Puasa dan Sigmund Freud

1,023 kali dibaca

Menurut empu psikoanalisa Sigmund Freud, anak-anak mengalami perkembangan dengan melewati tiga tahapan: oral, anal, dan genital. Ketika masih bayi, tahapan oral sangat menonjol. Ini ditandai dengan kegemaran bayi untuk memasukkan apa saja ke dalam mulutnya. Oral atau mulut menjadi standar perilakunya. Bagi bayi, mulut adalah akalnya. Ia menjadi standar kesenangan sekaligus penderitaannya. Ketika mulut terisi, betapa senangnya dia. Sebaliknya, ketika tidak ada yang bisa dimasukkan ke dalam mulutnya, dia sangat menderita.

Bahkan, demi menghilangkan penderitaan itu, dia nekat memasukkan apa saja ke dalam mulutnya kendatipun membahayakan. Perhatikan Nabi Ibrahim, ketika kecil, dalam satu riwayat, memasukkan bara ke dalam mulutnya. Dia tidak tahu kalau bara berbahaya. Gara-gara itu, lidahnya kelu.

Advertisements

Setelah itu, anak-anak mengalamai tahapan anal: dubur alias kotoran. Senang kepada kotoran. Anak-anak suka berlama-lama di dekat kotorannya. Mereka senang bermain lumpur, debu, pasir bahkan tidak mempersoalkan badannya yang tidak mandi seharian. Kotoran menjadi sumber kesenangan mereka. Kata sebagian pakar pendidikan, bermain dengan hal-hal yang kotor merupakan wahana mengembangkan saraf motorik bagi anak-anak. Kendatipun menurut medis, ia juga menjadi sebab datangnya kuman.

Setelah melewati anal, mereka sampai kepada tahapan genital: alat kelamin. Menurut Freud, sebelum anak-anak menginjak dewasa, mereka senang bermain dengan alat kelamin. Oral dan genital sudah tidak menyenangkan lagi. Sumber kesenangan mereka kita beralih kepada alat kelamin.

Perlu diketahui bahwa ketiga tahapan di atas hanya dimiliki anak-anak. Dengan kata lain, setelah dewasa, ketiga hal itu tidak menjadi standar kesenangan hidup lagi. Orang dewasa sudah memiliki akal. Dengan akal, orang dewasa mendapatkan kesenangan lebih dari sekadar oral, anal, dan genital. Ketika orang yang berumur dewasa masih senang dengan ketiga hal tersebut, secara kejiwaan, ia mengalami keterlambatan yang diistilahkan oleh Freud dengan fiksasi.

Puasa dan Kedewasaan

Puasa di Bulan Ramadan yang secara mendasar mewajibkan untuk menahan makan minum, bicara kotor, dan juga hubungan badan merupakan media mendewasakan jiwa kita. Dengan tidak makan seharian, kita dilatih untuk tidak meraup kesenangan dengan apa yang kita telan. Karakter anal yang berdimensi kotoran bisa dihindari dengan tidak berbicara kotor atau lewat mengeluarkan zakat atau sedekah dari ”kotoran” harta kita. Sementara kekangan untuk tidak berhubungan seks sejatinya adalah latihan agar kesenangan kita terhadap seks atau genital yang secara mendasar menguasai pikiran kekanak kanakan kita, bisa dinetralisir.

Sebulan penuh kita didorong untuk tidak melakukan hal yang biasa kita lakukan pada sebelas bulan lainnya. Jika kita berhasil, akan ada efek yang bisa dirasakan pada bulan-bulan lainnya. Bagi jiwa yang belum dewasa karena mengalami fiksasi, latihan sebulan ini tentu sangat berat sekali. Melakukan tindakan yang tidak biasa memang meletihkan. Terlebih menghindari sumber kesenangan yang sebelumnya dijadikan pijakan.

Oleh karena itu, menghadapi Ramadan ini, kita harus siap sedia melatih karakter kekanak-kanakan kita yang masih suka mementingkan mulut dan perut. Baik dalam arti memasukkan barang konkret ke dalam tubuh sehingga tambun. Atau juga secara alegoris berupa menimbun materi duniawiyah sehingga berjibun. Di bulan Ramadan ini, hal kotor, jorok atau mesum yang biasa kita jadikan sajian harian juga dilatih untuk dihindari. Permainan kotor dan mesum demikian, betapapun kecil, sungguh sangat memengaruhi puasa Ramadan kita. Persoalan seks juga sejauh mungkin dihindari. Tidak hanya berhubungan badan, namun juga pergumulan dalam khayal, wajib dihindari sejak dini dan sejak dari hati.

Keberhasilan kita mengatasi ketiga hal tersebut akan membuat mental kita dewasa. Di akhir Ramadan, ketika mental kita sudah di-upgrading, berhak dirayakan dengan panggilan takbir kemenangan. Itulah arti hakiki dari hari raya Idul Fitri, momen di mana kita menjadi pribadi baru yang layak mendapatkan dua kebahagiaan dijanjikan Rasulullah, yaitu ketika berbuka puasa dan kebagiaan ketika masuk surga. Keduanya merupakan kebahagiaan paripurna yang tidak bisa diperoleh oleh sembarang orang, termasuk oleh Freud sendiri.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan