Kuadrat

3,974 kali dibaca

Lelaki itu suka memberi sesuatu pada temannya itu. Namun, entah mengapa, temannya itu tak pernah terlihat memakainya, dan sepertinya temannya itu malah memberikannya pada orang lain.

Sekali waktu ia memberi selembar sarung padanya. Namun beberapa hari kemudian, saat salat Jumat di masjid Baitul Muttaqin di kampungnya, ia mendapati orang lain yang memakainya. Ia begitu yakin itu adalah sarung yang ia berikan pada temannya. Karena ia sendiri yang memesan secara khusus pada pembuat sarung saat ia dolan ke luar kota. Di saat yang lain, ia memberi sebuah baju pada temannya itu. Namun nasib pemberiannya tersebut sepertinya pun sama dengan pemberian sebelumnya.

Advertisements

Sebagai seorang manusia, lumrah apabila ia jadi merasa cilik ati. Apakah temannya itu tak berkenan dengan pemberiannya? Padahal ia murni memberi, tanpa ada maksud lain di baliknya. Atau, apakah barang pemberiannya kurang bagus di mata temannya? Sepertinya bukan. Karena, menurutnya, gaya berpakaian temannya itu juga gaya hidupnya cukup sederhana—tak suka bermewah-mewah; tak suka berfoya-foya.

Sekarang, kendati mula-mula benaknya merasa sungkan, namun ketimbang berpikir yang bukan-bukan, ia pun bertanya pada temannya itu, “Apakah sampean tak suka terhadap barang-barang yang saya berikan?”

“Suka,” jawab temannya itu yang, sejurus kemudian, sepertinya dapat menangkap unek-uneknya.

Karena umumnya orang akan merasa senang apabila barang pemberiannya dipakai—digunakan. Kemudian temannya itu pun menjelaskan bahwa saking sukanya, temannya itu memberikannya pada orang yang lebih membutuhkan. Supaya tak cuma satu tetapi bisa jadi ia mendapat dua pahala atau malah berlipat ganda. Satu pahala saat ia memberikannya pada temannya itu. Satu pahala lagi saat temannya itu memberikan pada orang lain. Kemudian bisa jadi Gusti Allah Ta’ala—Dzat Yang Maha Pemurah—menambah pahala bagi mereka setiap pemberiannya tersebut digunakan untuk berbuat kebaikan.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan