Menurut empu psikoanalisa Sigmund Freud, anak-anak mengalami perkembangan dengan melewati tiga tahapan: oral, anal, dan genital. Ketika masih bayi, tahapan oral sangat menonjol. Ini ditandai dengan kegemaran bayi untuk memasukkan apa saja ke dalam mulutnya. Oral atau mulut menjadi standar perilakunya. Bagi bayi, mulut adalah akalnya. Ia menjadi standar kesenangan sekaligus penderitaannya. Ketika mulut terisi, betapa senangnya dia. Sebaliknya, ketika tidak ada yang bisa dimasukkan ke dalam mulutnya, dia sangat menderita.
Bahkan, demi menghilangkan penderitaan itu, dia nekat memasukkan apa saja ke dalam mulutnya kendatipun membahayakan. Perhatikan Nabi Ibrahim, ketika kecil, dalam satu riwayat, memasukkan bara ke dalam mulutnya. Dia tidak tahu kalau bara berbahaya. Gara-gara itu, lidahnya kelu.
Setelah itu, anak-anak mengalamai tahapan anal: dubur alias kotoran. Senang kepada kotoran. Anak-anak suka berlama-lama di dekat kotorannya. Mereka senang bermain lumpur, debu, pasir bahkan tidak mempersoalkan badannya yang tidak mandi seharian. Kotoran menjadi sumber kesenangan mereka. Kata sebagian pakar pendidikan, bermain dengan hal-hal yang kotor merupakan wahana mengembangkan saraf motorik bagi anak-anak. Kendatipun menurut medis, ia juga menjadi sebab datangnya kuman.
Setelah melewati anal, mereka sampai kepada tahapan genital: alat kelamin. Menurut Freud, sebelum anak-anak menginjak dewasa, mereka senang bermain dengan alat kelamin. Oral dan genital sudah tidak menyenangkan lagi. Sumber kesenangan mereka kita beralih kepada alat kelamin.
Perlu diketahui bahwa ketiga tahapan di atas hanya dimiliki anak-anak. Dengan kata lain, setelah dewasa, ketiga hal itu tidak menjadi standar kesenangan hidup lagi. Orang dewasa sudah memiliki akal. Dengan akal, orang dewasa mendapatkan kesenangan lebih dari sekadar oral, anal, dan genital. Ketika orang yang berumur dewasa masih senang dengan ketiga hal tersebut, secara kejiwaan, ia mengalami keterlambatan yang diistilahkan oleh Freud dengan fiksasi.