SEBAGAI MANUSIA yang hidup di tengah semesta nan luas dengan penghuni yang sudah dapat didefinisikan ataupun yang belum, masyarakat di negara bernama Indonesia masih memiliki standar dari apa yang disebut dengan “normal”. Standarisasi kondisi fisik dan mental makhluk hidup (dalam hal ini; manusia) sudah menjadi hal yang lumrah terjadi. Kemudian, standarisasi ini menjadi tolok ukur untuk membuat perundang-undangan baru bagi kaum yang dianggap tidak memenuhi kriteria standar tersebut.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas berisikan jaminan hak setiap penyandang kondisi disabilitas mempunyai kedudukan hukum dan hak asasi yang sama, untuk hidup maju dan berkembang secara adil dan bermartabat.
Walaupun demikian, penyandang disabilitas khususnya di Indonesia, masih mengalami diskriminasi dan dianggap merepotkan. Kondisi seorang disable berdampak pada kemampuan mereka untuk berpartisipasi di tengah khalayak. Sedangkan, harusnya kondisi fisik atau mental seorang manusia tidak menjadi sebab-akibat yang memengaruhi hak hidup dan hak mempertahankan kehidupannya.
Demi memperjuangkan kesetaraan hak bagi setiap manusia untuk melakukan kegiatan manusia seperti pada umumnya, terciptalah buku “Fiqih Disabilitas”. Buku ini merupakan hasil dari pemikiran dari banyak pertemuan, penelitian yang dilakukan secara mendetil, dan kesadaran hati nurani untuk memandang manusia dengan kondisi apa pun tetap sebagai manusia. Dimulai dengan penelitian lapangan yang terfokus pada penggalian permasalahan penyandang disabilitas dalam menjalankan ibadahnya (dalam konteks ini; Islam) serta menjalankan kehidupan sehari-harinya.
Fokus Bahasan
Penelitian secara terfokus memperoleh berbagai permasalahan yang nantinya akan diinisiasikan penanggulangannya. Seperti akses menuju tempat ibadah yang tidak ramah kepada orang-orang disable, dan sampai ketidaktahuan mereka terhadap beberapa hukum perihal sah tidaknya ibadah yang mereka jalankan.
Atau pun seperti pada pergaulan di lingkungan sekitar mereka, para penyandang disabilitas mengalami perlakuan yang kurang adil. Dimulai dari kegiatan seperti jual-beli hingga mendapatkan pekerjaan yang layak. Fasilitas umum juga masih dianggap menyulitkan untuk diakses bagi kaum disable. Bahkan, hal berbau tradisi dan seremonial seperti pernikahan, masih belum bersahabat bagi penyandang kondisi ini. Banyak yang mempertanyakan keabsahan nikah, terutama bagi yang tidak bisa mengucapkan akad, atau penyandang disabilitas yang tidak punya tangan dan menggunakan kaki untuk melakukan prosesi ijab qabul.