Metafakta, Mas Bechi, dan Lain-lainnya

2,284 kali dibaca

Ilmu itu rasional, logis, dapat dinalar, dapat dicerna akal sehat, dan common sense. Jika tak rasional, tak logis, tak dapat dinalar, tak bisa dicerna akal sehat, dan tidak common sense, jelas itu bukan ilmu. Mungkin malah tipu-tipu.

Sayangnya, masyarakat kita ternyata masih suka yang tak rasional, tak logis, tak dapat dinalar, tak bisa dicerna akal sehat, dan tidak common sense. Masyarakat kita akan sering kesengsem dengan keajaiban atau kesaktian, misalnya, dan kemudian berbondong-bondong mencari “ilmu” yang tak rasional itu.

Advertisements

Itulah fakta dari metafakta yang, konon, merupakan temuan dari Mas Bechi, tersangka pencabulan sejumlah santriwati di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah Ploso, Jombang, Jawa Timur. Seperti kita tahu, setelah Kamis (7/7) kemarin ribuan polisi mengepung dan menggeledah Pesantren Shiddiqiyyah selama 15 jam, Mas Bechi akhirnya menyerahkan diri untuk menjalani proses hukum. Putra dari KH Muhammad Mukhtar Mukthi ini menjadi tersangka pencabulan dan pemerkosaan terhadap sejumlah santrinya.

Berdasarkan keterangan dari sejumlah korban dan pendamping korban yang beredar di media, modus Mas Bechi dalam mendekati calon korbannya melalui penularan ilmu kesaktiannya, ya metafakta itu.

Konon, metafakta adalah ilmu penyembuhan, penyembuhan terhadap segala penyakit. Bahkan, jika seseorang telah menguasai “ilmu sakti” ini, maka cita-cita, keinginan, atau hajat-nya akan segera tercapai. Penyembuhan melalui metafakta ini disebut-sebut juga bisa dilakukan melalui musik, dengan membonceng gelombang suara. Maka, setelah berkolabirasi dengan musisi Indra Qadarsih, Mas Bechi melahirkan musik metafakta yang disebut Oxytron. Oxytron ini diklaim sebagai musik penyembuh segala penyakit. Luar biasa kesaktiannya.

Entah di mana Mas Bechi belajar ilmu metafakta dan siapa gurunya. Yang ganjil justru cara Mas Bechi mengajarkannya. Santriwati-santriwati yang dia pilih untuk menjadi relawan kesehatan (baca: penyembuh) tak perlu bersusah payah mempelajarinya. Sebab, metafakta hanya perlu “ditularkan”. Apa yang disebutnya sebagai ilmu itu hanya bisa “menular” jika si santri sudah bugil. Tak masuk akal? Memang, katanya, metafakta baru bisa merasuk jika santri telah kehilangan akal. Jika seseorang masih bergantung pada dan menggunakan akalnya, si ilmu tak sudi masuk, tak sudi menular.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan