Mendadak Jadi Kiai

1,202 kali dibaca

Kusut masai sarung dan bajunya. Mukanya ditekuk. Tubuhnya terasa gentar menunggu giliran membaca Al-Fatihah. Mengingat kesalahannya yang berakibat bentakan sang ustadz kemarin itu, keringat dingin lalu berembun di keningnya yang polos. Detik berikutnya giliran santri itu maju untuk membaca ummul kitab tiba. Terbata-bata lidahnya mengucap. Salah lagi. Kliru lagi. Hampir saja ia menangis menyesali kebodohannya. Rasa takut dimarahi pun menderanya. Lalu Sang Ustadz menenangkan santri baru itu.

“Istirahatlah dulu, Bayan. Besok ngaji lagi. Kamu terlihat capek,” perintah ustadz itu, menyabarkan diri.
Bayan melangkah menuju biliknya dengan pasrah. Hatinya perih. Lalu ia menyemangati dirinya sendiri, Bayan membuka Qurannya lagi. Namun ternyata belajar membaca al-Quran di bilik tidak tenang. Dia kemudian beralih ke makam para masyayikh pesantren. Selain belajar ngaji, di tempat itu dia menumpahkan kesedihannya atas sulitnya mengaji. Bocah itu tidak menyerah. Lidahnya terus berwasilah pada para guru yang bersemayam di situ, berharap ada ilmu yang dapat direguknya.

Advertisements

Waktu pun terus berlalu. Santri tua banyak yang telah kembali ke kampung halaman. Santri pemula berdatangan, silih-berganti. Banyak di antara teman seangkatannya yang telah hafal bait-bait panjang kitab Alfiyah. Sebagian yang lain telah jadi ustadz. Ada pula yang sudah nikah. Dan Bayan masih tetap istiqomah belajar memahami agamanya. Waktu seolah tak pernah beranjak bagi dirinya. Telah lima belas tahun dia menuntut ilmu di sini. Jangankan membaca kitab gundul, membaca Al-Fatihah saja dia belum bisa.

Merasa diri sudah tua, timbul keinginan Bayan untuk pulang.

“Kenapa saya ini, Kiai? Ada apa dengan diri saya ini?” keluhnya pada Kiai Dhori.

“Mana saya tahu. Memangnya ada apa?” sahut Kiai Dhori.

“Sudah lima belas tahun saya belajar mengaji. Tapi membaca Al-Fatihah saja saya belum bisa, Kiai.”

“Jadi, kamu sudah bosan mengaji?” tanya kiai itu.

“Bukan. Bukan bosan, Kiai. Cuma, ustadz yang mengajari saya adalah anak-anak yang jauh lebih muda dari saya. Mereka memanggil saya Mbah. Mbah Santri, begitu mereka biasa memanggil. Saya jadi merasa tidak enak, Kiai. Saya izin pulang kampung saja,” papar Bayan.

“Lalu, kalau kamu pulang mau melakukan apa di rumah?”

“Kerja, Kiai. Buruh nyangkul saya bisa.”

“Begini,” tutur Kiai Dhori pelan. “kamu di sini saja. Ada pekerjaan yang lebih mudah bagimu. Bisa naik sepeda ontel kan?” tanya Kiai Dhori lagi.

“Bisa Kiai,” sahut Dhori bangga, merasa ada satu hal yang mampu ia lakukan.

“Saya kan sering ngisi pengajian di kampung-kampung. Sedangkan saya ini sudah semakin tua. Kakiku mulai lemah untuk mengayuh pedal. Nanti kalau waktunya ngaji ke kampung, kamu yang nyetir. Saya yang bonceng. Mau kan?”

“Inggih Kiai,” Bayan menyanggupi perintah gurunya itu tanpa pikir panjang.

Jadilah sekarang Bayan menjadi pengantar ke mana pun perginya Kiai Dhori. Dari satu kampung ke kampung yang lain, Bayan selalu mengikuti. Tidak hanya mengantar, uraian hikmah pengajian kiainya itu juga selalu disimaknya dengan baik. Seiring bergantinya waktu, Bayan merasakan ada sesuatu yang aneh dalam dirinya. Ia pun berkeluh kesah pada Kiai Dhori.

“Maaf, Kiai, ada yang mau saya sampaikan,” ucap Bayan suatu hari.

“Kenapa, Yan? Sudah bosan jadi sopirku? Sudah bosan mengantarkanku berdakwah?” tanya Kiai Dhori.

“Mboten, Kiai,” sahutnya cepat.

“Lalu kenapa? Ingin nikah?”

“Begini, Kiai. Selama bermiinggu-minggu ini mengantar Kiai mengaji, saya merasa ada yang aneh dalam diri saya.”

“Apa?”

“Setiap kali mendengar ceramah Kiai. Saya selalu mengingatnya. Saya hafal setiap kata yang Kiai sampaikan. Seperti ada rekaman dalam kepala saya ini, Kiai,” ucap Bayan lagi.

“Sungguh? Berarti kamu bisa menggantikan saya Yan?” Kiai Dhori menyahut takjub.

“Saya tidak berani menolak kalau Kiai memaksa,” jawab Bayan.

“Siapa yang memaksamu? Aneh-aneh saja.”

“Saya hanya mengikuti apa kata Kiai Dhori.”

“Baiklah. Ini ada undangan pengajian di kampung yang agak jauh. Nanti kalau sudah dekat di tempat pengajian aku yang nyetir sepeda. Kamu aku bonceng. Jangan lupa, kamu juga yang ceramah di panggung. Orang-orang di sana belum pernah kenal aku. Kamu tak perlu khawatir.”

Bayan bingung. Hendak menolak tapi takut kuwalat, mau mengiyakan takut jadi bahan tertawaan orang-orang dan merasa su’ul adab. Bagaimanapun juga pantang baginya untuk menolak perintah kiai. Akhirnya dia mengiyakan perintah itu.

Berangkatlah mereka berdua ke tempat diselenggarakannya pengajian. Ketika hampir sampai mereka bertukar posisi. Kiai Dhori jadi sopir, Bayan dibonceng. Karena masih belum ada HP, ke-viral-an Kiai Dhori hanya sebatas pada namanya saja. Kampung itu belum mengetahui wajah KIai Dhori. Bayan dihormati layaknya kiai besar. Tangannya dikecup banyak orang. Banyak di antaranya yang memberi salam tempel. Rupanya hati Bayan sudah mendapat futuh. Semua tampak mudah di hadapannya. Materi ceramah mengalir dengan fasih di lisannya. Semua hadirin mendengarkan ceramahnya dengan khusyuk, termasuk Kiai dhori yang humul itu.

Selesai ceramah Bayan dihadang panitia. Orang itu memintanya untuk menjawab materi bahtsul masail yang belum mendapat jawaban. Sehelai kertas berisikan lima pertanyaan diamati Bayan dengan seksama. Keningnya berkerut mencari jawaban. Namun sayang, pertanyaan itu bukan kelasnya. Tak mampu dia menjawabnya.

“Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak perlu saya yang menjawab, cukup orang yang mengantar saya tadi,” ucap Bayan memberi tahu. Panitia itu mengangguk, mencium tangan Bayan lalu beralih menuju Kiai Dhori yang dikiranya adalah santri Bayan. Kiai Dhori pun dengan fasih menjawab permasalahan itu. Lengkap dengan dasar-dasar maroji’ kitabnya.

Banyak orang yang hadir di situ terkagum-kagum melihat kealiman Kiai Dhori yang mereka kira adalah santri. “Santri saja sealim itu, apalagi kiainya?” beberapa orang tampak menangis penuh haru. Ternyata Allah masih memiliki makhluk yang sealim itu. Bayan pun dikecup banyak orang. Mereka lalu pulang kembali ke pondok menbawa berkat banyak sekali.

Sembari mengayuh pedal, santri Bayan menangis dalam hati. Ternyata begini rasanya jadi kiai. Kehormatan serta pujian yang disematkan padanya tak membuatnya merasa tinggi hati. Dia tahu, seorang kiai akan selalu merasa bahwa semua kehormatan dan nama besar yang disandangnya hanyalah sebuah titipan belaka. Bahkan seorang kiai akan merasa malu jika terlalu dielu-elukan oleh orang. Hanya Allah-lah yang pantas menerima pujian-pujian itu.

* * *
Cemoro, 23 Juni 2020

Multi-Page

Tinggalkan Balasan