Mendadak Jadi Kiai

1,183 kali dibaca

Kusut masai sarung dan bajunya. Mukanya ditekuk. Tubuhnya terasa gentar menunggu giliran membaca Al-Fatihah. Mengingat kesalahannya yang berakibat bentakan sang ustadz kemarin itu, keringat dingin lalu berembun di keningnya yang polos. Detik berikutnya giliran santri itu maju untuk membaca ummul kitab tiba. Terbata-bata lidahnya mengucap. Salah lagi. Kliru lagi. Hampir saja ia menangis menyesali kebodohannya. Rasa takut dimarahi pun menderanya. Lalu Sang Ustadz menenangkan santri baru itu.

“Istirahatlah dulu, Bayan. Besok ngaji lagi. Kamu terlihat capek,” perintah ustadz itu, menyabarkan diri.
Bayan melangkah menuju biliknya dengan pasrah. Hatinya perih. Lalu ia menyemangati dirinya sendiri, Bayan membuka Qurannya lagi. Namun ternyata belajar membaca al-Quran di bilik tidak tenang. Dia kemudian beralih ke makam para masyayikh pesantren. Selain belajar ngaji, di tempat itu dia menumpahkan kesedihannya atas sulitnya mengaji. Bocah itu tidak menyerah. Lidahnya terus berwasilah pada para guru yang bersemayam di situ, berharap ada ilmu yang dapat direguknya.

Advertisements

Waktu pun terus berlalu. Santri tua banyak yang telah kembali ke kampung halaman. Santri pemula berdatangan, silih-berganti. Banyak di antara teman seangkatannya yang telah hafal bait-bait panjang kitab Alfiyah. Sebagian yang lain telah jadi ustadz. Ada pula yang sudah nikah. Dan Bayan masih tetap istiqomah belajar memahami agamanya. Waktu seolah tak pernah beranjak bagi dirinya. Telah lima belas tahun dia menuntut ilmu di sini. Jangankan membaca kitab gundul, membaca Al-Fatihah saja dia belum bisa.

Merasa diri sudah tua, timbul keinginan Bayan untuk pulang.

“Kenapa saya ini, Kiai? Ada apa dengan diri saya ini?” keluhnya pada Kiai Dhori.

“Mana saya tahu. Memangnya ada apa?” sahut Kiai Dhori.

“Sudah lima belas tahun saya belajar mengaji. Tapi membaca Al-Fatihah saja saya belum bisa, Kiai.”

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan