Mozaik Keilmuan Hauzah: Pesantren Versi Iran

2,872 kali dibaca

Awalnya, saya tahu nama “hauzah” setelah membaca buku berjudul Pesantren, Nalar dan Tradisi yang ditulis oleh Badrut Tamam (yang sekarang menjabat sebagai Bupati Pamekasan). Buku yang terbit sekitar enam tahun lalu itu kemudian membuka hasrat saya untuk sedikit mengulasnya kembali, termasuk perbandingannya dengan pesantren. Lebih-lebih, di akhir tulisan, Badrut Tamam bertanya kepada pembaca tentang apa yang bisa dicontoh dari hauzah?

Pesantren sejak dulu memang dikenal memiliki karakter tersendiri. Dengan ciri khasnya yang melekat, terlepas dari segala stigmasi dan pandangan orang luar, pesantren membuktikan eksistensinya mampu bertahan dan berkembang sampai sekarang. Bahkan, bisa dibilang sangat berhasil dalam menjadi pelopor pendidikan dan keilmuan di Indonesia.

Advertisements

Salah satu karakter yang paling lekat adalah sistem tradisional yang dianut. Meskipun, sekarang, bahkan jauh sebelum ini, tipologi pesantren sudah terbagi demikian beragam. Yakni, pesantren salaf dan pesantren modern atau perpaduan keduanya. Namun, patut diamini, sistem tradisional (sedikit banyak) masih tetap ada, sebagai fondasi untuk membangun dan mempertakan karakter awal pesantren.

Rupanya, lembaga pendidikan yang telah lahir sejak era Kapitayan tersebut tidak hanya eksis di Indonesia. Diskursus keilmuannya dan corak yang sama (setidaknya nyaris) juga diterapkan di Iran, salah satu negara dengan masyarakat yang secara kuantitas banyak menganut Syiah.

Hauzah, sistem pendidikan yang sudah sejak lama lahir di Iran, bahkan masih eksis dan terkualifikasi hingga kini. Sama halnya dengan pesantren, hauzah berhasil mencetak masyarakat menjadi pribadi yang maju dalam disiplin ilmu masing-masing. Sehingga, tak ayal, lulusannya banyak menjadi cendekiawan, tokoh agama, filosof, dan lain-lain.

Pendidikan yang satu ini rupanya memiliki pengaruh yang sangat besar. Kontribusinya dalam dunia keilmuan Iran bisa dikatakan persis dengan pesantren di Indonesia. Bukan hanya sebab sistemnya yang klasik dan berumur, disiplin keilmuan yang diangkat, mulanya, juga berfokus pada bidang ilmu agama.

Menilik pada sejarah berdirinya (historis), hauzah lahir sejak secara politis kaum Syiah mengalami kekalahan terhadap penguasa Islam tiran. Sebut saja pengkhianatan Muawiyah terhadap Ali (sebagaimana juga tertulis dalam kitab Tarikh Tasyri’). Selain itu juga, realitas lain adalah ketika Husain Ibn Ali yang dibantai oleh Yazid di padang Karbala.

Dalam buku yang sama ditulis, Syiah di bawah pimpinan Ahmad Muhajir kemudian berinisiatif untuk berhenti mengangkat senjata (pedang). Mereka lebih memilih berperang dengan pena. (Badrut Tamam: 2015).

Sementara, kaum Syiah lainnya yang tersebar seolah merasakan kegelisahan yang sama. Mereka merasa bahwa tindakan frontal hanya menumbuhkan kesia-siaan. Lebih baik, kekalahan yang terjadi diisi dengan perjuangan yang bersifat ilmiah, begitu mungkin anggapan mereka. Alhasil, perjuangan keilmuan kemudian diusung.

Para imam-syeikh yang rata-rata memang alim dalam bidangnya menjadi guru para pengembara pada saat itu. Mereka (syeikh) kemudian membuat semacam asrama atau pondok sebagai tempat menginap jamaah atau pengembara ilmu. Nah, dari itulah kemudian terjadi cikal bakal berdirinya hauzah.

Hauzah dan Pesantren

Dua tempat kajian intelektual ini sebenarnya tidak perlu dibandingkan. Sebab, keduanya memiliki karakter masing-masing, juga focus masing-masing, serta kelebihannya masing-masing. Namun, tidak salah jika kita membandingkan sebagai pengetahuan.

Mozaik keilmuan di Indonesia akan kusam jika diskursus kepesantrenan tidak diikutkan. Sebab, sebagaimana disebutkan sebelumnya, pesantren sudah menjadi ruh dalam bingkai pendidikan Indonesia. Lulusannya pun sudah banyak dilirik oleh bermacam pihak, baik yang sifatnya personal atau institusi.

Pesantren secara sistem terbagi menjadi dua macam, yakni pesantren salaf dan pesantren modern. Simpelnya begini, pesantren salaf lebih berfokus pada kajian keagamaan saja. Sedangkan, pesantren modern sudah mengaktualisasikan kajiannya pada ranah yang lebih kompleks. Artinya, tidak melulu tentang agama, melainkan juga mengajarkan ilmu umum.

Namun, di beberapa kasus, dikotomi keilmuan justru dianggap sebagai kewajaran. Pesantren-pesantren di Indonesia masih sering memandang salah terhadap klasifikasi keilmuan, antara agama dan umum. Beberapa dari mereka, bahkan tokoh agama sekallipun, masih terlalu memegang secara fanatik ilmu agama, lalu mengacuhkan ilmu umum. Mirisnya sebagian mereka mengatakannya secara terang-terangan.

Biasanya ini terjadi pada pesantren-pesantren yang menganut sistem salaf, meski tidak semuanya. Artinya, ilmu agama menjadi sakral dan mutlak. Lalu, menganggap ilmu umum sebagai sesuatu yang tidak penting.

Hal itu tidak cuma berhenti sampai di sana. Rupanya dikotomi keilmuan yang lahir berimbas pada subjek. Pelakon keilmuan menjadi korban. Pelajar di pondok pesantren (santri) memang sudah dianggap istimewa. Namun, pelajar di sekolah umum (negeri atau swasta) dianggap tidak belajar ilmu agama dan mengikuti perintah agama.

Kabar baiknya, beberapa pesantren memang sudah membuka intensitas dialektikal secara lebih luas. Dikotomi tidak lagi tampak. Yang ada justru pesantren semakin menyesuaikan dengan zaman, berikut kebutuhannya. Namun, percaya atau tidak, beberapa pesantren tetap beranggapan bahwa ilmu umum tidak penting.

Ini yang perlu dikaji. Bisa jadi anggapan masyarakat yang menyebut santri “kolot” adalah bentuk perlawanan terhadap pengklasifikasian tersebut. Pesantren sebagai media dalam mempromosikan ilmu agama memang benar, namun modernitas di tengah kita juga merupakan keniscayaan.

Sedikit menilik pada sistem pembelajaran hauzah, ternyata ia memiliki tradisi intelektual yang memukau. Memang, sejak awal hauzah disebut sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional. Namun, semakin ke sini, ia melakukan upgrading dan langkah inovatif untuk maju.

Sebagai lembaga pendidikan agama, hauzah lantas tidak pasif pada kajian yang kaku. Inovasi terus dilakukan dengan cara membuka ruang bagi seluruh bidang keilmuan lain. Sebagaimana dijelaskan Badrut Tamam, hauzah juga memasukkan teori filsafat, tasawuf, dan pemikiran kontemporer, yang di beberapa pesantren kita masih dianggap sebagai hal tabu.

Keterbukaan dan inovasi kurikulum yang diusung oleh hauzah kemudian melahirkan beberapa pemikir-pemikir hebat. Sebut saja Murtadha Muthahhari, yang karya-karyanya sering dikaji oleh banyak akademisi. Eksistensi alumninya pun tidak kalah dengan lulusan universitas-universitas pada umumnya. Sekalipun ia disebut sebagai lembaga pendidikan agama, hauzah justru mampu melahirkan generasi yang lebih maju.

Ini yang harus dicitrakan pesantren saat ini. Membuat inovasi sebagai respons atas perubahan, baik perubahan waktu maupun keadaaan. Sehingga, meminjam kalimat Badrut Tamam, pemahaman agama tetap terkawal tanpa mengesampingkan nalar di luar logika agama. Hal itulah yang bisa dijadikan referensi dari keberadaan hauzah di Iran.
Wallahu a’lam…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan