Nasib Miring Ejaan Bahasa Madura

1,809 kali dibaca

Tulisan ini bermaksud untuk sedikit mengungkapkan perihal kondisi riil problematika dalam ejaan bahasa Madura. Beberapa hari lalu, saya sempat berkunjung ke kantor redaksi salah satu media pondok pesantren di Sumenep untuk sekadar ngopi dan bincang-bincang santai.

Setelah beberapa lama, saya melihat sebuah tulisan yang berhasil menggelitik perut saya,”…Ajher Towa Sakonik” (belajar dewasa sedikit). Begitu tulisan yang tertera di walpaper komputer kantor redaksi tersebut. Padahal yang benar ajar towa sakoné’. Terkekeh setengah terkejut saya setelah melihatnya. Pasalnya, di sana kantor redaksi, bukan warung makan atau pelabuhan atau mungkin kamar mandi umum, bukan juga warung kopi.

Advertisements

Sebanarnya tidak hanya di walpaper komputer kantor redaksi itu, tulisan-tulisan semacam itu juga sering saya jumpai di banner, pamflet, slogan, selembaran, dan lain semacamnya. Kerancuan ejaan bahasa Madura yang nongol di permukaan ini memang sudah menjadi hal lumrah yang dimanjakan. Meskipun salah, ya, it’s ok! Tidak peduli, yang penting pembaca mengerti.

Kita lihat, hanya segelintir orang yang tepat, baik, dan benar dalam menuliskan ejaan bahasa Madura. Itu pun hanya mereka-mereka yang suka menulis cerita-cerita atau puisi-puisi bahasa Madura yang kemudian akan dikirimkan ke media-media lokal. Selebihnya, menurut pengamatan saya, masih rancu dalam menuliskan ejaan bahasa Madura.

Suatu waktu saya sempat diam-diam meminta sebagian sahabat-sahabat untuk menulis satu dua kalimat menggunakan bahasa Madura. Dan hasilnya apa? Yah, salah semua. Mungkin mereka lupa perihal pelajaran bahasa daerah sewaktu sekolah di MI dan MTs.

Selain karena keminiman pengetahuan kebahasamaduraan (yang realitasnya selalu eksis menampakkan dirinya di kurikulum sekolah dasar dan menengah pertama), juga karena sebuah efesiensi, alias tidak ingin ribet berbelit-belit dan juga berdasarkan interpretasi individu terhadap ejaan, tidak terhadap pakem. Sehingga bahasa tulisan begitu saja disamakan dengan bahasa lisan, dan timbullah kerancuan dalam penulisan ejaan.

***

Sesuai dengan kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Madura adalah unsur dari kebudayaan nasional yang dilindungi oleh negara. Pada penjelasan UUD 1945 Bab XV Pasal 36 yang berbunyi: Bahasa di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri-sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik, misalnya bahasa Jawa, Sunda, dan Madura, bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara oleh Negara. Bagi masyarakat Madura, Bahasa Madura berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan masyarakat daerah, (2) lambang identitas masyarakat daerah, dan alat perhubungan dalam keluarga dan masyarakat daerah (Soegianto, 1981:1). Sedangkan hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai (1) pendukung bahasa nasional, (2) bahasa pengantar di sekolah, khusus di kelas rendah sekolah dasar, dan (3) alat pengembang serta pendukung kebudayaan nasional.

Di samping itu, pada tahun 1976 di Yogyakarta, bahasa Madura dideklarasikan sebagai salah satu bahasa daerah terbesar di Indonesia. Maka, kita sebagai masyarakatnya dalam melestarikan dan merawat kearifan lokal ini adalah sebuah keharusan sebagai empunya, baik dalam bahasa lisan maupun tulisan.

Bahasa Madura memang sedikit rumit. Sebagaimana bahasa Inggris, apa yang diucapkan bisa saja berbeda ketika ditulis. Sebabnya, demi mencegah terjadinya penulisan yang rancu, buku panduan yang dikenal dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) Bahasa Madura, oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Provinsi Jawa Timur beberapa tahun lalu resmi dirilis. Sebagai salah satu manifestasinya, pada kurikulum sekolah dasar dan menengah pertama, pelajaran bahasa Madura selalu tampil eksis. Karena memang seyogianya, bahasa Madura harus tetap dirawat dan dilestarikan agar tidak terkikis.

Namun meskipun demikian, popularitas bahasa Madura masih kalah bersaing dengan bahasa nasional, bahasa gaul, atau bahasa asing yang telanjur dianggap lebih dapat menaikkan prestise pemakainya. Bahasa daerah dianggapnya kuno dan ketinggalan zaman. Sehingga kekentalan lokalitas ejaan bahasa Madura mulai memudar tanpa adanya perhatian. Maka, tak ayal, jika belakangan ini penulisan bahasa Madura masih rentan mengalami kerancuan. Kesalahkaprahan dalam penulisan sering muncul ke permukaan. Bahasa tulisan masih saja disamakan dengan apa yang keluar dari lisan. Entah itu pada banner, sologan, pamflet, atau iklan. Seperti kasus Settong Dhere, Kartuna Reng Madure, Langgher Kesenian yang jelas-jelas sangat rancu dalam segi ejaan.

Kesalahkaprahan yang demikian saat ini memang sudah tidak lagi dipedulikan, dibiarkan, dimanjakan dan sudah menjadi sebuah keniscayaan. Padahal, Ejaan Bahasa Madura merupakan bahasa identitas yang mesti dirawat dan dilestarikan.

Masih banyak orang yang memang Madura asli atau luar Madura yang rancu dalam menuliskan ejaan bahasa Madura. Apa yang keluar dari lisan masih saja disamakan dengan bahasa tulisan. Padahal, tidak sama bukan? “Sama seperti bahasa inggris,” kata sahabat saya suatu waktu. Ya, betul.

Sependek pengamatan saya, setidaknya ada lima “warung kerancuan” yang disadari atau tidak sering ditongkrongi saat menuliskan ejaan bahasa Madura.

Pertama, biasanya terjadi saat ada huruf yang berakhiran tanda (‘) yang dalam bahasa Madura berfungsi sebagai “K” yang pengucapannya agak dalam. Seamsal, sakonik. Padahal yang benar adalah sakone(sedikit). Alek, padahal yang benar ale(adik). Nyeltek, padahal yang benar nyelte’ (menyentil). Petek, padahal yang benar pete’. Tadek, padahal yang benar tada’ (tiada). Beda dengan salak yang penulisannya tetap salak karena huruf “k” di bagian akhir tersebut pengucapannya agak keluar.

Kedua, untuk kata-kata yang berakhiran huruf vokal, biasanya sebaian besar gaya penuturan orang madura baik Madura asli atau luar Madura diberi tambahan huruf “h” yang kemudian menyusupi bahasa tulisannya. Semisal, mateh, sengkah, kancah, koccah, tarompah, kastah, dan lain seamsalnya. Padahal, yang benar baghairi “h” alias tanpa intervensi huruf “h”.

Ketiga, ketumpangtindihan dalam memilih huruf vokal “e” dan “a”. Semisal, bede beddena beddek  bedde bedde, padahal yaang benar; badha baddhana beddha’ beddha-beddha (ada sebuah wadah bedak yang bolong), bekna, bek en, ajer, padahal yang benar ba’na, ba’an, ajar (kamu, kamu, belajar). Seperti contoh lagi, yang banyak saya temukan, madure, padahal yang benar adalah madura.

Keempat, kecampuradukan antara “j” dan “c”. Masih banyak yang menuliskan cubek, padahal yang benar  jhuba’ (jelek/tidak baik). Antara “gh” dan “k”,  masih banyak yang menuliskan kengkuk, padahal yang benar ganggu’ (tidak ada aktivitas, sebabnya ingin melakukan sesuatu). Engki, padahal yang benar enggi (iya). Antara “p” dan “bh”, masih banyak yang menuliskan pelling, padahal yang benar bhelling (pecahan kaca), punten, padahal yang benar bhunten (enggak).

Kelima, kerancuan dalam penggunaan “dh”, “d” dan “t”. Semisal, dere, tulat atau settong dhere, padahal yang benar dara (burung merpati), dulat (syukurin), settong dhara (satu darah).

Dari sedikit paparan tentang problematika gramatikal ejaan bahasa Madura tersebut, dapat disimpulkan bahwa perlu adaya kesadaran, pemahaman, dan komitmen bersama untuk tetap melestarikan dengan melestarikan sebaik-baiknya serta sebenar-benarnya ejaan bahasa identitas orang Madura tersebut.

Meski tampak sepele, tidak ada pengaruhnya terhadap pemahaman pembaca, tentu tidak patut kiranya kesalahkaprahan ini kita biarkan. Diacuhkan tanpa adanya pembenahan. Jika tetap seperti itu, kita akan menciptakan “dosa kultural” atau “dosa warisan” yang akan sulit dicari akarnya karena ketiadaan sikap pro aktif dan respons kita dan juga pihak yang berwenang terhadap problem tersebut dari sekarang. Apalagi untuk pihak-pihak yang memang menggeluti dunia kebahasaan dan pers.

Proyek besar ini bisa dimulai dari hal kecil, jika semisal ada pamflet, selembaran, sepanduk atau mungkin banner yang menggunakan bahasa madura dan ejaannya salah, maka kita bisa menegur yang bersangkutan dengan lembut, mengajaknya ngopi sembari memberinya edukasi. Dengan lembut memintanya untuk menurunkan dan mengubah “yang salah tersebut”  agar kemudian tidak dianggap benar oleh yang belum tahu.

Lebih dari itu, kita juga bisa mengadakan pelatihan kepenulisan ejaan bahasa Madura dengan mendatangkan orang-orang yang memang pantas dan layak. Bisa juga dengan nenghadirkan buku-buku bacaan atau buku pedoman dan lain sebagainya. Bahkan, saya sangat menyarankan bahasa Madura ini dimasukkan dalam kurikulum, baik formal maupun nonformal. Pesantren, misalnya. Jika tidak? Ya, wallahu a’lam.

Annuqayah, November 2021.

Multi-Page

One Reply to “Nasib Miring Ejaan Bahasa Madura”

Tinggalkan Balasan