Menggapai Saadah Melalui Khidmah

346 kali dibaca

Pada acara “Haflah Khotmil Quran Maat Tafsir dan Bil Ghoib” yang diadakan oleh Pondok Pesantren An Najah, Tanjungrejo, Jekulo, Kudus pada Kamis-Jumat (29/02 – 01/03), terdapat suatu agenda yang menarik. Agenda tersebut adalah Sarasehan Santri dan Alumni An Najah yang dilaksanakan pada malam Jumat.

Namun, bukan sarasehan biasa. Sarasehan kali ini membincang suatu tema yang sangat akrab di telinga para santri, yakni khidmah, lebih lengkapnya “Menggapai Saadah Melalui Khidmah”.

Advertisements

Selain santri, alumni, dan juga pengasuh ponpes, acara ini dihadiri oleh Ustaz Nur Akhwan, seorang Dewan Perumus Bahtsul Masail Lirboyo sebagai pembicara, dan juga Ustaz Ahmad Syaerozi, dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Kudus sebagai moderator.

Pada acara kali ini, terdapat beberapa poin bahasan yang terdengar unik dan juga penting. Untuk itu, berikut adalah inti daripada bahasan yang disampaikan pada acara malam itu.

Landasan Khidmah

Landasan adanya khidmah adalah ayat yang berbunyi

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Dari sini, sudah jelas bahwa tujuan manusia hidup di muka bumi hanyalah untuk berkhidmah kepada Allah, yakni dalam bentuk beribadah kepadaNya. Untuk itu, harusnya kita sadar akan posisi kita di hadapan Allah sehingga kita tidak boleh menyepelekan ibadah.

Definisi Saadah

Dibuka dengan definisi, saadah yang berarti kebahagiaan adalah hal yang diinginkan setiap orang. Untuk membatasi definisi, saadah terbagi menjadi dua, yakni saadah dzahir dan saadah batin. Setiap saadah tersebut dibagi lagi menjadi dua, yaitu saadah duniawi dan saadah ukhrowi.

Sesuai namanya, saadah dzohir duniawi merupakan hal-hal kasat mata seperti kenikmatan duniawi, sedangkan saadah dzohir ukhrowi adalah selamatnya jasad kita dari siksa api neraka.

Adapun saadah batin duniawi adalah tenangnya hati yang bisa didapatkan dengan cara mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan saadah batin ukhrowi adalah kesempatan untuk ‘melihat’ Allah yang merupakan kenikmatan atau saadah yang paling tinggi bagi penghuni surga dan hanya bisa digapai oleh orang-orang mukmin.

Korelasi Saadah dengan Khidmah

Untuk menghubungkan saadah dengan khidmah, tentu tidak asing dengan ungkapan yang populer di kalangan santri yang berbunyi, “Menancapnya ilmu dengan mudzakarah (belajar), barokahnya ilmu dengan khidmah, dan manfaatnya ilmu dengan taat pada guru.”

Dari ungkapan di atas, yang akan kita bahas adalah khidmahnya. Karena sejatinya, saadah dan barokah merupakan hal yang mirip, dalam artian sama-sama mengandung kebaikan yang diinginkan semua orang.

Untuk mendefinisikan barokah, narasumber mengutip penjelasan dari Syaikh Syarani Mutawalli yang menerangkan bahwa barokah adalah tentara Allah yang dikirim kepada hamba pilihan Allah.

Dari definisi di atas, narasumber kembali memberi contoh, “Sehingga barokah dalam umur berupa panjangnya umur, barokah dalam ilmu adalah bertambahnya ilmu, dan barokah dalam khidmah adalah terbukanya hati (futuh).”

Selain itu, narasumber juga mengutip penjelasan Habib Lutfi bin Yahya yang menerangkan bahwa barokah dalam manfaat ibarat garam dalam setiap makanan. Artinya, setiap makanan tidak akan menjadi lezat tanpa hadirnya garam. Demikian pula, suatu kemanfaatan tidak akan menjadi baik tanpa disertai barokah.

Contohnya, ketika kita bisa memasak nasi goreng, maka sejatinya kita telah mendapatkan manfaat. Namun masalah rasanya akan lezat atau tidak, itu tergantung dari takaran garam sebagai bumbu nasi goreng tersebut.

Indikator Keberkahan

Sampai sini, bagaimana cara kita mengetahui hal ini mengandung barokah atau tidak? Siapa yang menentukan indikatornya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terdapat kisah yang cukup unik.

Dikisahkan bahwa terdapat makam wali yang tak pernah sepi dari ziarah masyarakat. Masyarakat bertawasul melalui makam tersebut, dan hajat mereka pun terpenuhi.

Namun, belakangan baru diketahui bahwa makam tersebut sesungguhnya hanyalah kuburan khimar.

Mengetahui fakta tersebut, disertai dengan kenyataan bahwa tawasul orang-orang juga sampai, maka sesungguhnya barokah berkaitan erat dengan keyakinan dan juga husnuzon, sebagaimana para peziarah yang meyakini dan husnuzon bahwa yang mereka ziarahi tersebut adalah makam wali, dan pada akhirnya tawasul mereka sampai, meskipun kenyataannya yang mereka ziarahi hanyalah khimar.

Selain kisah peziarah khimar, ada kisah yang menunjukkan bahwa sejatinya barokah itu terletak pada keyakinan dan juga husnuzon.

Ada seorang murid yang bertanya kepada gurunya, “Bagaimana agar hatiku bisa terbuka (futuh)?”

Sang guru menjawab, “Belajarlah pada Syaikh Fulan yang ada di desa itu.”

Murid pun pergi ke tempat tujuan dan ternyata nama fulan dimiliki oleh dua orang. Yang satu alim, dan yang lain merupakan pemabuk berat.

Dengan yakin, murid pun berguru kepada fulan yang pemabuk dan berhusnuzon bahwa sikap fulan yang suka mabuk itu adalah ujian bagi dirinya dalam berguru.

Pada akhirnya, murid tersebut tetap mendapat futuh, meskipun berguru kepada seorang pemabuk. Hal ini tidak lain dan tidak bukan adalah karena keyakinan dan husnuzonnya.

Khidmah dan Mahabbah

Membincang khidmah, erat juga kaitannya dengan mahabbah atau cinta. Karena dengan mahabbah akan menjadikan kita selalu berhusnudzon kepada sang guru.

Mahabah sangat diperlukan, karena yang perlu kita teladani dalam berkhidmah bukan hanya sisi kemanusiaan atau dzohirnya, namun juga sisi batinnya yang terkadang akal kita tidak mampu memahami beberapa sikap guru.

Terkait khidmah, tentu kita tidak asing dengan kisah Abu Bakar yang mengorbankan kakinya untuk melindungi Nabi dari ular yang hendak keluar dari lubangnya ketika sedang berisitirshat di Gua Tsur pada perjalanan hijrah.

Dari kisah tersebut, dapat diketahui bahwa khidmah juga butuh yang namanya pengorbanan sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar.

Macam-Macam Khidmah

Sebagai sarana dalam menggapai saadah, khidmah terbagi menjadi tiga.

Yang pertama adalah khidmah dengan badan. Sesuai namanya, khidmah ini lebih cenderung berusaha melayani guru secara dzohir sesuai kemampuan. Biasanya, khidmah model ini biasa dilakukan oleh para ‘santri ndalem’.

Meskipun terdengar sederhana, khidmah dengan badan memiliki tantangan tersendiri. Karena, ketika seorang santri sering berkhidmah dan menjadi lebih dekat dengan guru, maka akhlak yang ada bisa saja juga semakin hilang, sebagaimana kita yang tidak punya malu di hadapan teman akrab, dan menjadi pemalu di depan orang asing.

Dalam hal khidmah, hal tersebut tidak boleh terjadi, karena berkurangnya akhlak ketika berada dekat dengan guru adalah hal yang bertentangan dengan konsep khidmah itu sendiri.

Jika tidak, maka seorang santri termasuk dalam ungkapan, “semakin dekat, semakin menjauh.” Artinya, semakin dekat dengan guru, semakin hilang akhlaknya.

Yang kedua adalah khidmah dengan harta. Khidmah model ini cukup dilakukan dengan menyalurkan harta kita untuk kepentingan guru kita. Contoh model ini adalah menyisihkan uang untuk ‘sowan’ setiap tahun, maupun menyumbang kebutuhan guru, baik kebutuhan sehari-hari maupun pada acara-acara tertentu.

Yang ketiga adalah khidmah dengan doa. Khidmah ini adalah yang terdengar paling mudah, karena kita hanya perlu mendokan kebaikan untuk guru kita, sebagaimana yang dilakukan Imam Ahmad bin Hambal yang selama 40 tahun selalu mendoakan gurunya, yakni Imam Syafii.

Narasumber menambahkan bahwa, “Meski terdengar paling mudah, namun khidmah dengan doa adalah khidmah yang paling sulit. Karena, seuatu yang mudah malah kebanyakan tidak dilakukan.”

Ungkapan narasumber tersebut dikuatkan dengan hadis nahi munkar yang intinya memerintahkan kita untuk mencegah kemungkaran semampu kita, baik dengan tindakan, lisan, maupun hati.

Dalam hadis tersebut, terdapat lafaz

فهو أضعف الإيمان

yang menunjukkan bahwa nahi munkar dengan hati adalah bentuk keimanan yang paling lemah. Pada lafaz di atas kata adh’afu merupakan isim tafdhil yang menunjukkan makna perbandingan dan juga superlatif, dalam hal ini memiliki makna ‘paling lemah’.

Namun, ternyata ada sebagaian kalangan yang membaca

فهو أضعاف الإمان

Yang menunjukkan bahwa nahi munkar dengan hati adalah interperstasi keimanan yang berlipat ganda. Pada lafaz di atas, kata adh’aafu berbentuk masdar yang artinya ‘berlipat ganda’.

Selain itu , orang yang nahi munkar dengan kekuasaan dan lisan, bisa saja hatinya tidak ingkar.

Khidmah Setelah Boyong

Khidmah yang sesungguhnya dan yang terberat adalah khidmahnya santri setelah boyong, karena ketika berada dalam lingkungan masyarakat, seorang santri harus senantiasa mengingat dan meneladani gurunya.

Salah satu bentuk mengingat guru adalah dengan sering menceritakan haliyah guru, menjelaskan bahwa ilmu ini didapat dari guru, sehingga muncul rasa bangga terhadap guru.

Selain itu, menceritakan guru juga menjadi suatu contoh yang akan ditiru murid-murid yang diajar agar kelak juga melakukan hal yang sama.

من بركة العلم إسناد القول إلى قائله

Tiga Unsur Khidmah

Untuk melaksanakan khidmah dengan baik, diperlukan tiga unsur berikut ini.

Yang pertama adalah loyalitas dan totalitas, yaitu mementingkan kepentingan guru daripada kepentingan pribadi. Hal tersebut adalah inti dari khidmah itu sendiri.

Khidmah ini sudah dicontohkan oleh Kaum Anshor yang meskipun juga kekurangan, mereka tidak ragu sama sekali untuk membantu Kaum Muhajirin dalam segala aspek.

Terkait loyalitas, hal yang perlu dijaga adalah niat dalam berkhidmah. Jika khidmah dilakukan dengan niat keuntungan pribadi, maka itu bukanlah khidmah, karena sejatinya, khidmah adalah memberi manfaat, bukan mencari keuntungan, terlepas dari faedah-faedah khidmah. Maka, jangan sampai menjadikan hal itu sebagai tujuan utama, namun harus menjaga niat agar loyal dan total.

Yang kedua adalah menjalankan tugas sesuai peran.

Kita sebagai manusia, tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan. Yang perlu kita lakukan dalam berkhidmah adalah memanfaatkan potensi yang kita miliki untuk berkhidmah. Jadi, jangan merasa sedih karena tidak bisa berkhidmah seperti santri yang lain karena kita memang tidak memiliki keahlian di bidang tersebut.

Di balik itu, kita pasti punya kemampuan yang kita kuasai dan bisa kita manfaatkan untuk berkhidmah.

Selain itu, sejatinya, kesempatan berkhidmah adalah sebuah kemuliaan yang diberikan guru kepada para santri. Maka, jika kita diberi kesempatan untuk berkhidmah, maka hendaknya ditekuni sesuai kemampuan.

Yang ketiga adalah ikhlas. Sudah maklum bahwa yang dimaksud ikhlas adalah beramal murni karena Allah, tidak mengharapkan apapun selain ridho Allah.

Dalam hal ini, jangan sampai khidmah yang kita lakukan dilandasi niat untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.

Mengapa Harus Berkhidmah?

Meskipun khidmah secara dzohir adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan guru, namun sejatinya, esensi khidmah adalah demi kepentingan murid. Dengan khidmah, akan terbentuk jalinan batin antara guru dan murid.

“Dengan itu, murid akan lebih terjaga karena akan ditegur guru ketika melakukan kesalahan ataupun sedang membutuhkan pencerahan, baik secara langsung maupun melalui mimpi, sebagaimana kisah-kisah masyhur para ulama,” tutur narasumber.

Manfaat Khidmah

Selain menjadi sarana latihan dalam terjun untuk ‘ngeladeni’ masyarakat, khidmah juga masyhur dapat menjadi sebab terbukanya hati (futuh).

Di akhir pembahasan, narasumber menutup dengan kisah Mbah Yai Abdul Karim yang berkhidmah kepada Mbah Yai Kholil Bangkalan selama 23 tahun. Di akhir masa khidmahnya, Mbah Kholil berkata, “Ilmuku sudah habis. Jika ingin mengaji, ngajilah ke Lirboyo saja (Mbah Abdul Karim).”

Multi-Page

Tinggalkan Balasan