Membaca Dinamika Islamofobia Pasca Kemenangan Taliban

656 kali dibaca

Berbicara mengenai Taliban rasanya selalu menarik, karena banyak sisi unik atau fakta yang hangat untuk dikulik-kulik. Atensi dan intensinya pun menjamur di segala penjuru dunia. Agaknya, hal ini seperti bom waktu yang meledak dengan begitu dahsyatnya. Sehingga memantik segala perhatian dan analisis yang mengikutinya.

Taliban, yang nota bene salah satu bagian dari kelompok muslim, menjadi fokus diskursus hangat tersendiri. Hal ini dikarenakan label agama Islam yang melekat pada tubuh Taliban, baik dari sisi organisasi, anggota, tokoh, hingga sistem yang digunakannya. Sehingga faktanya, Taliban bagi sebagian orang dianggap sebagai representasi Islam ekstremis-radikalis besar yang ada di Timur Tengah. Terlebih,Timur Tengah sendiri adalah kawasan yang selalu disorot dunia, karena di kawasan Islam menjadi agama mayoritas yang sangat mendominasi (sosial, kultur, hukum, pendidikan), sekaligus dianggap sebagai basis kelompok struktural (organisasi) Islam ekstremis-radikalis dan atau kelompok teroris.

Advertisements

Menyoal lebih jauh perihal identitas Islam yang melekat pada Taliban, tentunya akan timbul berbagai tanda tanya. Seperti apa Islam yang dipahami dan dijalankan oleh Taliban? Bagaimana Taliban menyikapi orientasi politik dengan relasi pemahaman Islamnya? Dan, tentu, apa impact bagi agama Islam pasca-kemenangan Taliban di Afghanistan?

Tanda tanya-tanda tanya tersebut tentu sangat melekat dan berkaitan, setidaknya karena dua hal. Pertama, seperti yang sudah disinggung di atas, karena label identitas Islam melekat pada Taliban. Kedua, karena Islam sendiri tidak hanya direpresentasikan oleh Taliban, sehingga apa yang dilakukan dan dicapai oleh Taliban, juga berdampak pada umat muslim lain yang nota bene juga representasi dari Islam itu sendiri.

Dan tetap saja pada ujung atau puncaknya hari ini, kemenangan Taliban bagi sebagian pihak dianggap sebagai sebuah capaian positif, dan bagi sebagaian yang lain dinilai sebagai sebuah problematik, yang mana stereotipnya seperti apa sejarah dari Taliban, apa yang dilakukan Taliban, dan orientasi Taliban selalu memiliki garis merah pada pemaknaan keagamaan Islam yang negatif. Sekiranya inilah problematik terhangat jika ada kelompok ekstremis-radikalis dan atau teroris di Timur Tengah yang eksis atau memenangi (klaim) peperangan, seperti yang pernah dicatat sejarah perihal kemunculan ISIS dan Al-Qaeda, yang ujung-ujungnya berimplikasi pada citra agama Islam itu sendiri.

Hal tersebut setidaknya yang menjadikan setereotip Barat agak “emoh” atau jaga jarak, bahkan fobia dengan agama Islam. Hal ini juga mau tidak mau harus kita akui, karena fakta dan potensi akan hal itu nyata. Cendekiawan muslim Barat, Shahab Ahmed, juga menyoroti hal ini dalam karya momumentalnya yang berjudul What is Islam?

Tanda tanya yang sangat mungkin, untuk susah dijawab bagi kita muslim di kawasan Timur, apalagi bagi mereka yang di kawasan Barat, terlebih pasca momentum-momentum kemenangan Islam ekstremis-radikalis dan atau teroris. Paradigma mudahnya seperti itu. Lalu hari ini momentum tersebut meledak kembali pasca kemengan Taliban di Afghanistan.

Pemahaman Islam Taliban

Dalam sejarahnya, Taliban adalah salah satu faksi mujahid yang ikut melawan dan mengusir Uni Soviet yang berasal dari kawasan pinggiran tradisionalis. Setelah itu mereka mengkudeta mujahid yang memerintah, dan pecahlah perang saudara. Singkatnya, Taliban dengan semangat kolot tradisionalis-ekstremisnya memenangkan peperangan, dan menjadi otoritas pemegang kekuasaan Afghanistan pada tahun 1996-2001. Namun, kekuasaannya terhenti karena Amerika Serikat dan NATO menggempur Taliban habis-habisan pada bulan-bulan akhir tahun 2001 pasca tragedi WTC 9/11.

Pada masa berkuasanya (1996-2001), Taliban baik secara keanggotaan maupun sistem organisasinya menganut (baca: bermazhab) Salafi-Wahabi. Sehingga Taliban menerapkan hukum hudud yang sangat ketat, membatasi bahkan melarang aktivitas perempuan (salah satunya perihal pendidikan), termasuk pendekatan militer selalu menjadi ujung tombak dalam mengatasi permasalahan. Alhasil, pemerintahannya sangat represif dan keras. Hal tersebut semata-mata bawaan murni dari pemahaman tradisionalis-ekstremis lingkungan asal Taliban. Kesan dan traumatik inilah yang menjadikan penduduk Afghanistan hari ini lari terbirit-birit meninggalkan tanah airnya.

Namun, dalam beberapa waktu belakangan, khususnya pasca cabutnya militer AS dan NATO dari Afghanistan, Taliban agaknya terlihat menjadi lebih moderat. Hal ini dapat ditelisik dari serangkaian pernyataan persnya, meskipun bukti literatur yang menegaskan Taliban sudah berubah menjadi moderat hampir tidak ada. Telisik tersebut berangkat dari pernyataan Taliban yang mengatakan ingin mengambil kekuasaan secara damai dan menjamin memberikan ruang pada parempuan (termasuk mengakses pendidikan).

Dari paparan di atas, gambaran sederhananya yang dapat dipahami, mazhab Salafi-Wahabi sudah mulai ditinggalkan oleh Taliban, atau bahkan sudah bergeser, karena berkaca dari pengalamannya yang silam. Mengutip kanal Harakah.id, salah satu ulama yang menyoroti hal ini adalah Sayyid Hasan Al-Saqqaf, ulama Jordania, yang menjelaskan bahwa Taliban (polanya) telah menjadi penganut mazhab Hanafi, yakni mazhab mayoritas yang dianut di Afghanistan, India, Pakistan, dan sekitarnya. Perihal mazhab Salafi-Wahabi yang dianut dulu, beliau menjelaskan memang benar, kurang lebih dalam 40 tahun sebelum bergeser ke mazhab Hanafi.

Menelisisk lebih jauh, Dr Arrazy Hasyim, pakar hadis (santri KH  Ali Mustafa Yaqub) yang juga dosen Kalam-Filsafat Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan dosen Pascasarjana Institut Ilmu al-Quran Jakarta (IIQ), menjelaskan dalam kanal Youtube Darusunnah (Ma’had yang diasuhnya), Taliban dari sisi teologi menganut akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah, sedangkan secara fikih mereka bermazhab Hanafi.

Lebih lanjut terangnya, Taliban mempercayai ranah sufi-tasawuf, salah satu tarekat yang dianut adalah Naqsabandiyah. Sehingga beliau menegaskan, Taliban hari ini adalah al hadistah (baru). Maksudnya berbeda dengan dulu yang menganut mazhab salafi-wahabi.

Asy’ariyah dan Maturidiyah adalah akidah ahlussunnah wal jamaah, seperti yang dianut oleh mayoritas umat muslim di Indonesia. Dr Abu Zahra (Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Al Azhar, tahun 1958-an) dalam kitabnya, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah (hal. 212), menjelaskan:

إنّ منهاج الماتريدية للعقل سلطان كبير فيه من غير أىّ شطط أو إسراف، والأشاعرة يتقيّدون بالنّقل ويؤيِّدونه بالعقل، حتّى إنّه يكاد الباحث يقرّر أنّ الأشاعرة فى خطّ بين الاعتزال وأهل الفقه والحديث، والماتريديّة فى خطّ بين المعتزلة والأشاعرة

“Manhaj Maturidi memakai argumentasi nalar yang besar tanpa melampaui batas dan berlebihan. Sedangkan, manhaj Asy’ari berpegang teguh dengan dalil Naql serta mengukuhkannya dengan argumentasi nalar akal. Sehingga sebagian pengkaji ilmu aqidah meneguhkan bahwa manhaj al-Asy’ari berada di antara pemikiran sekte Muktazilah dan ulama ahli fiqh dan ahli hadis sedangkan manhaj al-Maturidi berada di antara pemikiran sekte Muktazilah dan manhaj Asy’ari.”

Dinamika Islammofobia

Seperti yang sudah disinggung di atas, impact pasca kemenangan Taliban tidak hanya pada geopolitik Afghanistan, melainkan pada wajah atau citra agama Islam itu sendiri. Kalau dipetakan, pihak-pihak yang menganggap hal tersebut sebagai capaian positif mayoritas berada di kawasan Timur, khususnya Timur Tengah sendiri. Sedangkan, bagi kawasan Barat, hal ini adalah problematik, sebuah capaian negatif, sebuah kebangkitan terorisme. Ranah yang paling ekstrem kita pahami dengan term islamofobia (berpotensi).

Namun, zaman sudah berbeda, akses dan gambaran perihal agama Islam sudah tidak seperti dahulu. Mereka yang di Barat hari ini lebih dewasa untuk memahami agama Islam itu apa, minimal dalam menilik representasi-representasinya. Intinya represensi agama Islam tidak hanya di Timur Tengah, karena Afrika, Asia, bahkan Eropa hari ini ikut andil dalam merepresentasikan Islam ke wajah dunia. Meskipun tidak menafikan, ada pihak-pihak di kawasan Barat dan Timur yang menggoreng momentum kemenagan Taliban ini. Akan tetapi, agaknya hal itu tidak terlalu berpengaruh pada setereotip untuk melihat agama Islam secara lengkap.

Di Indonesia sendiri, kita hanya sampai pada ranah perpecahan perspektif dalam melihat momentum ini. Kehidupan keberagamaan, sosial, hingga persatuan tidak ada yang terganggu, hanya eskalasi diskursus saja yang sangat intens. Rasanya memang tidak mungkin jika negara mayoritas umat muslim dengan berideologi Pancasila, yang dirawat (baca: salah satunya; kontributor besar) oleh NU dan Muhammadiyah ini terhantam Islamofobia. Berbagai pihak pun sudah mengambil langkah preventif, yang intinya menegaskan tidak usah khawatir berlebihan, kita (masyarakat Indonesia) hanya perlu berhati-hati. Ditambah serangkaian deteksi juga kesiapan dari Badan Intelejen Negara dan Badan Nasional Penanggulanan Teroris.

Adapun sebagai catatan, Turki dan Rusia adalah negara yang sangat disiplin dalam menyikapi momentum ini. Negara tersebut tidak membuka suaka atau menampung sementara pengungsi dari Afghanistan, karena takut jikalau ada gerakan mujahidin yang ikut terbawa masuk ke negaranya. Alhasil,Turki dan Rusia meningkatkan eskalasi penjagaan di kawasan perbatasan negaranya. Sedangkan Barat, khususnya NATO, seperti yang sudah disinggung, mereka begitu welcome pada penduduk Afghanistan, karena mereka hari ini sudah dewasa dalam memilah-milah representasi Islam. Termasuk, kehidupan muslim di Barat pun tidak terganggu, bahkan banyak non-muslim menyuarakan kestabilan, moderasi, dan pemenuhan hak-hak penduduk Afghanistan di bawah kepemimpinan Taliban hari ini. Artinya, solidaritas kemanusiaan terbangun di sini.

Stabilitas pergerakan Taliban pun sedikit banyak “aman”, meskipun tidak bersih begitu saja. Setidaknya pemahaman Islam mereka hari inilah yang sedikit banyak ikut andil dalam pergerakan, pemikiran, dan kontrol yang dilakukan. Islam yang mereka pahami hari ini lebih adem dariapa Islam yang mereka pahami pada dekade 1990-an yang “keras dan kaku”. Akan tetapi, tidak cukup pada perubahan pemaham Islam belaka, Taliban perlu konsisten dan merealisasikan janji-janjinya, karena itulah jaminan dari setereotip yang melekat pada mereka.

Adapun jikalau suatu saat Taliban khianat, yang hancur adalah Taliban sendiri, bukan citra agama Islam. Mengingat eksistensi agama Islam berdiri di berbagai entitas dan representasi. Mengutip wawancara Prof Salim Said, guru besar geopolitik Universitas Pertahanan, di salah satu panel wawancara tv nasional: “Taliban-lah yang memikul tanggung jawab hari ini atas serangkaian janjinya, bisakah dipercayai komunitas regional-internasional, dan kita (Indonesia) negara dengan umat muslim terbesar di dunia.”

Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan