Mengetuk Pintu Langit dengan Mujahadah

1,499 kali dibaca

Mujahadah merupakan suatu tradisi berupa doa dan zikir bersama, yang sering kali kita jumpai di wilayah perdesaan ataupun lingkungan pesantren. Banyak masyarakat Indonesia yang masih menggelar acara mujahadah, dengan tujuan agar doa dan segala maksud tujuan segera diijabah oleh Allah.

Mujahadah sendiri memiliki akar kata “jahada” yang berarti bersungguh-sungguh, bersungguh-sungguh dalam berijtihad, dalam berjuang dengan fisik ataupun pikiran, dan juga berjuang dengan batin.

Advertisements

Mujahadah dalam pemaknaan sufi berarti ikhtiar dan perjuang maksimal untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ada juga yang menafsirkan mujahadah berarti perjuangan melawan hawa nafsu sendiri. Sebab, nafsu bisa menjadi penghalang bagi seseorang untuk lebih dekat pada Tuhan.

Menurut ahli hikmah, mujahadah berarti melawan segala macam kemauan nafsu liar. Dengan demikian, mujahadah juga merupakan kelanjutan dari jihad dan ijtihad. Sebagai seorang Muslim sudah memang seharusnya menanamkan ketiga istilah tersebut dalam jiwa. Sebab, jihad tanpa disertai dengan ijtihad sama saja dengan bunh diri. Sedangkan, ijtihad tanpa mujahadah dapat berpotensi menjadi sombong dan angkuh. Mujahadah tanpa ijtihad dan jihad sama halnya beragama secara ‘’kamuflase’’.

Namun demikian, dalam mengamalkan mujahadah, kita tidak harus menabrakkan diri dengan kesibukan duniawi. Sebab, kesibukan duniawi itu dapat dimanfaatkan untuk berjihad memenuhi kebutuhan hidup. Pada setiap diri baik orang miskin maupun orang kaya, pemimpin maupun rakyat, perempuan atau laki-laki, anak-anak atau dewasa, pemuda atau orang tua, semuanya memiliki hak untuk bermujahadah.

Adapun, jenis dari mujahadah itu sendiri bersifat sangat subjektif dan mengikuti kondisi objektifnya seseorang. Akan tetapi, pada umumnya orang akan meningkatkan posisi spiritual dirinya dari hari ke hari. Alangkah meruginya bagi mereka yang tingkat keimanannya datar-datar saja dan lebih merugi lagi bagi mereka yang posisi keimanannya semakin hari semakin menurun. Berusaha dengan kesungguhan hati untuk meningkatkan keimanan dan spiritual sampai pada puncaknya itulah yang disebut sebagai mujhadah.

Ada seorang sufi besar bernama Ibrahim bin Adham. Ia pernah memberikan nasihat kepada murid-muridnya dan juga jamaah sekitar tempat tinggalnya, bahwa seseorang tidak akan mungkin mencapai derajat kesalehan sebelum mereka mengamalkan enam hal.

Pertama, menutup pintu bersenang-senang dan berfoya-foya kemudian membuka pintu kezuhudan. Kedua, menutup pintu dari mengharap kehormatan dan membuka pintu untuk tawadhu atau rendah hati. Ketiga, menutup pintu kemalasan dan membuka pintu kerja keras. Keempat, mencukupkan tidur dan perbanyak ibadah malam. Kelima, meninggalkan kekayaan duniawi dan membuka pintu kezuhudan. Keenam, mencukupkan diri mengharap pada dunia dan mempersiapkan diri menuju akhirat.

Berbeda dengan sufi Abu Ali Ar-Raudzubari yang pernah mengatakan bahwa seorang sufi jika sudah lima hari tidak makan dan minum, kemudian dia berkata aku lapar, maka dia perintahkan menuju pasar untuk bekerja agar memperoleh makanan.

Kedua ulama sufi tersebut tidaklah memberikan fatwa, akan tetapi sebuah ukuran yang dapat dilakukan seseorang yang ingin merasakan bagaimana nikmatnya mujahadah. Jalan berbatu tajam dan juga licin bagi para pengamal mujahadah adalah mengekang hawa nafsunya. Melawan nafsu dalam diri itulah yang disebut dengan al-jihadu fi nafs, yaitu jihad melawan nafsu diri sendiri. Hawa nafsu yang dimaksud adalah hawa nafsu yang berkonotasi negtif, seperti sifat kikir, dengki, sombong, riya, egois, marah, gibah, fitnah, dan lain sebagainya sebagaimana yang sudah kita ketahui.

Maka, mujahadah menjadi kunci penting untuk mengetuk pintu langit. Salah satunya dengan amalan zikir dan doa. Misalnya, seperti yang sering dilakukan warga Dusun Wonokromo I, Pleret, Bantul, Yogyakarta. Masyarakat rutin melaksanakan mujahadah bersama yang setiap malam Kamis. Mujahadah ini dilaksanakan di gedung Badan Pendidikan An-Nahdloh.

Dulunya gedung ini didirikan oleh para tokoh agama dan juga tokoh masyarakat sekitar yang diprakasai oleh Haji Raden Irsyad. Saat itu, ia berstatus sebagai Lurah Desa Wonokromo. Para pemuka agama turus merintisnya adalah KH M Syifa’, Kiai Dja’far Salim, dan KH Arwan Basuni.

Gedung Bapendan ini digunakan sebagai gedung serba guna, termasuk sebagai tempat mujahadah malam kamisan. Mujahadah malam kamisan ini pertama kali diinisiasi oleh KH Abdul Khalik Syifa, putra dari KH M Syifa, pada tahun 1998. Awalnya, jamaah mujahadah hanya beberapa orang. Semakin lama jamaahnya selalu bertambah, bahkan sepuluh tahun terakhir jamaahnya berdatangan dari berbagai daerah, ada yang dari Temanggung, Magelang, Ngawi, Puwordjo, dan Kulonprogo.

Jamaah yang hadirpun mencapai hampir seribu orang, karena setiap orang yang datang selalu membawa pasukan banyak, sampai-sampai parkiran penuh dengan kendaraan roda empat dan roda dua. Ada juga yang menggunakan kerta mini. Jamaah yang hadirpun sangat antusias sekali untuk mengikuti mujahadah. Biasanya para jamaah selalu membawa bekal air botol mineral dengan maksud agar air itu mendapatkan berkah khasiat dari zikir dan doa-doa yang dilakukan selama mujahadah.

Acara mujahadah dimulai habis salat Isya mungkin sekitar jam delapan malam. Mujahadah ini dipimpin oleh KH Abdul Khalik Syifa yang merupakan Syuriyah PCNU dan ketua MUI Bantul. Mujahadah ini berupa amaliyah zikir dan doa. Setelah itu akan ditutup dengan kajian kitab Mukhtarul Al Hadis.

Inilah bentuk mujahadah untuk mengetuk pintu langit, yaitu dengan memperbanyak mengingat Allah, dengan berzikir dan berdoa, dengan harapan segala macam hajat dan masalah hidup bisa terpecahkan dengan mendekatkan diri pada Allah. Tak jarang hajat dari para jamaah ini pada akhirnya terkabulkan.

Sebetulnya bentuk-bentuk mujahadah itu banyak sekali dan bermacam-macam cara. Pada intinya agar kita bisa selalu mendekatkan diri pada Allah serta menjauhi segala macam kemaksiatan, sebab kemaksiatan yang menjadi penghambat terbukanya pintu langit untuk membawa doa-doa kita.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan