Islam Kaffah

Menjadi Muslim yang Kaffah

1,107 kali dibaca

“Tidak ada penyakit yang lebih berbahaya yang merasuk ke dalam akal, tubuh, dan semangat kaum Muslimin kecuali masuknya al-jahalah (orang-orang bodoh) ke dalam segala urusan.”

Begitulah kira-kira perkataan Muhammad Abduh, sang pembaharu Islam berkebangsaan Mesir. Ketika seorang bodoh memiliki kekuasaan, maka kebijakan yang dibuat hanya memperturut hawa nafsu. Saat memahami agama, tafsir yang diamini digunakan untuk melegitimasi perbuatan buruknya. Pun demikian ketika mengurusi perihal ekonomi, banyak terjadi korupsi dan hal-hal yang tidak benar.

Advertisements

Orang Islam yang pemahamannya dangkal dan memiliki egoisme yang tebal, hanya akan membenarkan pendapat dirinya sendiri. Padahal, apa yang ia yakini itu belum tentu mencapai taraf kebenaran dan mempunyai kredibilitas keilmuan.

Semangat keberislamannya tinggi, tetapi tidak dibarengi dengan pengkajian yang mendalam. Alhasil, serangkaian aksi terorisme, membunuh orang yang beda agama atau bahkan beda mazhab sekalipun, dianggap sebagai bagian dari jihad fisabilillah dan diganjar surga.

Demikian itu yang membuat merebaknya islamofobia. Islam dianggap sebagai agama teroris, mengeksploitasi perempuan, serta mendukung kekerasan. Padahal, Tuhan menurunkan Islam ke dunia ini untuk dijadikan pegangan agar sesama mereka dapat berkasih sayang. Sebagai petunjuk dan norma kehidupan.

Namun, nilai-nilai luhur yang Islam miliki kemudian rusak gegara dipegang oleh orang bodoh. Oleh sebab itu, Tuhan mewajibkan kepada umat Islam, baik sejak lahir maupun sampai meninggal, berkewajiban untuk selalu mencari ilmu. Di titik ini, bukti kasih sayang dari Tuhan begitu nyata. Bahwa benar Tuhan akan selalu memberi dan memudahkan jalan bagi orang menuntut ilmu, pun juga akan diberi pahala yang melimpah. Bahkan, bagi seseorang yang sedang menuntut ilmu lalu meninggal, maka akan dikategorikan sebagai mati syahid di jalan Tuhan.

Oleh sebab itu, Tuhan telah menakdirkan para rasul sebagai perantara-Nya untuk mendidik manusia. Membebaskan manusia dari situasi dunia yang gelap menuju terang benderang. Seperti firman-Nya, “Yukhrijuhum minazh zhulumati ilan nur.” Ayat ini begitu indah dan metaforis. Gelap bukan berarti ruang tanpa cahaya, bukan tanpa matahari, bulan, ataupun bintang. Sebab, ketiganya terus berpendar semenjak diciptakan. Namun, gelap yang sebenarnya ialah ketidaktahuan dan ketidakmengertian.

Seringkali disalahpahami bahwa, Tuhan menurunkan agama semata-mata untuk kepentingan-Nya, bukan kepentingan manusia. Padahal, apologi semacam itu sungguh salah. Mengutip perkataan Imam Izzudin bin Abdissalam:

“Semua tugas yang diberikan Tuhan adalah untuk kepentingan manusia di dunia dan akhirat. Tuhan tidak membutuhkan (sembah sujud0 makhluk-Nya. Ketaatan mereka tidak memberi-Nya manfaat apa-apa. Dan kedurhakaan mereka tidak mengakibatkan kerugian-Nya.”

Sampai di sini, kiranya menjadi clear and distinct bahwa yang membutuhkan agama adalah manusia, bukan Tuhan. Semua konstitusi yang Tuhan tetapkan, nyata demi kebaikan manusia dan sesamanya agar dapat menjadi sebaik-baiknya khalifah fi al’ard. Beragam syariat yang terkandung dalam Islam, misalnya kewajiban berpuasa —bukan cuma menahan lapar dan dahaga— lebih dari itu, puasa menjadi langkah umat Islam agar mampu dalam mengendalikan kecenderungan-kecenderungan egois yang seringkali mendesakkan kehidupan hedonistik. Sehingga benar-benar bisa bertakwa, yang puncaknya, dapat menghadirkan Tuhan dalam jiwa.

Sementara zakat, menjadi momen membersihkan diri dari kesalahan dan dosa, sekaligus sebagai bukti dari rasa kemanusiaan. Bahwa memberi dan membantu orang yang kesusahan adalah suatu kewajiban. Lalu ibadah haji, sebagai wujud konkrit bahwa Tuhan tidak membeda-bedakan hambanya berdasarkan status sosial, jabatan, apalagi harta. Demikian itu melambangkan kesatuan, kesetaraan, dan ukhuwah umat manusia sedunia. Entah dari latar belakang seperti apa, tetap saja orang yang berhaji wajib memakai sehelai dua helai kain ihram. Tuhan dengan tangan terbuka menerima kehadiran hamba-hamba-Nya.

Di antara puncak spiritual seorang Muslim ialah ketika dapat mencapai maqam ihsan. Yakni menempatkan keimanan dan keislaman pada tingkatan amal saleh, yang meliputi berbuat baik kepada semuanya, termasuk binatang, hewan, dan seisi alam semesta. Sebagaimana perkataan Sayyid Hossein Nasr dalam salah satu makalahnya:

“Puncak pencarian manusia adalah hidup dalam keintiman bersama Tuhan, kondisi ketika aroma dan suasana kasih sayang, cinta, kedamaian, dan keindahan benar-benar dirasakan.”

Seseorang yang sudah memiliki hubungan intim dengan Tuhan, salah satu cirinya adalah selalu memendarkan kasih sayang dan welas asih kepada siapa pun juga. Tiada sama sekali keinginan untuk melukai makhluk Tuhan. Sebab, ketika melukai dan merendahkan makhluk-Nya, maka sama halnya dengan melecehkan dan tidak menghormati Tuhan sendiri.

Bagaimanapun juga, makhluk Tuhan menjadi ejawantah atas eksistensi-Nya. Atas dasar hal itu, maka Muslim yang kaffah ialah yang selalu menampakkan keceriaan, ketulusan, kasih sayang, dan cinta terhadap semua makhluk Tuhan.

Buku ini merupakan kumpulan esai hasil renungan KH Husein Muhammad. Dari kumpulan esai ini  kita bisa merasakan kegelisahan, endapan, dan semangat KH Husein Muhammad dalam melihat permasalahan umat manusia saat ini. Renungan dalam buku ini tidak hanya tak hanya ditujukan kepada umat Muslim, tetapi juga lintas agama —tentang makna Islam yang ia pahami sebagai agama cinta, agama yang memberikan pencerahan, bukan dengan kemarahan.

Data Buku

Judul Buku      : Islam; Cinta, Keindahan, Pencerahan, dan Kemanusiaan
Penulis             : KH Husein Muhammad
Penerbit           : IRCiSoD
Cetakan           : Pertama, Agustus 2021
Tebal Buku     : 295 Halaman

Multi-Page

Tinggalkan Balasan