Menengok Tradisi Lebaran di Madura

1,246 kali dibaca

Lebaran, dalam kesempatan ini Hari Raya Idul Fitri 1442 H, adalah momen yang sangat ditunggu-tunggu. Terutama sekali oleh anak-anak dan usia remaja, Lebaran merupakan sesuatu yang sangat istimewa. Itu dulu, semasa penulis masih kecil, usia anak-anak yang masih belum paham bagaimana susahnya orang tua mencari nafkah. Saat itu, yang sangat dinanti-nati adalah pamer baju baru dan menu makanan dan kue yang beraneka macam. Momen seperti itu yang menjadikan Lebaran begitu istimewa dan mengukir kenangan tersendiri.

Seiring berjalannya waktu, Lebaran sepertinya sesuatu yang biasa-biasa saja. Hal itu, mungkin, karena penulis saat sekarang ini sudah menjadi orang tua. Atau sudah terlalu biasa dengan momen Lebaran, puluhan tahun melewati hari raya Idul Fitri, dimungkinkan menjadi suatu kebiasaan. Maka keistimewaan itu semakin memudar, bahkan bisa jadi sebagai sesuatu “siksaan” saat kebutuhan belanja mendesak dan tak tertalangi.

Advertisements

Ada momen-momen tertentu yang masih tertanam kuat dalam pikiran penulis, mengingat momen istimewa masa lampau tekait Lebaran. Bukan saja karena pakaian baru, lebih jauh terasa bahwa di masa lalu momen Lebaran lebih sakral. Itu tadi, mungkin karena berjalannya waktu sehingga keadaan sudah berubah dan kesakralan itu semakin memudar.

Di Madura, khususnya di Kabupaten Sumenep, sebagai tempat tumbuh kembang penulis, terdapat beberapa tradisi Lebaran yang hingga saat ini masih dapat kita saksikan. Meskipun, tentu saja, nilainya tidak sama dengan masa lalu, setidaknya tradisi itu masih terpatri kuat di masyarakat Sumenep. Agar menjadi wahana pengalaman dan untuk dijadikan khazanah pengatahuan, tidak ada salahnya kalau kemudian dikisahkan sebagai bagian dari sebuah sejarah tradisi dan jejak pengalaman.

Irama Petasan

Tidak di mana-mana, sepertinya sudah sangat menyeluruh, bunyi petasan menjadi “irama” yang tidak terpisahkan dengan kegiatan Lebaran. Padahal realitasnya, petasan itu membahayakan baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Tidak sedikit korban petasan, disebabkan oleh keteledoran diri sendiri maupun orang lain, sehingga menyebabkan musibah, dari luka bakar hingga meninggal dunia.

Tetapi itulah tradisi, yang hingga saat ini pemerintah tidak dapat mengatasi kebiasaan ini seratus persen. Padahal pemerintah sudah mengeluarkan larangan membakar petasan. Akan tetapi, hal itu tidak menyurutkan sebagian masyarakat untuk bermain-main dengan api petasan. Terkait dengan petasan, di bawah ini pasal ancaman bagi orang yang menyebabkan musibah dari petasan dan semacamnya.

Pasal 187 KUHP yang mengatur: “Barangsiapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam: 1). Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya umum bagi orang; 2). Dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain; 3). Dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati.”

Jadi harus hati-hati, jika sekiranya akan menyebabkan petaka dan musibah hendaknya bermain petasan dihindari. Karena bahayanya lebih basar dari manfaatnya. Tetapi, penulis harus akui bahwa di masa kecil dan remaja juga hobi main petasan. Bisa memproduksi petasan sendiri baik yang meledak di tanah maupun yang terbang dan meledak di angkasa. Namun penulis tidak merekomendasikan bermain bunga api ini karena akan menyebabkan musibah yang sangat besar.

Takbir Keliling

Berikutnya, di Sumenep, Madura, pada malam Lebaran (malam Hari Raya Idul Fitri), masyarakat mengadakan takbir keliling. Kegiatan seperti ini bahkan disokong oleh Bupati Sumenep. Namun untuk tahun ini dan setahun kemarin, karena pandemi Covid-19, kegiatan takbir keliling ditiadakan. Karena rentan terhadap kerumunan yang menjadi sebab terjadinya sebaran virus Corona yang sangat masif.

Meski kita tidak mengadakan takbir keliling, tetapi di masjid-masjid dan musala-musala, dihidupkan malam takbiran. Mereka berbondong-bondong ke masjid atau musala untuk melakukan takbiran secara bersama-bersama. Pada saat naskah artikel ini ditulis, penulis bersama-sama jamaah lainnya sedang melantunkan takbir di masjid Alfalah Sumenep Madura.

Takbiran merupakan amanah syariat. Allah berfirman, “Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangan puasa dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185). Dalam sebuah hadis disebutkan, “Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah menuju lapangan kemudian beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau tetap bertakbir sampai sahalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir.” (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 5621).

Silaturrahmi

Berkunjung ke sanak saudara merupakan tradisi yang masih terjaga hingga saat ini. Momen di hari Lebaran, bersilaturrahmi termasuk sebuah kebiasaan yang harus kita lestarikan. Sebab, dari hubungan persaudaraan ini kita akan semakin mengikat persatuan dan kesatuan. Sehingga jaminan kehidupan yang harmoni akan semakin baik dan lestari.

Kebiasaan orang Sumenep, Madura, mungkin juga di daerah lainnya adalah berkunjung dari saru rumah ke rumah lainnya. Biasanya, saat berkunjung disuguhi berbagai hidangan untuk sekadar dicicipi. Kemudian berbincang dan bersenda gurau sebagai suatu kerabat yang saling terikat dalam kefamilian.

Terlepas dari momen hari raya, silaturrahmi merupakan sesuatu yang disyariatkan dalam Islam. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka sambunglah tali silaturahmi,” (HR. Bukhari – Muslim).

Ziarah Kubur

Ziarah kubur merupakan tradisi Lebaran bagi masyarakat Sumenep, Madura. Biasanya, setelah salat Idul Fitri, mereka berbondong-bondong mengunjungi makam sesepuh atau sanak famili untuk melakukan doa dan bacaan-bacaan lainnya. Sebenarnya, ziarah kubur bukan terbatas pada saat Lebaran. Akan tetapi, di luar momen Lebaran juga dianjurkan untuk ziarah kubur (nyekar).

Ziarah kubur (nyalase, Madura), kebanyakan dilakukan pada setelah salat Idul Fitri karena hal itu merupakan momen yang tepat. Setelah sekian lama tidak ziarah kubur, maka pada saat yang tepat (Lebaran) disempatkan untuk sekadar mendoakan orang-orang yang telah meninggalkan dunia. Tentu saja, disamping itu, karena sudah menjadi tradisi atau kebiasaan turun temurun, khususnya bagi masyarakat Sumenep, Madura.

Halal bi Halal

Tradisi halal bi halal merupakan adat kebiasaan yang lestari, bukan hanya di Kabupaten Sumenep, Madura, akan tetapi sudah sangat meluas dan terjadi di berbagai tempat. Mayoritas ulama fikih menyebutkan bahwa halal bi halal merupakan acara yang sangat baik. Karena di dalam acara tersebut terjadi saling memaafkan antara satu peserta dengan peserta lainnya. Memafkan merupakan tindakan yang sangat islami.

Dari Abu Hurairah RA, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, sama memiliki kerabat, saya sambung tapi mereka malah memutuskan, mereka berbuat buruk kepada saya tapi saya berusaha untuk berbuat baik kepada mereka. Mereka berbuat jahil kepada saya tapi saya sabar tidak ingin membalas dengan yang sama. Maka Rasulullah saw bersabda, ‘jika yang kamu katakan itu benar, maka seakan-akan kamu menaburkan debu panas ke wajahnya dan senantiasa Allah akan menolong kamu selama kamu terus berbuat seperti itu’” (HR. Muslim).

Jadi halal bi halal merupakan tradisi atau kegiatan yang dibangun atas syariat Islam. Sesuatu yang perlu dilestarikan dan terus diamalkan karena akan menimbulkan nilai-nilai persaudaraan dalam kehidupan yang harmonis. Tentu saja tidak termasuk dalam nilai yang dimaksud, jika dalam halal bi halal hanya dijadikan ajang pamer dan untuk membanggakan diri. Jika hal ini yang terjadi, maka tujuan awal halal bi halal telah luruh dalam hiruk pikuk keduniaan. Jangan sampai hal ini terjadi. Kita pertahankan halal bi halal sebagai bentuk saling menolong, saling memaafkan, dan saling menjaga tali silaturrahmi. Wallau A’lam!

Masjid Alfalah, 30 Syawal 1442 H. 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan