Misteri Pensil Arga

850 kali dibaca

“Sudah siap untuk berangkat?” tanya Sukati kepada Arga. “Sini, kutalikan sepatumu!”

Arga dengan diam melangkahkan kakinya menuju ibunya.

Advertisements

“Kamu jangan berkelahi lagi, nanti kamu tidak boleh sekolah.”

“Mereka terus meledekku.”

“Biarkan mereka meledekmu. Toh tidak akan terluka kamu diledek anak-anak itu. Sudah tidak ada lagi yang tertinggal? Sudah kamu cek PR dan buku-bukumu?”

Arga hanya mengangguk. Tapi ibunya tidak percaya begitu saha. Sebab, Arga adalah anak yang istimewa. Di umur yang kedelapan belas tahun, ia masih duduk di kelas VII SMP. Ia menderita retardasi mental. Karena itu, kemampuan Arga berpikir tidak bisa berkembang melebihi anak usia tujuh tahun.

Ibunya harus membanting tulang dengan ekstra karena suaminya tak kembali semenjak Arga dalam kandungan. Beban hidup yang berat semasa ia hamil membuat perkembangan bayi Arga tidak normal.

Dulu Sardi memohon kepada istrinya, Sukati, untuk mencarikan uang saku buat pergi menjadi TKI di perkebunan sawit. Sebenarnya, Sukati tidak mengizinkan Sardi pergi merantau ke Malaysia. Ia begitu mengenal Sardi yang bermental tempe. Di mana pun bekerja, ia tidak akan betah karena perilakunya yang bermalas-malasan. Tetapi karena rayuan manis Sardi, akhirnya ia mau menjual sawah satu-satunya yang menjadi sumber penghasilan keluarganya.

***

“Hampir setiap hari bajumu kotor, Ga. Ada apa denganmu?”

“Deni nakal, selalu menggangguku.”

“Mengganggumu seperti apa?”

“Menjatuhkanku ke tempat yang kotor.”

Melihat Arga sering dirundung, Sukati menjadi iba. Esok paginya ia berniat menghadap Bu Rini untuk mengadukan agar Arga tidak dirundung lagi.

“Selamat pagi Bu, saya ingin menemui Bu Rini.”

“Silakan masuk Bu. Silakan duduk di sini, saya panggilkan dulu Bu Rini.” Jawab seorang guru laki-laki. Pak Guru itu pun berdiri melangkahkan kakinya. Selang beberapa lama Bu Rini, wali kelas Arga, datang.

“Oh… Bu Sukati, bagaimana kabar Ibu?”

“Alhamdulillah, baik, Bu.”

“Ada perlu dengan saya?”

Sukati menceritakan bahwa anaknya selalu dirundung oleh teman-temanya. Arga pun dipanggil oleh Bu Rini, untuk mencerikan permasalahan yang dialaminya. Kali ini Arga mampu mengingat kejadian perundungan yang dilakukan oleh Dani, Rudi, dan Aleks.

Pagi itu Arga berjalan menuju sekolah. Dani, Rudi, dan Aleks mencegatnya di depan bangunan kosong. Mereka sengaja menunggu Arga untuk merundungnya di dalam rumah kosong yang terletak di antara pekarangan kosong. Di rumah kosong itu,  Arga  dirundung oleh Dani, Rudi, dan Aleks dengan disiram air selokan. Setelah puas merundungnya, mereka pun meninggalkannya. Arga sebenarnya adalah anak pelupa. Karena amarah membakar hatinya, kejadian itu membekas pada memorinya.

Berdasarkan aduan dari Bu Sukati, Pak Agus, guru BK, memanggil Dani, Rudi, dan Aleks untuk mengklarifikasi kejadian di rumah kosong.

“Apa benar kalian kemarin merundung Arga di rumah kosong?”

“Tidak Pak, kami malah menolong Arga yang tercebur di selokan depan rumah kosong itu.”

“Kemarin ada yang melapor, bahwa kalian bertiga menyiramkan air selokan kepada Arga.”

“Siapa Pak, apa orang itu melihat dengan mata kapala sendiri?”

“Iya, benar. Orang itu ada dalam gedung melihat kalian sedang merundung Arga.”

“Mohon panggil ke sini, Pak. Minta ia menceritakan kejadiannya bagaimana,” pinta Dani.

Pak Agus pun akhirnya memanggil Arga. Ketika memasuki ruangan, Dani dan kawan-kawannya menatap tajam kepada Arga. Ia pun langsung menundukkan matanya.

“Mengapa bapak percaya kepada anak yang pelupa ini?”

“Benar perkataan Aleks, bisa saja Arga salah ingat,” sahut Deni. Tetapi ucapan mereka tidak digubris oleh Pak Agus.

“Ga, apa benar kemarin kamu dikerjai oleh mereka dengan menyiramkan air selokan?”

“Ayo, ceritakan yang sebenarnya, Ga. Jangan suka memfitnah!” Aleks berkata dengan tatapan yang tajam. Arga sedikit melirik ke arah Aleks. Tatapan Dani membuat Arga semakin ciut.

“Kalian diam, biarkan saya yang bertanya kepada Arga! Ceritakan saja kejadian mengapa bajumu kotor kemarin. Jangan takut kepada mereka.”

Karena desakan dari Pak Agus terus-menerus, Arga menceritakan kejadian yang dia ingat waktu di gedung kosong itu. Tetapi Dani dan kawan-kawannya menyangkalnya. Mereka menuduh Arga mengada-ada.

***

Karena perbuatannya, orang tua mereka dipanggil ke sekolah. Pak Agus menyampaikan kepada orang tua mereka agar ikut membimbing mereka agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.

“Bu, kami memohon permintaan maaf yang sebesar-besarnya atas perbuataan anak kami,” kata Parji, orang tua Rudi.

“Kami juga, berjanji akan membimbing mereka lebih keras lagi,” kata Rusman, orang tua Dani.

Usai pertemuan orang tua tersebut, Dani bertambah dendam kepada Arga. Di kantin sekolah ketika jam kosong, Dani mengajak Alek dan Rudi untuk merundung Arga sampai ia tak berani melapor lagi kepada orang tuanya dan sekolah.

“Aku sudah tak berani, Dan. Aku diancam orang tuaku jika berani mem-bully Arga atau teman-taman yang lain akan dipindah ke SMP N 3,” Rudi beralasan.

“Aku juga nggak berani, Dan. Aku tidak akan dibelikan PS 5 jika mem-bully lagi,” Aleks menimpali.

“Aku punya rencana bagus, kita akan mem-bully Arga sampai kapok. Sampai ia mau bernjanji tidak akan menceritakan kepada siapa pun.”

Dani segaja membolos pada jam pelajaran terakhir. Ia terbawa dendam yang membara, sehingga tak sabar untuk membuat Arga kapok. Ia sengaja mencegat di belakang pagar rumah kosong sambil mengintip kedatangan Arga.

***

Bel pulang pun berdering. Siswa-siswa berhamburan keluar. Agra melangkahkan kakinya pulang menapak jalan yang selalu ia lewati tiap berangkat dan pulang sekolah. Setibanya di rumah kosong, ada batu yang terlempar mengenai punggung Arga. Terlihat ada ada siswa yang tak asing di rumah kosong itu. Tetapi, ia tidak mempedulikannya. Ia berusaha merapikan bukunya yang berserakan akibat tali tasnya yang putus. Usai memasukkan semua buku, ia melanjutkan jalan pulang.

“Kamu berkelahi lagi, Ga?” tanya ibunya kepada Arga.

“Tidak Bu, aku dilempar batu waktu tasku putus di depan rumah kosong.”

“Apa kamu tidak membersihkan debu-debu yang menempel di buku dan tasmu sebelum kamu pakai lagi?”

“Tidak.”

Ibunya menyadari bahwa Arga tak mungkin bisa berpikir panjang untuk membersihkan tas dan buku yang kotor akibat terjatuh.

***

“Segera hubungi polsek. Ini merupakan kasus pembunuhan,” kata Pak Parji.

Bu Rusman menangis histeris karena melihat Dani tergeletak tak bernyawa akibat luka tusuk yang berada di lehernya. Bu Rusman ingin memeluk putranya, tapi Pak Rusman melarangnya.

“Tenanglah Bu, jangan sampai kita menghilanggakan barang bukti.”

“Biarkan aku melepaskan rasa sayangku kepada anakku.”

“Kalau kubiarkan kaumelakukannya, polisi tidak akan pernah menemukan pembunuh Dani.”

Tim forensik polisi pun berdatangan kemudian meminta semua orang untuk menjauh dari TKP. Rusman mengandeng tangan istrinya untuk menjauh. Seorang berbaju putih mendatangi mereka.

“Bapak orang tua korban?”

“Ya Pak, kami orang tua Dani Rendi Setya,” jawab Pak Rusman.

“Perkenalkan saya, Iptu Aldi, Tim Psikolog Polri. Saya turut prihatin dengan kejadian yang menimpa keluarga Anda.”

“Saya minta pelaku dihukum mati karena telah melakukan tindakan pembunuhan sadis terhadap anak saya.”

Iptu Aldi berusaha menenangkan jiwa Bu Rusman yang terpukul.

Sementara, tim forensik yang menelisik TKP menemukan sebuah pensil yang diduga dipakai pelaku untuk menusuk leher Dani. Di pensil itu tertulis nama Arga P…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan