Memahami Hujah Puasa Sepuluh Hari Pertama Dzulhijjah

1,020 kali dibaca

Agama Islam memiliki sistematika kalender tersendiri yang diperuntukkan sebagai acuan pelaksanaan ritus-ritus keberagamaan. Pada masa Nabi Muhammad SAW kalender ini belum ada. Baru ada dan disepakati pada masa khalifah Umar bin Khattab. Karena, bangsa Arab waktu itu masih menggunakan rekam peristiwa dalam acuan kegiatan atau ritusnya. Sehingga Khalifah Umar melihat ada urgensi atau perlunya sebuah kalender yang dapat dijadikan acuan bersama.

Ali Hasan Musa, dalam kitabnya al-Tauqit wa al-Taqwin (hal. 122) menjelaskan, setidaknya ada tiga hal yang mendasari Umar membuat sebuah penanggalan bagi umat Islam. Pertama, adanya surat dari Musa Al-Asy’ari kepada Umar yang menyatakan “Surat-surat dari khalifah diterima tanpa informasi tanggal yang jelas”, sehingga membuat kebingungan bagi pihak penerima. Hal ini karena wilayah kekuasaan Islam saat itu sangat luas. Kedua, adanya rasa kejanggalan dari para sahabat di luar Madinah, “Apakah surat-surat ini benar dari khalifah”. Ketiga, ada beberapa sahabat mengusulkan pada Umar agar dibuatkan sebuah kalender sebagai acuan pelaksanaan pemerintahan.

Advertisements

Umar akhirnya mengumpulkan sahabat-sahabat senior untuk bermusyawarah. Dan disepakatilah sebuah kalender dengan 12 bulan yang dinamakan kalender Hijriah, karena tahun yang dijadikan patokan adalah ketika Nabi hijrah dari Makkah ke Madinah.

Adanya kalender Hijriah ini menjadi sangat penting, selain menjadi landasan dalam penanggalan sistem pemerintahan, juga sebagai penanggalan ritus keberagamaan. Kita tahu bahwa salah satu nikmat terbesar umat muslim adalah diberikanya waktu atau bulan tertentu untuk dilaksankanya ibadah tertentu dengan pahalanya dilipatgandakan, yang disebut Asyhurul Hurum (bulan-bulan haram). Salah satu dari asyhurul hurum itu adalah bulan Zulhijah. Di mana sepuluh hari pertama bulan Zulhijah adalah waktu utama dalam beribadah (puasa dan haji) sebelum menyambut hari raya Idul Adha.
.
Tanggal atau waktu 1 Zulhijah mungkin berbeda-beda di tiap negara. Hal ini karena letak geografis yang menyebabkan perbedaan waktu. Tetapi hal ini tidak menjadi sebuah masalah, karena umat muslim mengacu pada penanggalan kalender Hijriah dengan penetapan sesuai hasil rukyatul hilal daerah masing-masing. Dan momentum keutamaan juga masyhur dalam bulan Zulhijah adalah shiyamul ‘asyr (puasa sepuluh hari). Yang mana sesuai kalender hijriah, Ahad 11 Juli (Masehi) di Indonesia sudah memasuki tanggal 1 Zulhijah. Lantas apa dasar dari ibadah shiyamul ‘asyr di bulan Zulhijah?

Menilik Hujah

Salah satu dari asyhurul haram adalah bulan Zulhijah. Di dalam bulan Zulhijah terdapat kewajiban menunaikan ibadah haji bagi yang mampu dan hari raya Idul Adha. Namun tidak sebatas pada itu saja, dianjurkan juga memperbanyak amalan lainya. Salah satunya adalah sedekah (berkurban) dan puasa.

Momentum ini sungguhlah istimewa dan berkualitas. Dalam artian keagungan waktunya dan nilai pahala (kualitas) dari ibadah yang kita lakukan. Sehingga tak ayal jika para ulama mengkaji “sepuluh hari pertama bulan Zulhijah” dalam bahasan khusus. Sebut saja al-Hafiz al-Baihaqi (w. 458 H) dalam kitabnya Fadhail al-Auqat, al-Hafiz Abi Dunya (w. 281 H) dalam kitabnya Fadhl Asyr Dzilhijjah, at-Thabarani (w. 360 H) dalam Fadhl Asyr Dzilhijjah yang ditahqiq oleh Abu Abdillah ‘Ammar al-Jazili (Maktabah al ‘Umaraini UEA), dan beberapa ulama lainya.

Mayoritas ulama ahlisunnah wal jamaah sepakat bahwa puasa sepuluh hari pertama bulan Zulhijah adalah sunnah. Dan dalil naqlinya dapat kita tilik pada QS. Al-Hajj ayat 28. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لِّيَشْهَدُوْا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ فِيْٓ اَيَّامٍ مَّعْلُوْمٰتٍ

Artinya: “Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan menyebut (berdzikir) nama Allah di hari-hari yang telah ditentukan.

Fokus pada redaksi وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ فِيْٓ اَيَّامٍ مَّعْلُوْمٰتٍ , Muhammad Sulaiman al-Asyqar dalam kitabnya Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, menjelaskan: Ketika umat muslim mengetahui bahwa jihad di jalan Allah adalah amalan yang paling utama, tetapi tidak semuanya mampu menjalankannya, lantas Allah menurunkan wahyu-Nya bahwa ada amalan yang menyamai pahala dari jihad, yakni sepuluh hari (awal) bulan Zulhijah dengan keutamaan (pahala) yang dilipatgandakan.

Al-Muzani dalam al-Muzani Mukhtasar (h. 170) juga mengatakan bahwa as-Syafi’i juga memberikan penafsiran senada mengenai redaksi ayat di atas, yakni,

(قال الشّافِعِيُّ): وَالأَيّام المعلومات العشّر وآخرها يوْم النّحر

Artinya: “ Dan hari-hari yang diketahui adalah sepuluh yang akhirnya hari raya qurban, kata as-Syafi’i.

Penafsiran ini disandarkan pada sebuah hadis riwayat at-Tirmidzi, Bukhari dan at-Thabarani,

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر

Artinya: “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: Tiada ada hari lain yang disukai Allah SWT untuk beribadah seperti sepuluh hari ini”. (HR at-Tirmidzi).

عن ابن عباس مرفوعا: ما من أيام العمل الصالح أحب إلى الله فيهن من هذه الأيام -يعني عشر ذي الحجة -قالوا: ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا
الجهاد في سبيل الله، إلا رجلا خرج بنفسه وماله، ثم لم يرجع من ذلك بشيء

Artinya: “Dari Ibnu Abbas dengan kualitas hadis marfu’. Tidak ada hari-hari di mana amal salih lebih disukai Allah pada hari itu dari pada hari-hari ini, maksudnya sepuluh hari (awal) Zulhijah. Kemudian para sahabat bertanya, Dan bukan pula jihad, ya Rasulallah? Rasul lalu menjawab, Dan tidak pula jihad di jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar membawa diri dan hartanya kemudian ia pulang tak lagi membawa apa-apa.” (HR. Bukhari).

عن أبى هريهرة رضي الله عنه, عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: ما من ايام احب الى الله تعالى أن يتعبد له فيهن من أيام عشر ذى الحجة,
وان صيام يوم يعدل صيام سنة, وقيام ليلة كقيام سنة

Artinya: “Dari Abi Hurairah, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sesungguhnys berkata: Tidak ada hari yang paling disukai oleh Allah swt, dimana Dia disembah pada hari itu kecuali, sepuluh hari bulan Dzulhijjah. Puasa satu hari di dalamnya sama halnya dengan puasa satu tahun. Ibadah, shalat malam sekali pada malamnya seperti sahalat malam selama satu tahun pula.” (HR. Bukhari).

At-Thabarani dalam kitabnya Fadhl Asyr Dzilhijjah (h. 36) juga meriwayatkan hadis dengan bahasan (variasi matan) serupa,

أفضل أايم الدنيا أايم العشر

Artinya: “Hari-hari yang paling utama di dunia adalah sepuluh hari (awal) dari bulan Zulhijah.

Hadis-hadis mengisyaratkan agar umat muslim melakukan ibadah semaksimal mungkin , karena adanya keutamaan waktu di awal bulan Zulhijah. Kemudian Ibnu Hajar mentahqiq dalam kitabnya Fathul Bari mengatakan,

واستدل به على فضل صيام عشر ذي الحجة لاندراج الصوم في العمل

Artinya: “Dan hadis-hadis ini menjadi dalil keutamaan puasa sepuluh hari di bulan Zulhijah, karena puasa termasuk amal saleh.

Kemudian beliau menjelaskan kembali bahwa sepuluh hari awal bulan Zulhijah menjadi istimewa dan berkualitas karena berbarenganya waktu ibadah-ibadah utama (ummahat al-ibadah): Salat, puasa, sedekah (berkurban), dan haji.

Kemudian timbul sebuah pertanyaan, bahwa keutamaannya adalah sepuluh hari, tetapi mengapa puasanya hanya sembilan hari? Hal ini dijawab dengan tegas oleh an-Nawawi yang dikutip oleh Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (Juz 3, halaman 386),

والمراد بالعشر ها هنا الأيام التسعة من أول ذي الحجة. لِأنّها أَيّام زيارة بيْت اللهِ والْوقْت إِذا كان أَفْضل كان الْعمل الصّالح فيْه أفْضل

Artinya: “Dan yang dimaksud dari sepuluh hari (awal bulan Zulhijah) adalah sembilan hari. Terhitung (mulai) tanggal 1 Zulhijah. Karena 10 Zulhijah menjadi hari ke Baitullah (haji). Kemudian suatu waktu lebih utama daripada waktu yang lain, maka mengerjakan amal kebaikan didalamnya juga lebih utama.

Kemudian ada spesifikasi mengenai hari ke-8 dan ke-9 (meskipun bahasanya juga bersandar pada bahasan shiyamul ‘asyr Zulhijah. Hari ke-8 kita kenal sebagai hari puasa tarwiyah dan puasa hari ke-9 dikenal dengan puasa arafah. Dan hujah dari puasa ini adalah hadis-hadis riywat Muslim, Qatadah, ad-Dailami, dan Ibnu Jauzi yang berbunyi,

صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم عاشوراء يكفر سنة ماضية

Artinya: “Puasa hari Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun yang lalu dan akan datang, dan puasa Asyura (tanggal 10 Muharram) menghapuskan dosa setahun yang lalu.”.(HR. Muslim)

قال رسول الله صلي الله عليه وسلم صوم عاشوراء كفارة سنة وصوم يوم عرفة كفارة سنتين سنة قبلها ماضية وسنة بعدها مستقبلة

Artinya: “Bersabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, ‘Puasa hari Asyura’ bisa menghapus dosa selama setahun. Puasa hari Arafah menghapus dosa dua tahun. Setahun sebelumnya dan setahun yang akan datang.”(HR. Qatadah)

صوْم يوْم التّرْوية كَفّارة سنة، وصوْم يوْم عرفة كفّارة سَنتيْن

Artinya: “Puasa pada hari tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan dosa dua tahun.” (HR. Ad-Dailami)

قال رسول اللّه صلَّى اللّه عليه وسلّم: من سام الشعر قله بكلّ يوم ثوم شهر، وله بصوم يوم التّروية سنة، وله بصوم يوم عرفة سنتان

Artinya: “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: siapa yang berpuasa pada sepuluh hari pertama Zulhijah, maka dia setiap puasa satu harinya seperti puasa sebulan. Dengan berpuasa di hari Tarwiyahnya dia mendapatkan nilai puasa setahun. Dengan berpuasa di hari Arafahnya mendapat nilai puasa dua tahun”.(HR. Ibnu Jauzi)

Hadis-hadis tersebut adalah hujah puasa Tarwiyah dan Arafah. Dalam beberapa syarah hadis, Nabi tidak menganjurkan (tidak sunnah) puasa Arafah bagi orang yang melaksanakan ibadah haji. Ada juga hadis populer (masyhur) riwayat Aisyah RA, yang menyebutkan Nabi tidak berpuasa pada waktu-waktu itu. Tetapi para periwayat hadis juga mendeteksi adanya riwayat (Hunaidah ibn Khalid) dari istri Nabi lainnya yang mengetahui atau menyaksikan bahwa Nabi berpuasa pada waktu Zulhijah, Tarwiyah, dan Arafah. Sehingga para fuqaha dan muhadis mentaqrir hal tersebut agar puasa ini tidak terkesan wajib.

Sebagai catatan akhir, puasa Arafah tidak mengikuti Saudi, melainkan melalui pantauan hilal sesuai negara masing-masing dalam penentuan 9 Zulhijah. Kemudian, beberapa hadis derajatnya marfu’ dan maudhu’. Tetapi para ulama, khususnya madzab Syafi’i, tetap menjadikanya sebagai sandaran sebagai fadhailul ‘amal dan menyimpulkan bahwa puasa sepuluh hari Zulhijah, Tarwiyah, dan Arafah adalah sunnah yang juga merujuk pada banyaknya dan kesaksian hadis-hadis di atas. An-Nawani dalam al-Maj’mu (hal. 387) menjelaskan, hadis-hadis yang derajatnya marfu’ dan maudhu’ mengenai puasa Zulhijah masih dapat dikompromikan (karena kesaksian dan banyaknya hadis). Ad-Darimi dalam An-Najmul Wanhaj (h. 355) mengatakan,

ويستحب ثوم يوم التّروية مع يوم عرفة احتياطا

Artinya: “Dan disunnahkan untuk berpuasa pada hari tarwiyah beserta hari Arafah sebagai tindakan hati-hati.

Wallahu ‘alam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan