Fiqih Disabilitas, Memanusiakan Manusia

7,950 kali dibaca

SEBAGAI MANUSIA yang hidup di tengah semesta nan luas dengan penghuni yang sudah dapat didefinisikan ataupun yang belum, masyarakat di negara bernama Indonesia masih memiliki standar dari apa yang disebut dengan “normal”. Standarisasi kondisi fisik dan mental makhluk hidup (dalam hal ini; manusia) sudah menjadi hal yang lumrah terjadi. Kemudian, standarisasi ini menjadi tolok ukur untuk membuat perundang-undangan baru bagi kaum yang dianggap tidak memenuhi kriteria standar tersebut.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas berisikan jaminan hak setiap penyandang kondisi disabilitas mempunyai kedudukan hukum dan hak asasi yang sama, untuk hidup maju dan berkembang secara adil dan bermartabat.

Advertisements

Walaupun demikian, penyandang disabilitas khususnya di Indonesia, masih mengalami diskriminasi dan dianggap merepotkan. Kondisi seorang disable berdampak pada kemampuan mereka untuk berpartisipasi di tengah khalayak. Sedangkan, harusnya kondisi fisik atau mental seorang manusia tidak menjadi sebab-akibat yang memengaruhi hak hidup dan hak mempertahankan kehidupannya.

Demi memperjuangkan kesetaraan hak bagi setiap manusia untuk melakukan kegiatan manusia seperti pada umumnya, terciptalah buku “Fiqih Disabilitas”. Buku ini merupakan hasil dari pemikiran dari banyak pertemuan, penelitian yang dilakukan secara mendetil, dan kesadaran hati nurani untuk memandang manusia dengan kondisi apa pun tetap sebagai manusia. Dimulai dengan penelitian lapangan yang terfokus pada penggalian permasalahan penyandang disabilitas dalam menjalankan ibadahnya (dalam konteks ini; Islam) serta menjalankan kehidupan sehari-harinya.

Fokus Bahasan

Penelitian secara terfokus memperoleh berbagai permasalahan yang nantinya akan diinisiasikan penanggulangannya. Seperti akses menuju tempat ibadah yang tidak ramah kepada orang-orang disable, dan sampai ketidaktahuan mereka terhadap beberapa hukum perihal sah tidaknya ibadah yang mereka jalankan.

Atau pun seperti pada pergaulan di lingkungan sekitar mereka, para penyandang disabilitas mengalami perlakuan yang kurang adil. Dimulai dari kegiatan seperti jual-beli hingga mendapatkan pekerjaan yang layak. Fasilitas umum juga masih dianggap menyulitkan untuk diakses bagi kaum disable. Bahkan, hal berbau tradisi dan seremonial seperti pernikahan, masih belum bersahabat bagi penyandang kondisi ini. Banyak yang mempertanyakan keabsahan nikah, terutama bagi yang tidak bisa mengucapkan akad, atau penyandang disabilitas yang tidak punya tangan dan menggunakan kaki untuk melakukan prosesi ijab qabul.

Hasil dari penelitian terfokus dan survei yang dilakukan terbagi menjadi empat permasalahan, yakni aspek ubudiyah (ibadah), aspek muamalah (tata pergaulan), jinayah siyasah (kebijakan publik), serta ahwalul syahsiyah (pernikahan dan keluarga). Dengan dasar faktual dari FGD (Focus Group Discussion) inilah, para ulama dan kiai saling bertukar aspirasi untuk menjawab permasalahan tersebut yang kemudian menjadi agenda dalam kegiatan halaqoh fiqh disabilitas.

Paradigma karena Nama

Sejak kecil, seorang anak dididik oleh orangtuanya untuk menghafal nama-nama, dari nama-nama binatang, benda, dan juga sebutan sederhana bagi kedua orangtua, seperti “mama/papa” “ayah/bunda”. Seiring berjalannya waktu, kita sebagai manusia menjadi terbiasa mengasosiasikan sebuah tanda menjadi simbol untuk dimaknai. Hal demikian merupakan produk paten yang menjadi ajaran sebelum kita dapat lancar berbicara. Contohnya, dulu seorang anak dapat dengan mudah mengasosiasikan makhluk dengan gigi taring besar dan berbulu loreng hitam-jingga sebagai harimau. Kemudian, kemampuan kognitif itu berkembang, seorang anak dapat mengasosiasikan bangunan yang di atasnya terdapat tancapan bulan dan bintang sebagai masjid, tempat ibadah orang Islam.

Manusia terbiasa membedakan objek satu dengan lainnya dengan penamaan. Di dalam Al-Qur’an juga disebutkan bagaimana Tuhan Allah SWT meminta Adam yang dikenal dalam agama Islam sebagai manusia ciptaan Tuhan yang pertama, untuk menamakan apa-apa yang ada di semesta.

Masyarakat modern memberikan nama terhadap sesuatu didasarkan atas kesepakatan bersama yang sifatnya kolektif. Begitu pula yang terjadi dengan penggunaan istilah penyandang disabilitas. Sebelum abad ke 19, masyarakat menggunakan istilah affiction atau penderitaan. Istilah ini merupakan bentuk penarikan kesimpulan yang sifatnya asumtif dari masyarakat di luar kaum penyandang disabilitas, yang memandang bahwa kondisi yang mereka alami sebagai suatu keburukan. Istilah tersebut terlalu banyak menimbulkan stigma negatif, menganggap penyandang disabilitas sebagai korban, penderitaan, dan seakan seperti aib bagi mereka dan lingkungan tempat mereka tinggal.

Pada tahun 1976, WHO merampungkan panduan International Classification of Diseases, di mana disabilitas dianggap sebagai konsikuensi dari penyakit. Kemudian panduan tersebut mengkategorikan tiga istilah yang berbeda terkait disabilitas, yakni Impairment  hilangnya anggota tubuh secara fisik dan psikis; Disability: terbatasnya melakukan aktivitas pada umumnya; dan Handicap: ketidakberuntungan individu yang disebabkan karena kelemahan atau disabilitas yang membuat individu tak dapat melakukan peran sosial dalam masyarakat.

Akan tetapi, pandangan mendasar akan para penyandang kondisi disabilitas ini tetap berputar di pusaran yang negatif. Sebelum tahun 1990, Indonesia menyebut penyandang disabilitas sebagai “Penderita Cacat”. Sebutan ini didasarkan pada asusmsi umum bahwa menjadi seseorang dengan disabilitas merupakan sebuah kondisi yang kerap dianotasikan dengan penderitaan. Sehingga sebutan ini menuai banyak kritik dari aktivis gerakan disabilitas.

Di tahun 1997, Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan UU Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Di tahun tersebut juga diresmikan istilah “Penyandang Cacat”. Walau demikian, kata ‘cacat’ yang disandingkan dengan kata ‘penyandang dipandang lebih memperkuat stigma negatif yang sudah terlalu lekat pada masyarakat terhadap individu yang memiliki keterbatasan fisik dan mental.

Setelah berbagai perdebatan perihal terminologi dan kemungkinan-kemungkinan pemaknaan dari istilah tersebut, UU Nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Ratifikasi Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas menguatkan pemilihan kata ‘disabilitas’ sebagai istilah yang resmi dipakai dalam perbincangan.

Dengan persemian itu pula, istilah “Penyandang Disabilitas” menjadi istilah resmi yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia dalam dokumen resmi negara. Dua istilah “Penyandang Disabilitas” dan difabel (different able people, orang yang memiliki perbedaan kemampuan), banyak digunakan dalam percakapan dan tulisan yang akhirnya berkembang di masyarakat.

Paradigma memang sudah terlebih dahulu terbentuk, dan masih terbilang sulit untuk menghapus pandangan negatif terhadap siapapun yang memiliki keterbatasan fisik dan mental. Sesuatu yang harus dibenahi agar terciptanya kondisi yang adil bagi seluruh manusia yang memiliki kondisi seperti apapun adalah cara pandang.

Buku Fiqih Disabilitas memuat pemaparan perihal disabilitas, yang dalam konteks ini adalah penyandang disabilitas beragama Islam yang ada di Indonesia. Pembahasannya mencakup pandangan umum dan penafsiran lebih lanjut akan pandangan umum terhadap penyandang disabilitas, dan fokusnya juga menginklusikan bagaimana agama Islam menyediakan sarana ibadah dan tata cara ibadah yang sesuai bagi penyandang disabilitas.

Nilai-nilai yang sifatnya universal seperti al-musawa (kesetaraan/equality), al-adalah (kebebasan/freedom), dan lain sebagainya yang ada di Keputusan Muktamar NU ke-30 tahun 1999 di Kediri, Jawa Timur, menjadi landasan atas penghargaan dan perlindungan hak penyandang disabilitas. Islam memandang semua manusia adalah setara. Pembedanya hanya dilihat dari tingkat ketakwaan, tidak terkecuali bagi mereka yang memiliki kondisi berbeda dari manusia pada umumnya.

Hasil penjabaran yang didasari Al-Quran dan Hadits menunjukkan bahwa Islam menghargai hak-hak penyandang disabilitas dalam beribadah. Ketika timbul pertanyaan, saat ada penyandang disabilitas yang mengalami kesulitas untuk beristinja’ (bersuci dari buang air) agar tetap sah untuk beribadah, kitab fiqih menerangkan bahwa dia dapat bersuci dengan cara meminta bantuan dari pasangan halalnya. Atau apabila tidak ada orang yang berstatus demikian bagi individu terkait, cara apa pun yang mungkindibolehkan.

Poin-poin khusus dalam hidup bermasyarakat pada umumnya seperti konteks ekonomi, sosial, hak manusia secara hukum juga dimuat dengan pemaparan yang lengkap dan padat. Pengetahuan akan kondisi fisik dan mental ini masih kerap menjadi buah bibir semata. Dengan buku Fiqih Disabilitas, komunikasi atau pun interaksi sosial terhadap manusia yang bagaimanapun selalu berjalan tanpa tak ada satu pun pihak yang tergores atau dianggap disakiti. Kemanusiaan dapat dimaknai dari penerimaan pengetahuan tanpa praduga subjektif, yang nantinya dapat memberikan keadilan dan kedamaian bagi tiap-tiap manusia untuk hidup secara berdampingan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan