Menolak Wahabisme

1,193 kali dibaca

Diakui atau tidak, salah satu dari sekian banyak aliran keagamaan dalam Islam yang cukup santer dan gencar mengampanyekan doktrin dan ajarannya kepada masyarakat Islam, adalah Wahabisme. Tidak hanya di kawasan Timur Tengah (Arab Saudi) tempat lahirnya dan wilayah sekitar, melainkan juga merambah ke pelbagai penjuru negeri lain. Ditopang dengan dana kampanye yang memadai, Wahabisme mulai tumbuh dan berkembang di negara-negara kawasan Asia Tenggara tak terkecuali di Indonesia.

Di Indonesia sendiri, misalnya, banyak kita temui para pendakwah atau penceramah berpaham Wahabisme yang masih berseliweran sampai kiwari. Baik di pelbagai media, seperti televisi, Youtube, Facebook, maupun lainnya. Ini menjadi bukti bahwa gerakan Wahabisme kian masif menyebarkan ideologinya di negeri kita.

Advertisements

Walau begitu, keberadaan Wahabisme menuai pro-kontra di tengah masyarakat Islam tidak terkecuali para ulama. Ada yang setuju, akan tetapi tidak sedikit pula umat Islam yang mengajukan keberatan terhadap doktrin dan fatwa para ulama Wahabi. Bahkan, penolakan tidak sekadar pada tataran doktrin Wahabisme, melainkan juga pada cara orang Wahabi dalam menyebarkan ideologinya.

Lantas mengapa paham Wahabi atau Wahabisme ditolak? Bukankah mereka juga mengikuti ajaran Nabi Muhammad seperti kebanyakan umat Islam pada umumnya?

Memang, secara paham keagamaan, mereka mengikuti Nabi. Alih-alih mengamalkan dan mengikuti ajaran Islam, justru dalam praktiknya kerap bertentangan dan tak jarang mencederai Islam itu sendiri. Sebab, dakwah yang dilakukan acap bernuansa kekerasan dan memaksakan kehendak. Jika ada yang tidak sepaham dengan mereka, maka layak bahkan wajib untuk diperangi.

Lihatlah betapa sejarah telah menunjukkan sejumlah keonaran yang dilakukan orang-orang Wahabi, dari awal kelahirannya hingga sekarang. Mereka tak sekadar mengobrak-abrik orang-orang Syiah, melainkan juga para pengikut Sunni yang tengah dianggap menyimpang dari ajaran Islam atau yang dipandang telah terperangkap ke dalam jurang kemusyrikan.

Mengutip pendapat Abdul Moqsith Ghazali dalam tulisannya bertajuk Kritik atas Wahabisme, terdapat beberapa alasan mengapa sejumlah orang mengkritik bahkan menolak Wahabisme. Pertama, dalam mendakwahkan doktrinnya, orang-orang Wahabi terlalu banyak menyerang ke dalam, ke sesama umat Islam. Terhadap orang-orang Islam non-Wahabi, mereka bersikap tegas (asyidda’u alal muslimin). Tak puas dengan jenis atau corak keislaman yang berkembang di lingkungan umat Islam non-Wahabi, mereka berupaya untuk mengislamkan kembali orang-orang Islam. Menurut mereka, orang Islam non-Wahabi telah terjatuh ke dalam jurang kemusyrikan sehingga perlu segera diselamatkan.

Untuk memperkuat argumennya, mereka kemudian menyitir ayat-ayat Al-Quran. Misalnya, sebagaimana umat Islam pada umumnya, orang-orang Wahabi memandang dosa syirik sebagai dosa tak terampuni. Allah berfirman, inna Allah la yaghfiru an yusyraka bihi wa yaghfiru ma duna dzalika liman yasya’u [sesungguhnya Allah tak akan mengampuni dosa orang yang menyekutukan-Nya dan hanya mengampuni dosa selain syirik].

Kebanyakan umat Islam menjadikan ayat ini sebagai dasar untuk memusyrikkan orang-orang yang menyembah patung-berhala. Berbeda dengan orang Wahabi, ia justru menjadikan ayat ini sebagai argumen untuk memusyrikkan umat Islam sendiri yang gemar bertawassul dan ziarah kubur. Dan karena orang Islam non-Wahabi telah dianggap musyrik, maka orang Wahabi merasa berkewajiban untuk mengembalikan mereka ke dalam doktrin ajaran Islam seperti yang mereka pahami.

Sebaliknya, jika umat Islam non-Wahabi tidak segera bertobat atau ogah diajak kembali kepada “ajaran Islam yang benar” (dengan meninggalkan bertawassul dan ziarah kubur), maka mereka (orang-orang Wahabi) tak ragu untuk melenyapkan nyawa orang Islam non-Wahabi. Itulah sebabnya, kebanyakan dari orang Wahabi acapkali terlibat dalam tindak kekerasan dengan cara menyerang orang Islam lain.

Kedua, ijtihad orang-orang Wahabi hanya berputar atau berkutat di perkara-perkara receh dan remeh-temeh yang bersifat partikular. Misalnya, tentang hukum perempuan menyetir mobil, hukum memelihara jenggot, hukum ziarah kubur, hukum bertawassul, hukum menggunakan tasbih dalam berdzikir, dan lain sebagainya.

Menurut Kiai Moqsith, para ulama Wahabi mungkin menyangka bahwa ziarah kubur, bercelana cingkrang, dan bertawassul adalah termasuk salah satu masalah pokok dalam Islam. Padahal, jelas soal-soal seperti hal ihwal tersebut masuk ke dalam kategori masa’il khilafiyah yang tidak akan pernah berhasil bahkan sulit untuk disepakati oleh seluruh umat Islam.

Karena itulah, sekarang adalah saat yang tepat bagi orang-orang Wahabi untuk berpikir atau berijtihad tentang soal-soal kemasyarakatan yang lebih penting dan mendesak. Mengingat, persoalan yang dihadapi umat manusia semakin kompleks. Misalnya, tentang Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi, kemiskinan, dan problem lain yang menimpa umat.

Ketiga, kelompok Wahabi cenderung tidak memanusiakan kaum perempuan. Perempuan acapkali dianggap sebagai manusia tak sempurna; separonya adalah manusia dan separonya yang lain adalah setan yang mengganggu keimanan kaum laki-laki. Cara pandang demikian menyebabkan orang-orang Wahabi memiliki kecenderungan untuk memarginalisasikan perempuan. Dehumanisasi terhadap perempuan berlangsung di berbagai sisi kehidupan.

Di lingkungan keluarga Wahabi, perempuan sejak dulu kerap diposisikan sebagai objek ketimbang subjek. Bahkan, perempuan tak pernah diberi ruang dalam mengambil keputusan. Bukan hanya di ruang publik, melainkan juga di ruang domestik seperti keluarga. Pun, mereka dilarang untuk mencari nafkah kendati untuk menanggulangi beban perekonomian keluarga yang tak mungkin lagi bisa diatasi oleh para suami.

Akibatnya, ketika laki-laki tidak bisa mengendalikan hawa nafsu, maka tubuh perempuanlah yang mesti ditutup rapat-rapat. Batas-batas aurat perempuan dibuat sangat kaku dan seakan-akan sengaja diciptakan untuk menyengsarakan kaum perempuan. Ini berarti, ruang gerak perempuan terus dibatasi. Ia tidak diperbolehkan memegang jabatan publik; sebagai hakim apalagi kepala negara. Bahkan, tak pernah ada ulama dari kalangan perempuan yang terlahir di lingkungan Wahabi.

Dari sini, jelas bahwa penolakan terhadap Wahabisme bukan tanpa dasar dan argumen yang kebablasan. Selain hal yang disebutkan di atas, mereka juga kerap membuat kegaduhan serta meresahkan dalam mengampanyekan doktrinnya melalui argumen takfiri, sesat-menyesatkan, bidah, dan lain-lain terhadap sesama umat Islam. Karena itu, tidak mengherankan, jika Wahabisme dikategorikan kepada kelompok gerakan Islam radikal-ekstremis. Mengingat, sepak terjangnya acap bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri.

Sementara itu, Wahabisme juga bukanlah termasuk bagian dari aliran yang menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Sebagaimana dinyatakan dan disepakati oleh seluruh ulama di dunia pada Muktamar Internasional Muslim atau Muktamar Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yang diselenggarakan di Grozny, ibu kota Republik Chechnya pada tahun 2016 lalu, dengan mengusung tema Siapakah Ahlus Sunnah Wal Jamaah? Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan