Menyelami Makna Tradisi Mudik

781 kali dibaca

 

Tahun ini, pemerintah memperbolehkan masyarakat untuk melaksanakan mudik Lebaran. Pengumuman tersebut tentu mendapat respons bungah, gembira bagi orang-orang yang berada di perantauan atau dinas kerja di luar kota atau pulau. Akhirnya rasa kangen yang terpendam karena masa pandemi Covid-19 terhadap orang tua dan sanak saudara di kampung dapat terobati.

Meskipun demikian, mudik tidak boleh dilaksanakan secara serampangan, harus menerapkan syarat dan ketentuan yang telah dibuat oleh pemerintah. Kerja kolaborasi dan koordinasi antara institusi pemerintah akan manajemen lalu lintas terus dipersiapkan secara maksimal guna mengantisipasi penumpukkan kendaraan serta memperlancar arus mudik-balik pertama pasca pandemi.

Advertisements

Istilah mudik berasal dari kata “mulih” dan “udik”. Secara etimologisnya, mudik berarti mulih atau pulang ke udik atau halaman kampung. Jadi mudik berarti pulang ke kampung halaman (KBBI, 2008).

Mudik menjadi salah satu tradisi paling primordial yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia saat Idul Fitri. Tradisi ini sangat khas Indonesia. Yang menjadi kekhasan dari praktik mudik sebab dilakukan dengan sangat “heboh” –memerlukan pengorbanan pikiran, tenaga, pegangan lebih (baca: uang), jiwa dan raga.

Misal saja seperti berlomba-lomba mengantre tiket kereta api, booking tiket pesawat, massive repair jalan lintas provinsi yang telah rusak, mencari situs mudik gratis yang diadakan pemerintah dan lain-lain. Inilah keunikan serta kekhasan mudik yang menjadikan “nilai unggul” dibanding tradisi lain yang berkembang.

Perjalanan mudik kebanyakan dilakukan dengan kendaraan pribadi maupun transportasi umum. Mereka memilih itu semua tentu berdasarkan beberapa pertimbangan. Ada yang menggunakan kendaraan bermotor dengan alasan karena lebih praktis dan lebih cepat karena dapat menerobos kemacetan. Ada yang menggunakan mobil dikarenakan membawa barang-barang yang banyak.

Semua itu tentu ada kelebihannya satu sama lain. Setelah melakukan perjalanan selama berjam-jam bahkan berhari-hari tibalah sampai di kampung halaman. Di sana para pemudik dapat menghilangkan kepenatan, kejenuhan akibat kerjaan yang berlarut-larut, keriuhan yang terjadi di kota, kebisingan yang terjadi setiap hari, dan berbagai tekanan beban kerja lain yang membuat stres. Suasana kampung halaman yang sejuk, adem nan asri penuh dengan penghijauan sawah, embun pagi menyapa dengan rasa segar, keramahan orang di pedesaan, serta jauh dari kebisingan. Hal tersebut dapat menjadikan obat mujarab penghilang stres ketika hidup dari perantauan, sehingga menjadikan mudik itu seperti wajib dilakukan setiap satu tahun sekali. Inilah dimensi mudik dilihat dari sisi psikologis.

Sejauh yang dipahami penulis selama ini, mudik sangat melekat dengan saat Idul Fitri –“mudik lebaran” bukan “mudik” yang melekat pada kondisi insidental tertentu. Pemilihan Idul Fitri sebagai momentum untuk mudik tentu bukan hanya karena saat Idul Fitri merupakan hari libur panjang. Kalau pertimbangannya seperti itu, rasa-rasanya yang lebih cocok dipilih sebagai momentum untuk mudik itu musim libur sekolah tahunan.

Dipilihnya Idul Fitri sebagai momentum bermudik sebenarnya karena ada keterkaitan linier antara Idul Fitri dan mudik itu sendiri. Jika saat Ramadan kita diperintahkan untuk berpuasa agar bertakwa (simbol penyucian vertikal), saat Idul Fitri adalah momentum kita dianjurkan untuk bersilaturahmi dan saling memaafkan (silaturahmi; simbol penyucian horizontal). Sebab, dalam Al-Qur’an maupun Hadis pun, perintah untuk maaf memaafkan itu sangat dianjurkan untuk dilakukan.

Ucapan yang sering diucapkan saat momen Lebaran kepada orang tua, orang lain, dan sanak saudara saat Idul Fitri tiba, yaitu:

Taqabbalallaahu minnaa wa minkum taqabbal yaa kariim, wa ja’alanaallaahu wa iyyaakum minal ‘aaidin wal faaiziin” (Versi Bahasa Arab)
Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon maaf lahir & batin” (Versi ringkas Bahasa Indonesia)
Ngaturaken Sugeng Riyadi. Kawula nyuwun pangapunten ingkang kathah, menawi wonten klentha-klenthunipun atur ingkang kawula sengaja lan mboten sengaja, mugiyo tansah kalebur ing dinten riyoyo punika” (Versi Bahasa Jawa).

Oleh karena itu, ketika mudik setiap Idul Fitri sebenarnya menjalankan mekanisme sosial untuk mencapai kondisi fitri secara horizontal (maaf memaafkan, bersilaturahmi, habluminannas), serta guna menyempurnakan pembersihan capaian fitrah vertikal (habluminallah) dari berpuasa di bulan Ramadan. Inilah rangkaian dimensi religius dari mudik; merangkai pesan dalam Idul Fitri.

Selanjutnya, ditinjau secara kultural-historis, mudik merupakan semacam rihlah, menapaki jejak-jejak masa kecil, masa susah di kampung. Selain itu, saat mudik juga terbiasa untuk melakukan ziarah ke makam leluhur, orang tua atau kakek-nenek. Rihlah seperti itu demi mengembalikan rekaman masa lalu untuk kemudian menjadi pijakan dalam menjalani masa kini dan menatap masa depan. Catatan dari masa lalu juga penting dan menjadi referensi untuk melihat “kapasitas” kita selama setahun; apakah meningkat, statis, atau fluktuatif dari masa lalu. Inilah dimensi sakral dari sejarah yang membuatnya menjadi penting secara kultural-historis.

Dari beberapa makna yang telah dijelaskan, mudik harus direnungi, diresapi, dan dihayati. Tujuannya agar tidak menjadi “hambar” dan menjadi tradisi yang nihil nilai. Dan juga tanpa adanya mengambil ibrah dari perjalanan mudik. Mobilisasi mudik harus menjadi daya dorong perubahan, dimulai dari personal, berkembang ke komunitas dan bangsa untuk menuju hari esok yang lebih baik.

Akhirulkalam, selamat bermudik. Dalam mudik pertama pasca pandemi ini, pemerintah memperkirakan akan ada 85,5 juta orang pemudik. Sungguh sangat padat, baik di jalan raya, stasiun, terminal, ataupun bandara. Tetap patuhi protokol kesehatan sesuai panduan pemerintah, terapkan sikap sabar jangan tergesa-gesa, jangan ceroboh, jangan memaksakan berkendara kalau sedang posisi capai karena ada orang-orang tersayang yang sedang menunggu kita pulang.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan