Meneladan Dakwah Wasathiyah Sunan Ampel

1,545 kali dibaca

 

Buku ini membicarakan tentang dakwah sebagaimana diterjemahkan oleh UINSA, salah satu kampus ternama yang berada di kota Surabaya. UINSA sendiri merupakan kepanjangan dari Universitasda Islam Negeri Sunan Ampel. Dalam konteks dakwah di sini, UINSA akan menjadi garda terdepan di dalam menguak akar terminologi gerakan dakwah moderat dan menghidupkan kembali spirit dakwah wasathiyah tersebut, yang diinternalisasikan ke dalam tata keilmuan dan kelembagaan di UINSA.

Sebagai kampus yang berada di Surabaya, UINSA merasa bahwa dakwah wasathiyah merupakan tanggung jawabnya sebagai institusi yang mana di dalamnya terdapat sebuah fakultas dakwah. Selanjutnya, dalam kampus tersebut ber-tabarruk kepada sesepuh Waliyullah, Sunan Ampel, dengan menyelipkan nama beliau di bagian belakang. Tujuannya, agar kampus tersebut yang di dalamnya terdapat beberapa para kiai, santri, cendekiawan terkemuka, memiliki ketersambungan sanad dengan Rasulullah SAW, baik secara keilmuan, pemikiran maupun gerakan. Dengan demikian, warisan dakwah wasathiyah itu dipandang perlu dijaga agar tidak luntur dari UINSA.

Advertisements

Buku ini terdiri dari lima bab. Di bagian bab pertama diperkenalkan biografi Sunan Ampel. Mulai dari nasabnya, dapat diketahui bahwa beliau merupakan keturunan dari Rasulullah SAW yang ke-21 jika dilihat pada versi naskah Negarakerthabumi (Wangsakerta Cirebon tahun 1695).

Menurut versi silsilah Sunan Giri, beliau keturunan Rasulullah SAW yang ke-22. Sebagai bagian dari keturunan Rasulullah, tentunya menjaga keotentikan dakwah Islam menjadi tanggung jawabnya. Tanggung jawab tersebut dapat dibuktikan melalui usahanya mendirikan pesantren di Ampeldenta.

Sunan Ampel mendidik para santrinya dengan penuh perhatian dan keteladanan. Beliau mengajarkan arti penting sebuah kehidupan yang harus dibingkai dengan nuansa keagamaan, dan dipupuk dengan fondasi tasawuf (akhlakul karimah).

Melalui cara pandang serta pendekatan tersebut, Sunan Ampel berhasil melahirkan kader-kader santri ideal: ada Sunan Kudus, yang cakap di bidang fikih; Sunan Gunung Jati, yang cakap menjadi panglima perang; ada kader negarawan, Raden Fatah, misalnya; kader waliyullah, dan lain sebagainya. Dari tangan para santri inilah kemudian masyarakat Nusantara–sekarang Indonesia–berhasil memeluk agama Islam dengan damai.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan