Mendalami Beleid Baru tentang Pesantren

1,232 kali dibaca

Sebelum digantikan Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Agama Fahrul Rozi telah meneken tiga Peraturan Menteri Agama (PMA) berkaitan dengan pengaturan pondok pesantren. Bagaimana pengaturan pesantren setelah adanya beleid baru ini?

Tiga PMA yang baru diterbitkan Kementerian Agama masing-masing adalah PMA Nomor 30 Tahun 2020 tentang Pendirian dan Penyelenggaraan Pesantren, PMA Nomor 30 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren, dan PMA Nomor 30 Tahun 2020 tentang Ma’had Aly. Ketiganya merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren yang telah disahkan pada 15 Oktober 2019. Dengan ketiga PMA ini, maka UU Pesantren telah memiliki perangkat teknis untuk dilaksanakan.

Advertisements

Jika mendalami seluruh peraturan yang berkaitan dengan pondok pesantren ini, mulai UU hingga PMA, maka akan banyak ditemukan hal-hal yang bersifat afirmatif , norma baru, juga hal-hal yang problematis.

Tapi, apa pun, secara formal negara telah mengakui keberadaan pondok pesantren, yang selama ini cenderung dikelompokkan ke dalam (lembaga) pendidikan nonformal, dengan segala konsekuensinya.

Sekarang kita mulai dari hal-hal afirmatif pada ketiga PMA tersebut. Pertama tentang pengertian pondok pesantren. Baik dalam UU maupun ketiga PMA, pesantren diartikan sebagai lembaga yang berbasis masyarakat yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Namanya bisa pondok pesantren, dayah, surau, meunasah, atau sebutan lain. Sepanjang memenuhi seluruh unsurnya, maka akan dikategorikan ke dalam pesantren.

Namun, masih ada embel-embel dimasukkan sebagai defenisi pesantren, yaitu lembaga yang menyemaikan akhlak mulia serta memegang teguh ajaran Islam rahmatan lil’alamin yang tercermin dari sikap rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai luhur bangsa Indonesia lainnya melalui pendidikan, dakwah Islam, keteladanan, dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Lalu, siapa yang boleh mendirikan pesantren? Berdasarkan ketentuan baru ini, pesantren bisa didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, dan/atau masyarakat yang beragama Islam.

Apa yang kemudian disebut pesantren harus memenuhi sedikitnya lima unsur, yaitu (a) Kiai (b) Santri yang bermukim di Pesantren (c) pondok atau asrama, (d) masjid atau musala, dan (e) kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin.

Sekilas sederhana, sekadar afirmasi, tapi jika memenuhi syarat dan seluruh unsurnya seperti diatur dalam peraturan ini, konsekuensinya sangat serius. Misalnya, keberadaannya tidak diakui secara formal dan karena itu pendidikannya tidak diakui setara dengan pendidikan umum. Selain itu, juga tidak memperoleh pendanaan dari negara.

Pendidikan Pesantren

Hal yang paling krusial dalam peraturan-peraturan tentang pesantren tentu saja yang berkaitan dengan pendidikan. Pendidikan Pesantren diartikan sebagai pendidikan yang diselenggarakan oleh pesantren dan berada di lingkungan Pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan pesantren dengan berbasis kitab kuning atau dirasah islamiah dengan pola pendidikan muallimin.

Afirmasi ini sangat tegas, bahwa pendidikan di pesantren harus berbasis kitab kuning. Tanpa ini maka tidak bisa dimasukkan ke dalam kelompok pendidikan pesantren. Hanya, dalam beleid ini diberi norma tambahan, yaitu penyelenggaraan pendidikannya harus terstruktur, sistematis, dan terorganisasi —norma baru yang juga tergolong baru bagi kalangan pesantren.

Tentang pendidikan pesantren ini diatur khusus melalui PMA Nomor 31 Tahun 2020. Di PMA ini ditegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan pesantren sebagai bagian dari pendidikan nasional, dan dapat diselenggarakan dalam bentuk pengkajian kitab kuning, dirasah islamiah dengan pola pendidikan muallimin, dan bentuk lain  yang terintegrasi dengan pendidikan umum. Dan jalurnya pun bisa melalui pendidikan formal maupun pendidikan nonformal.

Untuk jalur pendidikn formal, jenjang pendidikan di pesantren bisa dimulai dari tingkat dasar, menengah, dan tinggi. Bentuknya bisa merupakan satuan pendidikan muadalah, satuan pendidikan diniyah formal, ma’had aly. Sementara, untuk jalur pendidikan nonformal, bisa diselenggarakan dalam bentuk pengkajian kitab kuning dan bentuk lain yang terintegrasi dengan pendidikan umum.

PMA ini juga mengatur tentang kurikulum pendidikan pesantren. Kurikulum pendidikan muadalah terdiri atas kurikulum pesantren dan kurikulum pendidikan umum. Untuk yang kurikulum pendidikan umum, syaratnya minimal harus meliputi pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam atau ilmu pengetahuan sosial. Bentuknya bisa berupa mata pelajaran tersendiri atau atau kajian yang terintegrasi dengan kurikulum pesantren.

Sebenarnya ini juga afirmasi, sebab sudah banyak pesantren modern yang menyelenggarakan model pendidikan seperti ini. Hanya, dengan adanya UU Pesantren dan semua peraturan turunannya, pendidikan pesantren memperoleh jaminan kesetaraan. Misalnya, santri yang dinyatakan lulus berhak melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi baik yang sejenis maupun tidak sejenis dan mendapatkan kesempatan kerja.

Yang tergolong norma baru dalam PMA ini adalah adanya penjaminan mutu pendidikan pesantren dan pendanaan. Secara periodek, penyelenggaraan pendidikan di pesantren akan selalu dimonitor dan dievaluasi agar mutunya tetap standar dengan yang lain untuk kepentingan penyetaraan. Tentu, standarnya akan menggunakan standar pendidikan nasional.

Sementara soal pendanaan, penyelenggaraan pendidikan pesantren akan memperoleh pendanaan dari negara, baik dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Atau juga sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

Sebagai hal baru, kalangan pesantren harus sangat hati-hati menyikapi pendanaan dari APBN/APBD ini. Sebab, kalangan pesantren belum terbiasa mengelola dana dari APBN/APBD, yang sistem administrasi dan peruntukannya sangat rigid. Tanpa bermaksud mengkorupsi pun, jika terdapat kesalahan administrasi atau peruntukan bisa berujung pada perkara korupsi sebab ini menyangkut uang negara.

Akan menjadi ironi jika banyak kalangan pesantren terjerat kasus korupsi hanya karena masalah administrasi dan peruntukan dalam pengelolaan dana dari APBN/APBD.

Perguruan Tinggi Pesantren

PMA Nomor 32 Tahun 2020 khusus mengatur penyelenggaran pendidikan tinggi di lingkungan pesantren yang disebut Ma’had Aly. Beleid ini menegaskan bahwa Ma’had Aly adalah jenjang pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pesantren dan berada di lingkungan pesantren dengan mengembangkan kajian keislaman sesuai dengan kekhasan pesantren yang berbasis kitab  kuning secara berjenjang dan terstruktur. Santrinya memperoleh sebutan mahasantri dan harus merupakan santri mukim.

Ditetapkan juga bahwa tujuan Ma’had Aly untuk mencetak ulama yang mempunyai kedalaman ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin) berbasis kitab kuning, berakhlak mulia, dan berwawasan global, serta memiliki komitmen kebangsaan. Karena itu, pada Ma’had Aly dilaksanakan

pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Seperti pada perguruan tinggi umum atau universitas, program pendidikan Ma’had Aly terdiri dari program sarjana (marhalah ula), magister (marhalah tsaniyah), dan doktor (marhalah tsalisah).

PMA ini juga mengatur soal penyusunan kurikulum Ma’had Aly. Misalnya, kurikulum untuk setiap konsentrasi kajian disusun oleh pesantren dengan berbasis kompetensi dalam bentuk bahan kajian terstruktur berbasis kitab kuning dan dapat dinilai dengan bobot satuan kredit semester.

Namun, kurikulum Ma’had Aly wajib memasukkan materi muatan pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan serta bahasa Indonesia. Selain itu, kurikulum Ma’had Aly juga wajib memasukkan materi muatan pelaksanaan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat sesuai dengan rumpun ilmu agama Islam dan konsentrasi kajian.

Apa yang dimaksud dengan rumpun ilmu agama Islam adalah sejumlah cabang ilmu pengetahuan keislaman berbasis kitab kuning yang menjadi bidang kajian Ma’had Aly, yang meliputi takhasus (a) al-Quran dan ilmu al-Quran (b) tafsir dan ilmu tafsir, (c) hadits dan ilmu hadits, (d) fikih dan ushul fikih, (e) akidah dan filsafat Islam, (f) tasawuf dan tarekat, (g) ilmu falak, (h) sejarah dan peradaban Islam, dan (i) bahasa dan sastra Arab.

Mahasantri yang telah menyelesaikan proses pembelajaran dan dinyatakan lulus berhak  mendapatkan ijazah, menggunakan gelar,  melanjutkan pendidikan pada program yang lebih tinggi baik yang sejenis maupun tidak sejenis, dan mendapatkan kesempatan kerja. Dengan begitu, Ma’had Aly juga diakui dan disetarakan dengan perguruan tinggi umum .

Namun, ada persyaratan yang cukup berat dan bisa jadi problematis dalam pendirian Ma’had Aly. Misalnya, setiap pesantren memang dibolehkan mendirikan Ma’had Aly, baik secara sendiri maupun bekerja sama dengan Ma’had Aly yang lain dan perguruan tinggi keagamaan Islam dalam dan luar negeri. Namun, pesantren baru boleh mendirikan Ma’had Aly jika telah berusia atau beroperasi minimal 20 tahun terhitung sejak pesantren itu didirikan.

Maka, bagi pesantren yang belum minimal 20 tahun beroperasi jangan bermimpi bisa mendirikan Ma’had Aly. Ini problematis karena, di zaman yang telah berkembang seperti seperti sekarang ini, seluruh persyaratan yang diatur melalui PMA ini untuk mendirikan Ma’had Aly dapat terpenuhi tanpa harus menunggu waktu selama itu. Lalu, untuk apa harus menunggu 20 tahun bagi pondok pesantren baru boleh mendirikan Ma’had Aly?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan