Musik Nusantara Bikin Bangga Jadi Indonesia

5,136 kali dibaca

Di tengah silang sengkarut perdebatan anak bangsa yang nyaris tanpa henti, aku menemukan kebersamaan dan persaudaraan yang menyenangkan di pagelaran Panggung Rakyat Pandora, Den Haag. Di sini semua orang bahagia dan gembira bersama. Mereka bebas berekspresi dan menuangkan perasaan rindu tanpa harus terganggu hiruk-pikuk atau dicurigai menjadi bagian yang pro atau kontra dari perdebatan yang sedang terjadi.

Rasanya belum lagi kering luka hati bangsa yang terbelah akibat Pilpres, kali ini bangsa (masyarakat) Indonesia disibukkan dengan perdebatan mengenai revisi UU KPK. Dan, seperti halnya perdebatan saat Pilpres, perdebatan kali ini juga sarat dengan tuduhan, caci maki, nyinyir, bahkan hoax. Dalam suasana seperti ini, siapa saja bebas bicara meski tanpa memahami duduk perkara. Bumbu agama juga digunakan untuk mempertajam perdebatan.

Advertisements

Jika sudah demikian, benar-salah dan baik-buruk kembali tersamar karena berbaur dalam retorika dan sama-sama terbungkus topeng suci. Yang muncul selanjutnya adalah garis pemisahkan antarkelompok yang pro dan kontra. Garis itu semakin tebal dan kuat karena dipupuk dengan prasangka dan kepentingan masing-masing pihak. Meski, tidak terlihat dan tidak berbentuk, namun garis itu ada dan nyata karena jelas terasakan.

Roadshow Ki Ageng Ganjur ke Belanda dan Aljazair kali ini menjadi semacam jeda waktu (pause time) bagi kami menikmati hiruk-pikuk perdebatan. Di Belanda, kami menemukan wajah-wajah ceria warga Indonesia. Ini terjadi karena mereka tidak terjebak dalam perdebatan yang membuat mereka tersekat. Musik dan budaya Nusantara telah menyatukan mereka dalam satu rasa gembira secara bersama-sama.

Kami tidak tahu harus bersyukur ketika terlepas dari arus perdebatan yang kelihatannya tidak menyediakan ruang tengah sebagai titik temu itu. Kami juga tidak tahu apakah kami harus meratap karena tidak ikut dalam perdebatan yang sepertinya sangat penting ini, karena  menentukan masa depan dan nasib bangsa.

Tapi yang jelas di tempat ini, kami merasa bangga menjadi warga bangsa Indonesia. Lebih-lebih ketika kami bethasil menyuguhkan pertunjukan yang bisa menarik perhatian bangsa lain dan membuat mereka terpesona pada Indonesia. Di pasar malam Pandora, kami tidak saja membawakan lagu-lagu klasik tradisional yang diramu dengan komposisi jaz dan rok kontemporer, dengan iringan gamelan, tapi juga menampilkan lagu-lagu dangdut yang khas Indonesia.

Yang menarik, tidak hanya warga Indonesia yang larut dalam irama dangdut. Para bule juga ikut bergoyang dalam alunan dangdut. Malam itu kami merasa bangga dan tersanjung ketika berhasil menunjukkan pagelaran musik yang bisa menarik warga Eropa. Mereka tertegun ketika Ganjur membawakan lagu Es Lilin dan Caping Gunung dengan sentuhan jaz dan blues. Dan menjadi lebih antusias ketika membawakan What’s up dari Blondes dan Imagine-nya John Lennon dengan nuansa sunda. Penonton berdecak ketika di tengah lagu tersebut kang Jimbot demo kendang Sunda yang ngejamp dengan piano klasiknya mas Iyan Ganjur.

Saat membawakan lagu medley Nusantara yang merangkum lagu-lagu daerah dari Sabang sampai Merauke, penonton tidak hanya semangat mengikuti lagu, tapi banyak di antara mereka yang terharu karena tersentuh hatinya dengan lagu-lagu tersebut. Selama dua kali penampilan Ki Ageng Ganjur di panggung utama Pandora Ganjur, penonton terus berjoget, bernyanyi, dan bergembira bersama sambil meneriakkan cinta Indonesia.

Selain bangga, kami juga sangat terkesan dengan apresiasi dan respons penonton. Mereka datang benar-benar hanya ingin menikmati pertunjukan. Tak ada kegaduhan apalagi tawuran seperti penonton di Indonesia. Padahal, suasana gedung pertunjukan sangat padat oleh penonton yang berjoget.

Yang lebih menarik adalah soal keamanan. Dua orang musisi santri ini HP-nya terjatuh saat menuju panggung dan tas saya ketinggalan di panggung. Dan semua ini baru disadari saat kami berada di ruang transit artis menunggu jemputan. Dengan rasa panik, kami segera lapor panitia, apalagi dalam tas yang tertinggal itu ada paspor. Tidak sampai satu jam panitia melakukan penelusuran, semua barang-barang itu diketemukan dan kembali utuh. Saya tidak bisa membyangkan kalau hal ini terjadi di Indonesia.

Setelah pertunjukan, kami merasa lega. Meski kami tidak ikut dalam perdebatan soal revisi UU KPK, tapi kami juga tetap berpartisipasi dalam menjaga keutuhan bangsa melalui cara yang lain. Melalui seni bidaya kami telah berusaha membangun kesadaran warga Indonesia untuk tetap bangga menjadi Indonesia, meski hanya sebatas mengumandangkan musik Nusantara di manca negara.*

Multi-Page

Tinggalkan Balasan