Menunggang Kambing Kurban ke Surga

1,184 kali dibaca

Barang siapa yang berkurban, maka kelak di akhirat, ketika tiba di tanah Mahsyar, ia akan menunggangi hewan kurbannya itu. Hewan kurban itu akan berjalan membelah lautan orang-orang yang berdesak-desakan dalam kecemasan. Melintasi lautan peluh dan angin api. Berjalan cepat di atas sirat hingga mengantarkan tuannya ke halaman surga.

Itulah ucapan Kiai Hasan yang memantik api semangat di hati Rasat untuk bisa berkurban. Meski dirinya hidup dalam keterbatasan ekonomi, niatnya untuk berkurban terus berkobar. Ia rela memanggang tubuhnya di ladang, mandi hujan sepanjang hari di sawah, semua itu —selain untuk nafkah keluarga— selebihnya akan ditabung untuk membeli hewan kurban.

Advertisements

Sebagai seorang kuli yang berpenghasilan ala kadarnya, tabungannya baru cukup untuk bisa membeli hewan kurban yang bagus setelah kurun waktu dua tahun. Setelah uang tabungannya cukup, ia menjuju pasar hewan untuk membeli kambing yang bagus, sehat, bertanduk, dan giginya sudah tanggal.

“Jadi Mas Rasat benar-benar ingin berkurban?” tanya istrinya dengan suara ramah.

“Iya. Kelak di akhirat, aku ingin menunggang hewan kurban ke surga.”

“Kalau satu kambing kan hanya untuk Mas Rasat. Istri dan anakmu bagaimana?” sambung istrinya sedikit menegangkan alis.

“Ha-ha, tenang! Aku berniat akan menabung lagi, hingga kamu dan Anis, anak kita itu juga berkurban.”

Tak mudah bagi Rasat memilih kambing yang bagus, meski sudah tiga kali ke pasar kambing yang ia maksud belum didapatkan. Rasat berlogika dalam kepalanya, kelak ia ingin cepat ke surga dengan kambing yang kuat berlari dan tahan terhadap segala ancaman.

“Di akhirat medannya sangat sulit dan sangat berbahaya. Jadi aku harus mencari kambing yang tubuhnya besar dan kuat,” pikirnya suatu ketika, sembari membayangkan keadaan akhirat, sebagaimana yang digambarkan penceramah, dengan sedikit mengambil gambaran dari medan-medan sulit yang ada di dunia.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan