Di ujung timur Indonesia, tersebar gugusan pulau yang keindahannya bagai serpihan surga yang jatuh ke bumi—Raja Ampat. Lebih dari sekadar destinasi eksotis, wilayah ini adalah salah satu benteng terakhir bagi keragaman hayati laut, menaungi lebih dari 75% spesies karang dunia.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, gemuruh mesin tambang mulai menggantikan bisikan ombak dan kicau burung Cendrawasih.

Hutan hujan tropis dibabat, tanah dilubangi, dan laut ternoda limbah. Raja Ampat, yang dahulu menjadi lambang harmoni antara manusia dan alam, kini terancam menjadi saksi bisu dari kerakusan modern.
Banyak pihak mengecam tindakan eksploitasi yang terjadi, namun akar persoalannya jauh lebih dalam daripada sekadar kesalahan izin atau pengawasan yang longgar.
Kasus tambang Raja Ampat merupakan manifestasi nyata dari krisis filosofi modern tentang alam. Di balik keputusan-keputusan ekonomi dan politik itu, ada satu paradigma besar yang bekerja secara diam-diam tapi destruktif: pandangan antroposentris sekuler.
Paradigma ini meletakkan manusia sebagai pusat segala sesuatu. Alam dipandang tak lebih dari objek tak bernyawa, yang boleh diperah, dibor, ditebang, selama menguntungkan.
Di dalam cara pandang ini, tak ada tempat bagi kesucian alam, tak ada ruang untuk keheningan yang sakral, apalagi tanggung jawab spiritual.
Peradaban ini adalah peradaban yang sibuk membangun pencapaian teknologi, namun abai terhadap jerit makhluk lain yang tak bersuara. Inilah wajah dari modernitas yang memuja angka pertumbuhan, tapi membutakan mata terhadap kehancuran yang terjadi diam-diam di bawahnya.
Di titik inilah, kritik tajam dari pemikir besar dunia Islam, Seyyed Hossein Nasr, menjadi sangat relevan. Ia menyebut krisis lingkungan modern sebagai akibat dari desakralisasi alam, ketika manusia berhenti melihat dunia sebagai ciptaan Ilahi yang layak dihormati.
Menurut Nasr, selama manusia terus menempatkan dirinya sebagai penguasa absolut dan alam sebagai budak bisu, maka kehancuran ekologis hanyalah soal waktu.