilangan semangat dan gairah untuk mengubah. Jika takdir tidak sesuai dengan harapan, kenyataan tidak sesuai keinginan, atau apa pun yang belum tergenggam, katakan saja “Itulah hidup!” Suradi beku. Belum mencair hingga memahami bahwa seorang yang mendapatkan mawar dengan tangan kosong, ia tak boleh mengelu bahwa duri telah menyakitinya.

Tujuh bulan berselang, tibalah masa panen tebu. Suradi menggerutu tapi tidak ambil peduli. Yang dipedulikannya masa ngaso yang diidamkan, bukan hasil panennya. Toh, Wak Kaji juga yang akan dapat uang panennya.

Begitu Wak Kaji datang untuk melihat hasil kerja Suradi, Wak Kaji tersenyum.

“Sur, hasil panennya lebih sedikit dari biasanya, ya? Tapi tidak mengapa. Kamu telah berusaha. Kamu tahu? Aku ingin menghargai waktu bekerjamu selama lima belas tahun ini. Kang Nardi menceritakan semua padaku, sebagai bentuk simpatinya, agar aku dapat membantumu. Makanya, aku niatkan hasil panen ini semua untukmu. Terimalah….”

Suradi terkejut. Berusaha tersenyum meski getir. Penyesalan memang di akhir. Jika ia tahu hasilnya akan diberikan semuanya, tentu ia akan lebih keras lagi bekerja. Andai… jika… kalau… menjadi kata-kata yang disiapkan untuk keluhan-keluhan berikutnya. Mengeluhnya semakin menjadi!

Multi-Page

One Reply to “Nasib Pengeluh”

Tinggalkan Balasan