Santriwati, Good Looking atau Good Attitude?

1,116 kali dibaca

Seorang kritikus asal Irlandia, George Bernard Shaw, pernah berkata, “Wanita lebih suka terlihat cantik daripada cerdik. Karena para lelaki lebih pandai menilai daripada berpikir.”

Di zaman Android seperti sekarang, remaja kita lebih mengenal istilah “good looking” daripada cantik-ganteng yang sudah menjadi kosa kata masyarakat Nusantara jauh sebelum Indonesia merdeka.

Advertisements

Istilah “good looking” atau “enak dilihat” seolah menjadi obsesi seorang remaja masa kini agar diakui keberadaannya. Tak terkecuali di kalangan santri. Lebih-lebih santriwati.

Sekarang, kitab-kitab salaf sudah bukan lagi topik utama untuk dikaji, didalami. Lihatlah, misalnya, ketika liburan tiba, yang mereka dahulukan adalah wajah cerah, bukan masa depan cerah. Padahal, hari-hari ini kita sedang mengalami berbagai krisis, termasuk krisis moral. Contoh kecilnya adalah bisa dilihat mulai dari style hijab trendy yang lebih mirip “buntelan lontong” yang subhanallah ketatnya hingga virus “insecure” yang selalu membuat kita kurang bersyukur.

Kini, banyak pondokan yang seharusnya mencetak generasi masa depan yang membanggakan, malah menjadi ajang unjuk gigi dan gengsi. Kita tidak perlu mengikuti zaman hanya untuk berpakaian. Tidak perlu repot-repot mencari follower hanya untuk menarik perhatian. Karena “semua akan alay pada waktunya”.

Ilmu psikologi bahkan menemukan fakta bahwa kepintaran anak diturunkan dari ibunya. Bukan ayahnya. Itulah mengapa manusia super dengan IQ 160, Albert Einstein, menolak menikah dengan artis super memesona Marlyn Monroe. Padahal, Monroe ingin mempunyai anak yang cantik seperti dirinya dan pintar seperti Einstein. Tapi apa yang terjadi? Einstein malah beranggapan bahwa anak mereka akan jelek seperti dirinya, dan bodoh seperti Monroe.

Seorang wanita tidak akan menjadi sopan walaupun belajar di bangku kuliah. Karena, akhlak itu dicetak, dibina, dan dilatih. Bukan sekadar dipelajari. Mendapat nilai Pendidikan Agama Islam (PAI) di atas rata-rata tidak menjadi jaminan seseorang taat beragama. Karena, yang menilai ketaatan seseorang adalah Allah. Manusia hanya mengira-ngira angkanya.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan