Malam itu handphone-ku berdering. Notifikasi muncul dari grup keluarga ibu. Ternyata, salah seorang pamanku mengabarkan bahwa tetangga nenek baru saja menjalani tes swab dan hasilnya positif penyintas virus Covid-19.
Malam itu juga keluarga kami berdiskusi. Mencari solusi untuk meningkatkan kewaspadaan supaya nenek dan anggota keluarga lainnya tetap sehat. Karena, kebetulan rumah nenek dijadikan tempat salat berjamaah bagi para tetangga perempuan. Termasuk, ibu dari tetangga kami yang penyintas Covid-19 tersebut. Sebut saja Bu Arti. Halaman depan rumah nenek juga ditempati dua pamanku untuk berdagang. Ah, serta ada cukup banyak anak kecil di sana.
“Kita liburkan saja jamaah di sini. Berlaku untuk semua orang. Jadi tidak ada kesan mencurigakan, kan…” kata salah satu budeku.
“Atau kita datang ke rumahnya, menanyakan kebenaran kabar dan menyarankan keluarganya untuk isolasi diri di rumah dulu,” sahut pamanku.
Kami diam beberapa saat. Kami sudah tahu bahwa meliburkan jamaah pasti tidak diperkenankan oleh nenek, sebab hal itu sudah menjadi rutinitas beliau. Dan begitulah umumnya para orang tua. Tapi paman dan budeku juga ragu untuk menyampaikan maksud secara langsung di rumahnya.
Akhirnya, salah seorang budeku menyumbang usulan. “Begini saja. Kita tunggu besok waktu subuh apakah Bu Arti tetap berjamaah atau tidak. Jika masih berjamaah, besok kita pikirkan lagi langkathselanjutnya.”
Para paman dan bude setuju.
***
Pada hari berikutnya, ternyata Bu Arti masih berjamaah subuh. Sementara tetangga lainnya sudah meliburkan diri.
“Kok jamaah sepi ya, neng?” tanyanya.
“Iya… Nggak tahu ini,” jawab nenek sekenanya. Tidak sampai hati beliau mengatakan yang sebenarnya. Dan begitulah masyarakat di kampung.
Hal ini membuat bude, paman, dan anggota keluarga lainnya jadi makin bingung, bagaimana kami menjelaskannya kepada keluarga Bu Arti. Malam harinya, keluarga kembali berdiskusi. Tapi tetap tidak menghasilkan apa-apa.