Napas Islam dalam Reog Ponorogo

1,066 kali dibaca

Beberapa hari yang lalu, viral di media sosial terkait sikap negara tetangga Malaysia yang ingin menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi Asia tenggara. Tentu ini menuai polemik yang beragam, tak terkecuali bagi masyarakat Indonesia yang bersikap kontra.

Tak berhenti di situ, Malaysia juga berniat untuk mengklaim budaya Reog Ponorogo ke UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda Malaysia. Sontak, hal ini bagai kelinci yang mencari masalah dengan singa, masyarakat Indonesia langsung bereaksi keras. Di mana semua masyarakat mafhum, baik Indonesia Timur, Tengah, dan Barat, bahwa Reog adalah budaya Indonesia, khususnya Ponorogo, Jawa Timur, yang sudah melekat dan dirawat secara turun temurun. Jika nama Reog disebut pasti yang terbesit adalah daerah Ponorogo.

Advertisements

Pemerintah pun merespons wacana hangat ini. Dilansir dari laman www.kemenkopmk.go.id, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI (Menko PMK) Muhadjir Efendy, mengatakan, Reog Ponorogo telah tercatat sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh Mendikbud RI pada 2013. Lebih lanjut, Menko PMK mengajak kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk turut mendukung Reog Ponorogo menjadi budaya tak benda di UNESCO.

Adapun, Kemendikburistek melalui Direktorat Perlindungan Kebudayaan telah mengajukan Reog Ponorogo sebagai Warisan Budaya Tak Benda ke Sekertariat ICH UNESCO pada 31 Maret 2022, beserta nominasi lainya, yaitu: tempe, jamu, tenun Indonesia, dan kolintang.

Akan tetapi yang paling penting, sejatinya bukanlah Malaysia yang harus kita soroti dan marahi, melainkan yang lebih penting bagaimana kita masyarakat Indonesia nguri-nguri budoyo (menghidupkan budaya) dengan semaksimal mungkin. Sehingga ketika wacana-wacana hangat klaim budaya sudah merembet ke arah geopolitik, kita tidak lugu atau sekadar mencaci di media sosial. Bahkan, jika disoal balik, kita memang benar-benar tahu dan mencintai budaya tersebut.

Termasuk, penting mencoba melihat nilai-nilai Islam atau religi dalam budaya-budaya bangsa Indonesia, salah satunya agar kita semakin mencintai dan memiliki kedekatan juga tanggung jawab moral.

Sejarah Reog

Menilik sejarah Reog Ponorogo, maka ada beberapa cerita populer yang berkembang di tengah masyarakat. Namun, dalam penelitian yang dilakukan oleh Alfiati, disebutkan bahwa Reog Ponorogo diperkirakan tercipta sekitar awal abad ke-12.

Reog Ponorogo sendiri adalah sebuah kebudayaan yang memadukan antara seni topeng, seni teater, seni musik, dan seni tari. Akan tetapi, dalam masa-masa awalnya, Reog Ponorogo tidak seepik seperti yang kita kenal hari ini, termasuk dalam alat-alat pengiringnya yang masih sederhana, bahkan dominasinya adalah pertunjukan dengan kekuatan magis yang kuat pada waktu itu.

Menurut Purwowijoyo, dalam Babad Ponorogo, Reog Ponorogo tercipta pada awal tahun 1200, di zaman Kerajaan Bantarangin (di bawah naungan Kerajaan Majapahit, era Bhre Kertabumi; Brawijaya V). Di mana, pada masa era tersebut ada seorang patih bernama Ki Ageng Kutu yang memberontak. Pemberontakanya dilatarbelakangi dari pengaruh istri raja yang berasal dari China (Ibu Raden Patah) begitu kuat (disinyalir tidak terima dengan kebebasan atau datanya penyebar agama baru: Islam), juga para pejabat di pemerintahan yang korupsinya semakin gila-gilaan dengan acuh terhadap keberlangsungan negara. Kekecewaanya berlanjut yang puncaknya dia pergi meninggalkan kerajaan dengan mendirikan padepokan yang mengajarkan ilmu-ilmu seni bela diri juga ilmu kekebalan.

Setelah padepokanya itu berjalan, Ki Ageng Kutu sadar bahwa pasukanya terlalu kecil jika ingin menggempur Majapahit. Untuk itu, Ki Ageng Kutu menyampaikan kritik politik yang sarkasme melalui pagelaran Reog sebagai bentuk perlawanan masyarakat lokal.

Seperti, topeng berbentuk kepala singa (singa barong) sebagai simbol Brawijaya V, yang di atas topeng ada bulu-bulu merak menyerupai kipas raksasa, yang menyimbolkan pengaruh kuat eksternal China yang ikut campur tangan dalam pemerintahan.

Kemudian ada jathilan (penunggang kuda) yang menyimbolkan pasukan kerajaan Majapahit. Sedangkan, warok (pria bertopeng hitam) menyimbolkan Ki Ageng Kutu dan pasukanya yang memiliki ilmu hitam yang mematikan. Singkatnya, eksisnya Reog terdengar oleh Brawijaya V, lantas Brawijaya V menggempur padepokan milik Ki Ageng Kutu. Alhasil, warok-warok (Ki Ageng Kutu dan pasukanya) dengan kekuatan ilmu hitam mematikan dapat dihentikan, dan padepokanya di tutup.

Pasca padepokanya di gempur oleh Brawijaya V, kesenian Reog tetap dipentaskan secara sembunyi-sembunyi oleh Ki Ageng Kutu dan para muridnya, namun dengan cerita yang digubah, yakni mengambil cerita lokal Ponorogo mengenai Kelono Sewandono (adipati di Ponorogo) yang berniat melamar putri dari kerajaan Kediri. Akan tetapi di tengah perjalanan dicegat oleh Raja Singa Barong dari Kediri yang dikawal oleh merak dan singa, sedangkan Kelono Sewandono dikawal oleh warok, maka pecahlah pertempuran di antara kedua belah pihak.

Budaya Reog terus eksis sampai era Majapahit ditutup, dilanjutkan hingga era Demak. Pada waktu itu Raden Fatah (keturunan Brawijaya V dengan Putri China yang tidak disukai Ki Ageng Kutu; pembuat Reog) memerintahkan punggawanya bernama Raden Katong untuk pergi ke daerah di antara Gunung Lawu dan Gunung Wilis. Kemudian, Raden Kalong bersama 40 pengikutnya membabat alas daerah tersebut, dan Raden Kalong diangkat menjadi penguasa daerah tersebut yang diberi nama Pramanaraga, yang berarti sumber cahaya dari matahari, bulan, dan bumi yang menyinari kehidupan manusia.

Ki Ageng Kutu, yang padepokanya masih satu daerah tidak terima melihat Pramanaraga semakin berkembang, dan tidak mau tunduk dibawah kekuasaan Demak Bintoro. Singkatnya, Ki Ageng Kutu beserta pasukanya yang memiliki kekuatan hitam menyerang pusat Pramanaraga, namun pertempuran dimenangkan oleh Raden Katong. Adapun budaya Reog selanjutnya tetap dirawat oleh Raden Katong.

Nilai Islam dalam Reog

Membaca sejarah dari Reog Ponorogo, maka pada dasarnya tidak ada kaitanya dengan ajaran Islam. Hal ini ditegaskan dalam beberapa hal. Pertama, konsep Reog awalnya bisa dibilang sebuah kritik masyarakat lokal kepada raja Majapahit. Kedua, pembentukan dan konsepsi pagelaranya berlandaskan nilai-nilai Hindhu (kepercayaan Ki Ageng Kutu; kepercayaan era itu). Ketiga, lekat dengan hal-hal ghaib, mistis, dan ilmu hitam, mengingat Ki Ageng Kutu adalah salah satu patih yang sakti, dengan niat menggempur Majapahit. Keempat, meminta kekuatan, izin, dan petunjuk dari roh-roh leluhur dan tempat-tempat keramat.

Akan tetapi tatkala era Raden Katong, mulailah terjadi akulturasi budaya, dengan dalih menghilangkan nilai-nilai buruk yang ada dalam Reog guna dimanfaatkan untuk sarana dakwah dan pertujukan. Yang mana nilai-nilai tersebut terjaga hingga hari ini. Contoh konkritnya: menggunakan doa-doa yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, sekalipun dikemas dengan bahasa Jawa. Ada juga sesajen yang hakikat awalnya sebagai bentuk sesembahan kepada leluhur, hari ini hanya menjadi sebuah ‘penghormatan’.

Nilai-nilai Islam yang dapat ditilik sejatinya berada pada makna-makna tersirat, filosofi-filosofi di belakang pementasan Reog Ponorogo. Termasuk, sarana pengiringnya, seperti kendang yang menjadi rem dari amaran, nafsu, juga hasrat dari para tokoh di Reog, agar tidak kebablasan, makna tersiratnya adalah konsep nafsu, pelajaran menahan amarah, bagaimana menjaga dan membedakan nafsu amarah, lauwamah, dan mutmainah.

Konsep warok yang termodifikasi menjadi ‘wirai’, tidak gampang terpancing huru-hara, dan menjadi sosok yang berhati-hati. Reog sendiri tersirat filosofi riyoqun, yang memiliki arti akhir yang baik (khusnul khotimah), yang jika dirunut memiliki visi siapapun kita, apapun kita, maka tidak boleh semena-mena, karenan kita yang akan dimintai pertanggung jawaban.

Hari ini, sependek pengetahuan penulis, pegiat maupun budayaan seni Reog Ponorogo adalah masyarakt muslim Ponorogo, yang artinya Reog sudah memiliki napas Islam dengan visi kemaslahatan. Tokoh-tokoh budayawan Reog adalah pribadi muslim yang bersahaja, tidak memiliki nafsu maupun dendam pribadi seperti Ki Ageng Kutu.

Gamelan pengiring Reog pun sudah dimodifikasi dalam bentuk laras slendro, yang memiliki bilangan 1,2,3,4,5,6 dengan jumlah 17, yang tersirat bahwa perjalanan pementasan (perjelanan hidup) hakikatnya hanya 17 (jumlah rakaat sehari dalam salat).

Reog Ponorogo hari ini menjadi salah satu budaya Indonesia, Ponorogo secara khusus yang lekat dengan nilai-nilai Islam. Reog sendiri juga menjadi simbol kekuatan masyarakat lokal, simbol kearifan budaya bangsa ini yang terjaga dari beberapa tingkat generasi (dari Ki Ageng Kutu-Raden Kalong-Mataram Islam, hingga era ini).

Maka, sudah seharusnya kita lebih mencintai budaya-budaya bangsa ini, Reog salah satunya. Penting rasanya menjaga marwah seni Reog Ponorogo, minimal kita tahu dan memiliki tanggung jawab moral: ‘oh iya ini miliki kita, harus kita rawat, dan lestarikan’, agar tidak ada bangsa atau negara yang berani berbicara dengan lantang, bahwa mereka adalah pemilik budaya tersebut. Wallahu A’alm

Multi-Page

Tinggalkan Balasan